Tahu Waktu

1763 Words
Anya dan Nara saling melempar tanya dan jawab di dalam perpus sebagai persiapan mereka menghadapi seleksi kelas akselerasi. Dari kabar yang Nara dapatkan, sekiranya ada 50 siswa yang melakukan pendaftaran, sedangkan kursi yang tersedia hanya berjumlah 15. Bisa dibilang, persaingan lumayan ketat. Walau sebenarnya mereka tidak terlalu ambisius dalam meraih hal ini, tetapi usaha terbaik tetap harus dilakukan, bukan? “Sayang banget kelas akselerasi baru rilis tahun ini. Jadi kita enggak bisa mengira-ngira soalnya kayak gimana.” Nara mengangguk. Ia membenarkan ucapan Anya. “Mungkin sekelas sama SBMPTN atau olimpiade, Nya.” “Mungkin.” “Gue mau tanya deh, Nya. Gue penasaran banget sejak kemarin.” Nara meletakkan bolpoinnya, lantas menopang dagu menggunakan tangan kanan. “lo itu cewek yang bar-bar banget menurut gue. Tapi, kenapa lo bisa pinter?” Anya yang tadinya sibuk memilih buku di rak kumpulan buku olimpiade seketika berhenti dan tertawa. Jika saja bukan di perpustakaan, Anya pasti akan tertawa sangat keras. “Kenapa lo heran? Seseorang kalau mau pinter kan harus belajar.” Nara masih menopang dagu dan memperhatikan gerak-gerik Anya yang kembali memilih buku. “Ya gimana dong, Nya, gue beneran penasaran.” Anya kembali ke tempat semula dengan membawa satu buku olimpiade biologi. “Gini ya Nara, Sayang. Gue emang suka main. Gue emang kelihatan banget kayak orang enggak punya beban sama PR atau tugas. Tapi, gue tahu kapan harus melakukan yang gue suka dan kapan harus belajar. Kayak pas liburan, gue beneran enggak ambil buku pelajaran sama sekali. Gue enggak belajar bahkan mencoba nyari materi, ya itu jangan ditiru sih, tapi itu cara gue kasih reward sama diri sendiri setelah berjuang di UAS dan mendapat nilai yang Alhamdulillah sesuai ekspektasi.” Nara mengangguk-angguk paham. Ia menangkap bahwa di balik sikap Anya yang cuek bebek, gadis itu memiliki kemampuan manajemen waktu yang baik. Kemampuan yang tidak semua orang miliki. Mungkin inilah bukti bahwa “Don't judge by the cover” itu perlu. “Tapi, sekali gue belajar, enggak akan ada yang bisa ganggu gugat. Gue bukan orang yang gercep, tapi gue tepat waktu.” Anya mendorong buku di depannya ke hadapan Nara. “Udah lah, nanti lo kagum sama gue.” Sifat kepedean Anya pun keluar, membuat Nara kontan merotasi bola mata malas. “Baru aja gue bangga punya sahabat sama lo. Sekarang udah nyebelin lagi.” Keduanya pun larut dalam memahami soal-soal di depan mereka. Mumpung kelas jam kosong akibat seleksi OSIS, keduanya berusaha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Sedangkan di tempat lain, beberapa calon OSIS yang lolos pemberkasan dibuat panas dingin dengan giliran wawancara mereka. Setelah satu jam berlalu mereka mengikuti sekolah organisasi, kini saatnya mereka untuk dihadapkan oleh kakak kelas dengan ribuan pertanyaan menjebak. Ada tiga tahap wawancara, yaitu tentang pengetahuan, cara bekerja dan cara mengatasi masalah. CA atau Calon Anggota dibagi menjadi tiga kelompok. Kemudian mereka akan melewati satu per satu tahapan secara bergantian dengan peraturan bahwa satu orang akan mendapat empat pertanyaan di masing-masing tahapan dalam waktu maksimal sepuluh menit. Dari tiga tahap tersebut, Cia dan Raihan berada di tes cara mengatasi masalah. Menurut kabar yang beredar, mereka adalah orang paling sulit ditaklukkan dalam wawancara. Pertanyaan yang diberikan keduanya sering menjebak. Mereka bisa dengan mudah memutar jawaban untuk menjadi pertanyaan lagi. “Misal di hari Minggu kamu di rumah. Kemudian kamu mendapat kabar dari Ketos bahwa OSIS mengadakan rapat mendadak dengan bahasan yang enggak bisa ditunda. Sedangkan saat itu posisinya Ibu kamu sedang sakit. Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Raihan dengan wajah tanpa ekspresi. Seorang gadis di depannya itu tampak tengah menimang jawaban dengan baik, bahkan sesekali meremas jemarinya untuk menyalurkan rasa gugup yang tak kunjung hilang. “Saya akan tetap menjaga Ibu. Karena sebagai seorang anak, sudah seharusnya kita untuk merawat beliau yang tengah sakit.” “Tapi, di rumah kamu posisinya masih ada bapak, adik, dan kakakmu. Apa kamu akan tetap mengabaikan rapat pentingmu?” sahut Cia. “Mungkin kalau ada orang lain di rumah, saya masih mempertimbangkan. Jadi, saya memilih untuk rapat.” “Dan kamu akan meninggalkan Ibumu? Yang katanya sebagai seorang anak sudah kewajiban kita menjaga orang tua?” Raihan kembali membalikkan jawaban gadis di depannya. Gadis itu mengerutkan dahi, tampak tengah berpikir keras. Pertanyaan Raihan sama sekali tidak bisa diremehkan. “Ya, gimana ya Kak, kalau ternyata ada kepentingan yang lebih mendesak kan seharusnya kita milih kepentingan itu dulu.” Raihan tersenyum, bukan senyum manis yang dapat membuat terpana, melainkan senyum sinis yang begitu tipis bercampur dengan senyum mengejek. “Jadi, kamu mikir bahwa merawat Ibu kamu bukan suatu kepentingan?” Cia mengambil alih pertanyaan. Mampus. Gadis bernama Tiara itu menelan ludahnya dengan kasar. Ia sudah terjebak dalam pertanyaan dua kakak kelasnya. Bodohnya, baru kali ini ia sadar. Tamatlah dirinya. Angan-angannya untuk menjadi anggota OSIS pun secara perlahan memudar. “Saya ... saya bingung, Kak,” ucap Tiara dengan menunduk dalam. “Ya sudah, kamu boleh meninggalkan tempat ini. At last, kamu harus bisa menjadi orang yang konsisten dengan pilihan kamu," ucap Raihan. Seharusnya masih satu pertanyaan lagi, tetapi gadis itu justru lebih memilih mundur. Usai Tiara pergi, gadis bernama Yesa Putri dengan penampilan ala-ala anak culun, berkaca mata tebal, rambut dikepang dua dan seragam over size mendapat giliran wawancara. Kali ini Cia yang mengambil alih duluan. “Yesa Putri, track record kamu menarik.” Cia mengalihkan pandangannya dari map milik Yesa ke wajah gadis itu yang menunduk. “Peraturan pertama, kamu dilarang untuk menunduk pada lawan bicaramu.” Cia memejamkan mata sebentar, sebelum akhirnya mendengar kata hati Yesa. Sebuah kalimat random yang Cia tak mengerti. Ia kembali memandang Yesa yang kini sudah menatapnya balik. Cia rasa, gadis di depannya ini tahu bahwa ia bisa mendengar kata hati. “Posisinya kamu memiliki banyak sekali PR dan tugas sekolah. Kamu di rumah dan tiba-tiba ketos menyuruhmu untuk mengurus sesuatu yang urgent, yang enggak bisa dilakukan nanti-nanti. Maka kamu akan?” Yesa tanpa ragu langsung menjawab, “Saya tinggal melihat deadline dari tugas dan PR. Kalau masih bisa ditunda, saya pasti akan memilih untuk menjalankan perintah ketos. Tapi, kalau tugas sudah mepet deadline, saya akan menolak baik-baik, mungkin dengan meminta agar saya diganti oleh yang lain dan pastinya dengan menyertakan alasan kenapa saya tidak bisa.” “Kalau seandainya ketos tidak menerima alasanmu?” Raihan bertanya pelan. “Saya rasa seorang ketos harusnya bijak. Jika dia tidak bijak, bukankah sebaiknya ketos seperti itu harus diturunkan dari jabatannya?” Cia dan Raihan langsung tersenyum tipis. Di antara yang lain, gadis ini yang tidak berpengaruh dengan pertanyaan jebakan seperti itu. “Oke alasan yang logis. Namun, seandainya deadline tugasmu mepet, sedangkan temanmu tidak ada yang mau karena mereka memiliki kesibukan lain. Maka?” Cia mengetuk-ngetukkan bolpoin di lantai. “Tetap menolak dengan baik. Sepertinya tidak mungkin dari banyaknya anggota OSIS, mereka semua tidak mau.” “Bisa saja, 'kan? Jika mereka memiliki kasus yang sama sepertimu, mempunyai tugas yang banyak yang tak dapat ditinggalkan. Bisa saja. Apa sih di dunia ini yang enggak bisa.” Raihan mengambil alih. “Jadi dengan kata lain kamu siap melepaskan jabatanmu sebagai anggota OSIS untuk kepentingan tugas?” Tak seperti yang lain yang tampak ragu-ragu dalam menjawab, Yesa dari tadi penuh keyakinan dalam menjawab pertanyaan. “Karena saya tujuan saya di sini adalah sekolah. Jika organisasi adalah penghalang dari tujuan saya, maka saya akan berani untuk melepaskan organisasi tersebut.” Cia masih berusaha untuk mendengarkan kata hati Yesa, tetapi tidak menemukan apapun. Ia baru tahu ada manusia yang tidak membatin seperti Yesa. Sekalinya membatin, kalimat yang diucapkan begitu random dan tak dapat ia mengerti. *** Pukul empat sore, ruang OSIS masih ramai dengan siswa-siswi yang sudah sejak tadi berganti pakaian bebas dengan berbagai posisi. Ada yang tidur, tengkurap, duduk di kursi, bermain ponsel dan selonjoran di lantai. Lumayan untuk merefresh sebentar saja tenaga mereka karena seharian terkuras untuk kegiatan recruitment OSIS Bima. Sampai suara Galang sebagai Ketos menggema, mereka langsung bangun dari posisinya masing-masing menjadi duduk. Galang masih menunggu mereka untuk sepenuhnya kembali pada bahasan kali ini. Pemuda itu membawa map yang berisi nama-nama yang lolos pemberkasan. “Baik, ini adalah salah satu proker terakhir gue sebelum keluar dan kembali ke realita gue sebagai pelajar yang harus berjuang mendapatkan kampus impian.” Galang masih mempertahankan posisi berdirinya agar seluruh anggotanya bisa mendengar dengan jelas. “Gue kasih kesempatan kalian untuk memilih 2 nama yang menurut kalian layak menjadi anggota OSIS.” Sesuai dengan intruksi, semua orang kecuali Galang mulai menulis di selembar kertas. Sampai satu menit berikutnya, satu per satu bangkit dan meletakkan kertas tersebut di salah satu meja di dekat Galang. Selanjutnya, ketos menuliskan nama-nama yang telah ia baca ke white board. Yang selanjutnya akan dibahas per nama, cocok atau tidak. “Yesa Putri. Dia kayak punya aura misterius enggak sih?” celetuk Hana yang berada paling belakang. “Gue juga mikir gitu. Orangnya aneh. Masa gue enggak bisa baca kata hati dia. Kan aneh. Apa dia manusia yang enggak punya ilmu kebatinan ya. Eh, sekalinya gue baca, dia merapalkan kayak kode gitu. Enggak tahu kode apa.” Cia berdecak kesal. “Tapi, jawaban dia bagus, kok. Konsisten. Terus penuh keyakinan. Dia cocok menjadi bagian dari kita,” ucap Raihan. Meski tak dapat memungkiri bahwa Yesa aneh, tetapi Raihan percaya bahwa pandangan kritis Yesa bisa membuat kinerja OSIS Bima semakin meningkat. “Gue awalnya mikir kalau ini anak orangnya introvert, terus enggak bisa natap lawan bicara, pokoknya sejenis manusia penakut gitu. Eh, pas udah ngomong, anggapan gue seketika buyar. Dia memiliki pemikiran luar biasa.” Joni ikut mendukung pendapat Raihan. “Mungkin ada baiknya kita mendapat anggota sedikit misterius seperti Yesa. Siapa tahu ternyata dia bisa lihat hantu, terus bisa menangkal hantu tersebut. Kan kita bekerja tanpa kenal waktu, terlalu mencintai sekolah sampai malam-malam nginep di ruang ini.” Joni seketika terkekeh ketika teman-temannya menyoraki dirinya dengan keras. Berbagai pendapat dan masukan sudah dilayangkan. Setelah ini, tinggal Galang yang memutuskan. Ia akan mempertimbangkan antara berkas, hasil wawancara dan pendapat anggotanya. Bicara tentang Galang, sebagai ketua OSIS, Galang terbilang cukup baik. Pemuda itu memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi, mau menerima pendapat dan masukan orang lain, ia juga tidak mau meminta maaf jika dirinya lalai atau melakukan kesalahan. Galang juga sering sekali memberikan reward kepada anggotanya sebagai bentuk motivasi untuk meningkatkan kinerja. Baginya, seluruh kegiatan sekolah tidak akan terlaksana tanpa kerja sama mereka yang sangat rela meluangkan waktu dan tenaga demi sekolah tercinta. Menurutnya, lebih dari posisi tertinggi bukan tentang seberapa besar kekuatan yang ia miliki, melainkan seberapa pantas dirinya untuk menyandang jabatan tersebut. Sedangkan menurut anggotanya, Galang adalah pemimpin terbaik yang mereka punya. Pemuda itu bisa menempatkan diri sesuai dengan kondisi, bisa menjadi teman yang baik atau ketua OSIS yang bijaksana. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD