Awal Segalanya

1356 Words
Hirup-pikuk MOS terjadi di lapangan basket SMA Bhakti Kusuma. Para panitia penyelenggara berdiri paling depan, menghadap peserta yang berjumlah seratus enam puluh. Di sebelah kanan, kiri, dan belakang peserta berdiri petugas PMR berbalut korporet dan slayer kuning. “Perhatian semua!” Peserta didik baru yang semula melakukan aktivitas masing-masing kontan berhenti ketika suara berat itu menggema di lapangan. “Untuk siswi baru yang berada di barisan paling belakang. Silakan maju,” lanjutnya. Satu-satunya gadis berseragam putih biru yang berada di barisan paling belakang justru menoleh ke samping kanan, kiri, depan dan belakang. Tak ada barisan lain di belakangnya. Apakah mungkin yang kakak kelasnya maksud adalah dirinya? “Saya?” gumam gadis itu yang masih setengah terperangah. Ia bahkan menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan. “Memang ada lagi yang berada di barisan akhir selain kamu?” Pemuda balutan jas almamater SMA Bhakti Kusuma itu tampak lebih kesal dari sebelumnya. Gadis itu kontan melangkah dengan malas. Membuat seluruh atensi memusat padanya. Telinganya seketika berdengung mendengar bisik-bisik menyebut namanya. “Almaira Jihanya A,” gumam Raihan lantas berdecak keras. “Siapa nama panggilanmu?” “Anya, Kak.” “Tahu peraturan kalau diajak ngomong harus lihat mata lawan bicaranya tidak?” Anya langsung mendengus sebal dan mulai mengangkat kepalanya. Iris segelap malam itu sontak mengunci tatapan Anya beberapa detik. Ada kesan familier yang akhirnya membuat Anya bertanya dalam hati mengenai siapa sosok itu. “Jadi, kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini?” Suara tersebut menghentikan lamunan Anya. Gadis itu menghela napas, lantas menjawab, “Karena terlambat?” “Salah satunya.” Anya mengernyit. Salah satunya berarti ada kesalahan lain yang ia perbuat? Apa? “Maaf, Kak, sepertinya cuma itu kesalahan saya.” “Yakin?” Jika saja mereka sekarang tidak menjadi pusat perhatian, Anya sudah menonjok wajah sinis kakak kelasnya itu. Benar-benar menyebalkan. “Aturan MOS di sini menyebutkan bahwa peserta didik baru dilarang memakai aksesoris rambut.” Anya mundur beberapa langkah ketika pemuda itu menghampirinya. Ia bahkan sudah siap melayangkan tangan jikalau kakak kelasnya macam-macam. Namun, matanya justru membulat saat sebuah rol ditarik dari rambut panjangnya. “Rol rambut ada di kepalamu. Jadi saya berhak memberimu 20 poin karena dua kali melanggar peraturan.” Sontak, seluruh tawa menyembur detik itu juga. Teriakan, makian, dan hujatan terdengar sangat jelas di telinganya. Anya memejamkan mata malu. Bisa-bisanya ia lupa melepaskan rol rambut dan sekarang menjadi pusat perhatian seperti ini. MOS pertama yang tidak mengesankan sama sekali. Rasanya Anya ingin mengganti muka. Setelah berusaha mengumpulkan keberanian, akhirnya ia membuka mata. Seakan-akan tidak merasa bersalah, Anya menyengir lebar. "Maaf, Kak, saya lupa.” “Simpan senyum bodoh itu. Percuma, saya tidak akan mengurangi poin pelanggaranmu.” Anya mencebikkan bibir, lalu merapalkan sumpah serapah dalam hati. Padahal Anya berharap masa orientasi siswa akan sangat menyenangkan seperti di dunia novel, bertemu dengan kakak kelas baik hati, diajak berkenalan, dan jatuh cinta. Tapi, apa? Semesta justru mempertemukan dirinya dengan kakak kelas galak berwajah datar seperti itu. Fix, dunianya tak seindah novel yang pernah ia baca! “Kembali ke tempatmu!” Sepanjang menuju barisan, bibir Anya megap-megap seperti ikan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. *** Selesai upacara pembukaan, seluruh peserta diperbolehkan untuk memasuki ruangan masing-masing. Anya mengambil minuman dari ranselnya, lantas minum hingga setengah botol. Berdiri hampir sejam lebih untuk kaum rebahan seperti Anya sungguh membuat kaki menjadi kebas. Sejak liburan, ia seketika menjadi gadis pemalas yang enggan untuk keluar rumah. Kesehariannya hanya makan, minum, menonton drakor, membaca novel, dan tidur. Jadi bisa dibilang, kakinya terkejut. "Lo orang yang tadi kena teguran panitia, 'kan?" Anya yang semula menaruh kembali botol minuman ke dalam tas seketika menoleh, hingga mendapati gadis cantik berhidung minimalis menatapnya dengan ceria, tatapan yang mengatakan ingin berkenalan. "Iya." Gadis yang semula hanya berdiri di samping meja Anya, lantas mengubah letak tas gendongnya dari kursi depan ke samping Anya. "Kenalin. Gue Alivia Nara Agustin. Panggil aja Nara." Nara tersenyum tulus seraya menjulurkan tangannya ke arah Anya. Gadis berciri khas memiliki t*i lalat di dagu itu tersenyum lebar. "Almaira Jihanya Akbar. Panggil Anya." Terlepas dari image buruk di hari pertama masuk sekolah, Nara ternyata mau berteman dengannya. "Lo enggak pengen ke kantin?" "Boleh. Yuk!" Nara beranjak lebih dulu, diikuti oleh Anya dari belakang. Sembari melangkah, Anya mencoba untuk mengingat nama-nama ruangan yang ia lewati. Mungkin saja, ruangan tersebut akan ia kunjungi beberapa hari ini. "Kenapa lo bisa ceroboh kayak gitu? Bisa-bisanya rol rambut masih nongkrong di kepala?" Anya mengalihkan pandangannya pada punggung Nara. Lalu, menyeimbangkan langkah di samping gadis itu. "Karena kelamaan liburan, gue lupa kalau hari ini masuk sekolah. Selesai mandi, pakai rol bukannya persiapkan barang eh malah nonton drakor. Beeuh, ceroboh dari lahir gini amat.” "Ngakak banget, sumpah. Kalau bukan upacara, mungkin gue bakal ketawa paling keras." Kantin yang ramai membuat keduanya menghentikan langkah sejenak. Mereka mengedarkan pandangan pada isi kantin, berharap masih ada kursi yang kosong. "Kok penuh ya? Padahal gue laper banget. Mana dari pagi belum makan," keluh Anya. Gadis berkulit putih kekuningan itu menyentuh perutnya yang mulai berbunyi. Wajahnya yang cantik terlihat imut kala kelabakan. "Ke dalam aja yuk, siapa tahu masih ada tempat yang kosong." Anya hanya menurut kala Nara menarik tangannya untuk masuk ke kantin. Para siswa dan siswi tampak berdesakan dan berseru untuk mendapatkan satu makanan yang mereka inginkan. Suasana begitu ricuh layaknya pasar di pagi hari. Teriakan bersahutan menjadi ciri khas kantin. "Ada kursi kosong tuh." Sambil menunggu antrian berkurang, Nara dan Anya duduk di satu-satunya kursi kosong. Tak lama kemudian, satu gadis bertubuh tambun mendekati mereka dengan membawa satu nampan berisi makanan dan minuman. "Ini tempat gue. Ngapain kalian di sini?" "Pergi dari sini!" Gadis lain mengusir Anya dan Nara. "Maaf, tapi kita duluan yang duduk di sini." Nara mengatakannya dengan nada selembut mungkin. "Ini tempat kita. Lo enggak dengar tadi Gita ngomong gitu, 'kan?" Senyum sinis memperlihatkan kawat yang terpasang di gigi gadis ber-name tag Firaya Anggrani. "Budayakan untuk siapa cepat dia dapat ya. Kita duluan yang di sini, kalian enggak bisa sewenang-wenang kayak gitu." Anya yang meninggikan suara kontan membuat semua mata menoleh pada mereka. Anya menghela napas lagi. Sungguh hari pertama MOS yang menyebalkan. "Sudahlah, Nya. Daripada mengurusi mereka, mending kita aja yang ngalah. Orang waras harus pantas mengalah. Kita pindah tempat aja." Mood makan Anya seketika sirna begitu saja. Tak peduli dengan perutnya yang mulai perih, ia tidak ingin memberi keributan. “Kita balik aja ke kelas.” "Tapi, Nya. Katanya lo lapar." "Gue bisa makan nanti aja. Mood gue udah hilang, Ra." "Nanti ada apel lagi lho, Nya. Yakin?" "Gue bisa nahan." Nara hanya mengangguk pelan untuk menyahut pernyataan Anya. Langkah Anya seketika terhenti ketika matanya tak sengaja menabrak iris hitam di seberang sana. Tatapan yang entah kenapa selalu memberikan kesan familier untuknya. Seperti telah mengenal lama. Padahal, mereka jelas baru bertemu di MOS hari ini. Itu pun karena dirinya melakukan pelanggaran. “Lo siapa sih, Kak?” batinnya. Kejadian itu tak berangsur lama karena pemuda yang memiliki rahang tegas itu mengalihkan tatapannya. Ia terlihat menyumpal telinga dengan earphone lalu memejamkan mata. Dalam waktu ini, Anya baru sadar bahwa kakak kelasnya itu tampan. Sepersekian detik berikutnya, Anya menggeleng kuat. Apa-apaan dirinya memuji orang yang jelas sekali sudah mempermalukan harga dirinya di depan umum. Meski bukan sepenuhnya salah kakak kelasnya, sih. Tapi, sama saja pemuda itu yang memperparah rasa malunya. *** Tubuh Anya melemas. Peluh keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Kepalanya berdenyut. Pandangannya mengabur. Perutnya sakit. Paket lengkap rasa sakit di apel siang ini. "Kenapa, Nya?" tanya Nara khawatir. "Badan gue lemes." Nara yang melihat wajah pucat Anya segera mendekat. Ia langsung memapah tubuh temannya itu yang mungkin sebentar lagi akan jatuh. Nara mengangkat tangan sambil berucap, “Kak, teman saya sakit.” Satu pemuda berbalut korporet khas anak PMR kontan mendekati mereka, ia menggantikan posisi Nara untuk memapah Anya. “Kamu di sini saja. Biar saya yang bawa temenmu ke UKS.” Meski dalam lubuk hatinya terdalam ia ingin mengantarkan Anya, tetapi Nara hanya mengangguk patuh. Ia juga tidak ingin memohon kepada pemuda itu untuk mengizinkannya ikut. Detik seolah melambat, baru satu langkah tubuhnya dibawa pergi oleh pemuda itu, secara perlahan gelap menyambutnya dengan sempurna. Seandainya pemuda itu tidak menangkap, tubuhnya pasti akan membentur lapangan dengan kuat. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD