Hukuman

1411 Words
Bukan seperti biasanya, Anya dan Arga pagi ini tidak lagi membuat ulah. Membuat rumah yang setiap paginya ramai dengan tingkah mereka, mendadak hening. Mama dan Papa masih sama seperti hari sebelumnya. Melakukan aktivitas sebagai Mama yang menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak, serta Papa melahap makanan sebagai bekal tenaga ke kantor. Keadaan masih sama, tetapi Anya dan Arga merasa ada jarak tak kasat mata yang berada di antara mereka. Keduanya sadar bahwa jarak itu terjadi sejak malam tadi. Sejak mereka memecahkan gelas dan dihukum Mama. “Maaf,” ucap Arga, mati-matian untuk memberanikan diri memulai pembicaraan. “Habiskan dulu makanan kalian. Kita bahas nanti, sebentar sebelum berangkat,” tegas Papa. Jika sudah titah dari kepala keluarga, tak ada lagi yang berani membantah. Sesuai kesepatakan, usai makan, mereka berkumpul di ruang tamu. Namun, mereka belum memulai pembicaraan sejak lima menit yang lalu. Papa dan Mama masih berpikir untuk mengungkapkan kalimat dengan tepat, sedangkan kedua anaknya hanya menunduk. Hati Anya berdebar tak karuan. Ia benar-benar takut jika kedua orang tuanya akan marah besar. Mengingat tadi malam, keduanya tampak tak baik-baik saja. Ia tahu, dirinya dan Arga salah, tetapi di sisi lain, kedua orang tuanya tentu tahu bahwa tak ada sehari pun dirinya dan Arga tak bertengkar. Namun untuk malam itu, Anya melihat tatapan marah bercampur jengah dari keduanya. Bahkan, baru malam itu dirinya mendengar Mama dan Papa semarah itu pada mereka. Ia tak tahu, sudah keterlaluan atau memang kedua orang tuanya tengah dalam masa yang sulit atau kelelahan. “Oke, tanpa mengulur waktu. Arga dan Anya, kalian tahu kesalahan kalian apa?” tanya Papa dengan tangan yang masih setia bersidekap. “Iya, Pa,” jawab Arga dan Anya serempak. “Bagus kalau kalian tahu. Tapi, maksud Papa mengumpulkan kalian di sini bukan untuk marah untuk kedua kalinya.” Keduanya mendongak, menatap Papa dengan bingung. “Papa hanya mau minta maaf. Papa tak seharusnya bersikap seperti itu tadi malam. Papa tak seharusnya membentak kalian. Maafkan, Papa.” Senyuman dari keduanya turut mengantarkan rasa damai di hati Papa dan Mama. Sebagai orang tua, mereka tahu persis reaksi diam kedua anaknya. Terlihat dengan jelas, tak ada raut binar yang selalu mereka tampakkan setiap pagi. Karena itu, mereka memutuskan untuk mengakhiri drama ini. Sebagai seorang panutan, sudah selayaknya mereka mengakui kesalahan. Yang salah, tetap harus meminta maaf, itu aturan di dalam keluarga ini. “Maafkan Mama juga. Mama tak seharusnya menghukum kalian sampai tangan Anya terkena beling.” “Kita juga minta maaf. Maafkan kami, Ma, Pa.” Arga lebih dulu mendekat ke arah orang tuanya, lantas diikuti Anya. Mereka akhirnya saling memeluk. “So, jangan berantem lagi setelah ini,” ucap Mama. “No, bertengkar sama Bang Arga adalah hal yang enggak boleh dilupain,” ucap Anya. Hingga mengundang jitakan dari Arga. *** Gerbang SMA Bhakti Kusuma yang menjadi satu-satunya akses masuk sekolah akan ditutup satu menit lagi. Menggantikan Galang yang masih sibuk mengawasi penataan ruang LPJ, Raihan sudah berjaga di depan gerbang bersama satpam. Tepat waktu adalah hal mutlak yang harus siswa-siswi SMA Bima laksanakan. Raihan melirik arloji di pergelangan tangannya, lantas mulai berhitung mundur. Sedangkan satpam sudah bersiap untuk menutup pintu gerbang. “Tiga ... dua ... satu.” Pintu gerbang ditutup. “Yah, kok udah ditutup, sih,” keluh gadis bertubuh semampai yang menggunakan tas punggung berwarna biru laut. Napasnya tampak tak beraturan. Tangannya menggedor gerbang, seolah-olah bisa mematahkan gemboknya. “Saya cuma telat satu detik, Pak, masa enggak ada ampunan, sih.” “Telat tetap aja telat.” Anya otomatis melepaskan tangannya dari besi pagar, lantas menegakkan tubuh. Ia tak tahu bahwa sedari tadi, Raihan berada di sana. Kenapa sih, setiap kesialan gue selalu ada dia? Pikirnya. “Sedetik loh, Kak. Masa gitu sih sama adik kelas.” Gadis itu mengedipkan mata genit, memohon dengan wajah yang dibuat semelas mungkin. Untuk kali ini, Anya akan berusaha sebisa mungkin untuk membujuk kakak kelasnya. Tak peduli malu di akhir, yang penting ia bisa lolos dari hukuman sebagai siswi terlambat. “Mata lo kenapa? Bintitan?” “Aish.” Anya kembali dengan wajah geramnya. Ia benar-benar yakin, jika Raihan tak pernah memiliki pacar. “Sekali aja, Kak. Besok gue enggak akan telat lagi deh. Lagian Cuma jarak satu detik aja. Masa lo tega sih sama gue?” “Dih, emang lo siapanya gue?” Mampus. Anya merutuk dalam hati. Bisa-bisanya ia berbuat seperti itu, di depan Raihan. Kakak kelas super songon yang menjunjung tinggi kedisiplinan. Sampai ia nangis darah pun, pemuda itu tak akan mau membukakan pintu. “Kakak kelas sialan,” umpatnya. “Pak satpam yang baik hati, tidak sombong, suka menabung, ganteng, manis, bukain pintunya, ya.” Anya tak berhenti berusaha. Setidaknya untuk kali ini ia akan membujuk satpam sekolah. “Maaf, Neng. Ini sudah menjadi peraturan.” Tubuh Anya melemas. Sepertinya memang tak ada guna ia membuang-buang waktu untuk memohon. Selagi masih ada Raihan yang berdiri tegak di samping satpam, ia jelas tidak akan diperbolehkan masuk. Daripada lelah berdiri, lebih baik ia duduk. Mengambil kertas kosong, lantas mendudukinya dengan punggung bersandar pada gerbang. Jika saja Abang jahilnya itu tidak beraksi pagi ini, ia tak akan terlambat datang ke sekolah dan duduk seperti pengemis di depan gerbang. Usai fase berpelukan keluarga, Papa berangkat lebih dulu kantor. Sedangkan Arga dan Anya mengambil tas mereka masing-masing. Namun, gadis itu tak menyangka bahwa ternyata Arga sudah mengambil ancang-ancang untuk mengerjainya. Pemuda itu berlari dan meninggalkan Anya dengan berangkat sekolah lebih dulu. Alhasil, Anya harus menunggu angkutan hingga lima belas menit. Saat Raihan mulai hitungan, Anya buru-buru ke luar angkot dan lari. Nahas, di hitungan satu, ia baru sampai gerbang dan akhirnya telat. Tak lama setelah itu, satu per satu siswa langganan terlambat berdatangan. Sama dengan Anya sebelumnya, mereka juga memohon pada satpam. Bahkan ada juga yang mencoba menyogok Raihan dan satpam, tapi tidak berhasil. Sama seperti Anya, akhirnya mereka menyerah. Setelah Raihan mencatat nama siswa yang terlambat, ia meminta satpam untuk membuka pintu. “Setelah ini, jangan lupa kumpul di depan ruang BK.” Raihan kontan menarik tas Anya ketika melihat gelagat aneh gadis itu yang tampaknya hendak melarikan diri. “Kalau lo kabur, gue bakal ngasih hukuman dua kali lipat daripada hukuman mereka,” ancam Raihan. Melihat wajah Anya geram, membuat seulas senyum muncul di bibir Raihan. Anya terlihat lebih imut jika dalam kondisi kesal. “Selalu aja nyebelin.” *** “Gara-gara lo, gue jadi kena hukuman. Lo itu Abang macam apa sih? Heran gue.” Anya mendudukkan diri secara paksa di salah satu kursi, semeja dengan Arga dan Agatha. Gadis itu bahkan tak sungkan untuk mengambil minuman Arga, saking hausnya karena dihukum mencabut rumput liar selama 2 jam. “Abang macam warna.” “Kak Agatha, mending jangan sama Bang Arga deh. Dia sama adek aja, kejam banget.” Ia menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata. Berharap dengan seperti ini, rasa lelahnya akan hilang. “Kenapa, Nya?” “Bang Arga ninggali gue.” “Suruh siapa lo tadi malam rese. Mana setelah itu, papa sama mama marah lagi. Ya gue kerjain aja.” “Kalau lo ngalah, mereka juga enggak bakal marah. Lo itu yang salah. Bukan gue.” Agatha mulai menghela napas lagi. Ia sudah mencium bau perdebatan setelah ini. “Gini ya Bang, pasal dalam hubungan itu ada dua. Pertama, wanita enggak pernah salah. Kedua, kalau wanita salah, balik lagi ke pasal satu.” Kali ini Anya mengambil kentang goreng Arga. “Dih, pasal macam apa itu. Heh, kentang goreng gue.” Arga memukul tangan Anya hingga gadis itu mengaduh. “Sakit, Bang. Sadis banget.” “Tangan lo kenapa lagi?” tanya Arga. “Bekas luka semalem berdarah lagi gara-gara nyabut rumput.” Anya menjawab enteng, tetapi mendapat respon tak biasa dari Agatha. “Harus diobatin, takut kalau infeksi.” Anya menyengir. “Enggak apa-apa, Kak.” “Ini bukan pertama kali dia luka-luka gitu, Tha. Kebiasaan ceroboh yang enggak ilang-ilang dari lahir.” Arga berusaha untuk tidak peduli, meski sebagai seorang kakak, perasaan cemas itu tak pernah bisa ia hentikan. “Tetep aja, Ar. Lukanya harus diobati.” “Kak Agatha perhatian banget sih sama Anya. Jadi tambah sayang.” Mata Anya melirik ke Arga yang kini menatapnya dengan nyalang. Mewanti-wanti untuk tidak membawa Agatha pergi. Sayangnya, dendam Anya belum berakhir. Ia masih ingin mengerjai abangnya itu. “Ayo, Kak, ke UKS.” Mata Arga sudah mau copot detik itu juga. Bisa-bisanya ia mempunyai adik menyebalkan seperti Anya. Alih-alih mendekatkan dirinya dan Agatha, Anya justru sering mengiming-imingi Agatha untuk memutuskan hubungan dengannya. Atau Anya mengganggu momen pacaran dirinya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD