Mawar Putih

1234 Words
Tampaknya Cleo memang tidak bisa Raihan hentikan hanya dengan kata-kata. Gadis itu tidak ada jera untuk menganggunya. Bahkan Cleo mendatangi ruang OSIS hanya untuk memberikan nasi goreng. Yang tentu saja membuat teman-temannya bersorak. Padahal kondisi saat itu mereka tengah diskusi mengenai pemilihan ketua OSIS dan wakil ketua OSIS berikutnya. Raihan menarik Cleo. Ia tidak ingin gadis itu semakin mendekati teman-temannya dan berbuat nekat di dalam. “Apa sih, Rai. Gue cuma mau nyapa temen-temen lo aja. Apa itu salah?” “Salah. Karena lo udah ganggu waktu kita. Harusnya kalau lo enggak datang, diskusi bakal berakhir lima belas menit dan gue bisa melakukan hal lain. Tapi karena lo datang, diskusi jadi pending dan gue kehilangan setengah jam gue.” Cleo tersenyum simpul. Ia melepaskan genggaman tangan Raihan lalu bersedekap. Jika Raihan terus saja menunjukkan dirinya sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak pemuda yang mendekatinya selama ini, bagaimana caranya Cleo bisa move on? Dan menuruti permintaan Raihan untuk tidak menjadi stalker lagi? Cleo suka dengan Raihan karena pemuda itu sangat disiplin. Seakan-akan jika ia membangun bisnis, waktu adalah uang untuknya. Bahkan dari apa yang selalu ia lihat, Raihan tidak pernah sekali pun melakukan kesalahan. Cleo tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, tapi bagi Cleo, di bawah sedikit kata sempurna itu ada dalam diri Raihan. Pintar, tampan, disiplin, tidak kasar, baik kepada teman-temannya, dan tidak mudah tersulut emosi. Raihan tampaknya sangat pandai untuk menutup kekurangan dan kekhilafannya. “Gimana caranya lo minta gue untuk mundur, sedangkan lo selalu tampil luar biasa di depan gue?” tanya Cleo. Raihan otomatis mengangkat sebelah alisnya, bingung. Ia tidak tahu kemana arah pembicaraan Cleo sebenarnya. Namun, di samping semua itu, Raihan hanya perlu mengatakan apa yang ingin ia bicarakan, tidak lebih. Sudah cukup ia kehilangan waktu setengah jam yang seharusnya digunakan untuk pergi ke tempat lain, ia tidak ingin kehilangan lebih banyak waktu lagi. “Pulang. Enggak perlu ke ruang OSIS lagi.” Meninggalkan Cleo, Raihan kembali ke ruang OSIS dan melanjutkan pembahasan tadi. Ada beberapa hal harus mereka pertimbangkan dalam memilih kandidat OSIS Bima periode tahun ini. Dari enam siswa yang mengajukan diri, mereka hanya akan memilih dua pasang kandidat. *** “Lo mau bareng enggak?” tanya Nara sesampainya di depan ruang jurnalistik. Anya menggeleng pelan. “Enggak. Gue pulang sama Bang Arga. “ Nara akhirnya pamit yang hanya dijawab senyum ceria oleh Anya. Nara berbelok ke kanan, sedangkan Anya melanjutkan perjalanan ke depan gerbang. Semoga kakaknya tidak telat seperti kemarin. Sehingga ia tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menunggu. Anya hendak duduk di kursi permanen yang berada di samping gerbang, tapi urung. Matanya tak sengaja melihat tatapan gelap Raihan. Tatapan yang selalu saja menjadi tanda tanya di pikiran Nata. Sekeras apa pun Anya berusaha untuk tidak bertanya mengenai tatapan familier itu, otaknya tidak sejalan dengan hatinya. Anya sering kali berpikir kemungkinan siapa Raihan sesungguhnya, tapi di saat itu pula, ia yakin bahwa tak ada ingatan satu pun tentang Raihan yang ada di memorinya. Ia sangat yakin mereka pertama bertemu di MOS pertama. “Woi bengong aja!” Nata terperanjat. “Bisa enggak jangan ngagetin! Lo mau adik lo yang paling cantik ini sampai kena serangan jantung?” Arga dengan cepat menjitak kepala Anya. Adiknya selalu saja mengatakan sesuatu secara berlebihan. “Lebay jangan dipelihara. Mana ada cowok yang mau sama cewek lebay.” “Kalau menghujat kayaknya lancar bener.” Anya mengambil helm dari tangan Arga dengan kasar. Abangnya tidak bisa diajak damai walau sehari. Sedangkan posisi Raihan masih sama seperti terakhir ia beradu pandangan dengan Anya. Setiap kali ia melihat tatapan tersebut, selalu saja ia merasa pernah hadir dalam hidup gadis itu. Namun jika dipikir-pikir, tentu saja Anya belum pernah mengenalnya sebelum MOS. Mengabaikan kejanggalan tersebut, Raihan mengeluarkan motornya dari tempat parkir. Pukul lima sore, harusnya Raihan sudah pergi sejam yang lalu. Raihan mengendarai dengan kecepatan sedang. Hari ini tepat enam tahun ia kehilangan orang-orang yang sangat ia cintai. Sebelum melajukan motor ke tempat tujuan, Raihan lebih dulu membeli bunga. Bunga mawar putih kesukaan wanita yang akan ia temui. Setengah jam setelah melakukan perjalanan dari toko bunga, Raihan berhenti di pemakaman umum. Langkahnya pelan, perasaan campur aduk selalu saja memenuhi hatinya ketika menapak di tempat ini. Enam tahun berlalu, tapi Raihan masih ingat dengan jelas bagaimana suatu kejadian mengakibatkan ia kehilangan segalanya. Nisan yang ia tuju berada di pojok paling kanan. Ia berada di antara nisan mama dan papanya. Raihan hanya memberikan bunga di atas nisan mamanya, berbicara seolah-olah mereka masih berada di dunia yang sama. Setiap tahun, ada satu kata yang tak pernah luput dari mulutnya. Maaf. Raihan selalu menggunakan kata itu untuk bermonolog dengan mama dan papanya. Meski ia tahu bahwa mereka tidak akan menyalahkan Raihan atas semua kejadian itu, tetap saja, Raihan sangat bersalah. Apalagi ada satu sosok yang sampai saat ini tidak Raihan tahu kehadirannya. Entah sudah meninggal atau masih hidup. Satu jam sudah pemuda itu bercerita, mengungkapkan segala hal yang ingin ia bicarakan kepada orang tuanya jika mereka masih berpijak di tanah yang sama. Orang tua angkat Raihan memang baik. Tapi ia belum bisa banyak terbuka dengan kedua orang tuanya tersebut. Sehingga setiap kali dirinya ingin bercerita, Raihan selau menyempatkan diri untuk mengunjungi orang tua kandungnya. Sebelum meninggalkan makam, Raihan lebih dulu berdoa. *** Arga menghela napas kasar. Setiap kali ia ingin berduaan dengan Agatha, Anya selalu saja mengganggu. Arga benar-benar menyesal karena menuruti permintaan Anya untuk makan bertiga. Sehingga mau tidak mau, Arga harus menerima pengabaian lagi. Kali ini dua gadis di depannya tengah membahas mengenai alur cerita drakor yang Arga tidak mengerti sama sekali. Saking serunya, Anya berulang kali berteriak histeris, tanpa peduli ia tengah berada di depan banyak orang. Arga bosan. Scroll ** atau main game tidak bisa mengurangi rasa bosannya. “Nya, gue mau bicara berdua sama Agatha. Lo pindah tempat dong!” suruh Arga. “No. Abang aja yang pindah tempat. Anya sama Kak Agatha belum selesai ngobrol. Jangan ganggu.” Arga kontan menyentil dahi adiknya. Frasa “jangan ganggu” sudah seharusnya keluar dari mulutnya untuk Anya, bukan sebaliknya. “Kak, pernah enggak sih merasa pernah ketemu sama seseorang yang baru kita temui saat itu?” “Pertanyaan lo ribet banget, Nya. Gue enggak paham.” “Gue tanya sama Kak Agatha bukan lo!” Setelah memberikan tatapan kesal kepada Arga, Anya kembali menatap Agatha. “Gue pastiin lo pulang jalan kaki, Nya!” seru Arga. Anya kontan menghadap abangnya lagi, lalu menyengir. “Jangan dong, Bang. Kok jahat sih sama Anya. Anya bakal bilang ke Mama loh.” Arga memutar bola matanya malas, sedangkan Agatha tersenyum simpul. Rasanya tidak lengkap jika kakak beradik itu tidak membuat masalah. Sepertinya drama Anya juga akan dimulai. Tentu saja karena gadis itu tidak ingin pulang dengan jalan kaki. “Ya maaf, Bang. Lagian Abang sih ngeselin banget. Anya kan kesal.” “Sudah. Jangan diperpanjang.” Anya mengangguk, memberikan kode agar Arga mau mengertinya. Ia bahkan mengedipkan mata genit hanya untuk membuat Arga mengubah keputusannya. Arga mati-matian untuk menahan tawa. Sepertinya sampai kapan pun, Arga tidak akan bisa marah lama dengan Anya. Adik satu-satunya itu selalu punya membolak-balikkan perasaannya. “Kita balik ke pertanyaan kamu. Jujur aku pribadi enggak pernah kayak gitu sih. Enggak pernah merasa pernah ketemu sama satu orang, padahal hari itu baru pertama kali nyapa. Kenapa memangnya? Kamu merasakan itu?” Agatha mengambil kentang goreng untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. “Ada sih, Kak. Tapi, lupain aja. Enggak penting juga.” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD