Trauma

1048 Words
Beberapa tahun yang lalu Kemarahan menuntun kakinya melangkah cepat meninggalkan dermaga, menuju mobil yang sudah siap untuk mengantarnya pulang. Pintu mobil dibukakan oleh seorang pria di bagian penumpang belakang. Tanpa dia bertanya apa-apa, masuk begitu saja dan pintu langsung ditutup. Si pria kembali ke posisi kemudi, menyalakan mesin dan pintu tertutup otomatis. Mobil langsung pergi meninggalkan lokasi dan si cantik ini baru tersadar jika ada yang tidak beres. "Hey, tuanmu belum masuk. Kenapa kau langsung pergi?!" Serunya sembari menepuk bahu si supir dengan sangat keras. "Tuan siapa, cantik—" ucap seorang pria yang duduk di bagian kursi paling belakang kemudian melangkah pindah ke sisinya. "Si-siapa kau?! Mau apa kau?!" bentaknya terbata. Panik, manik matanya bergerak gelisah, takut. Tubuhnya merapat ke sisi pintu mobil. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Lelaki yang berparas tampan, berambut ikal, berkulit putih dengan pakaian lusuh ini tertawa. Bersama dua orang temannya yang berada belakang juga ikut tertawa. "Halo sepupuku, jangan takut sama abang sepupumu ini. Aku hanya ingin mengenalmu karena kita belum saling mengenal," jawabnya santai tanpa beban sama sekali. "Sepupu, abang... Aku tidak kenal kau, aku—" Mulut kecil si gadis menjeda ucapannya, melongo menatap sosok di depannya. Pria ini menyalakan lampu tengah mobil sehingga mereka berdua bisa saling melihat satu sama lain. Paras indah keduanya bisa dipadukan jika dianggap sepupu. Gadis cantik yang masih berusia 19 tahun ini semakin ketakutan. Melihat seringai buas si abang sepupu yang memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sialnya, gadis ini hanya mengenakan celana pendek setengah paha dan baju kaos longgar model batwing. Seluruh tubuhnya yang mulus memanjakan mata semua pria yang melihatnya. "Kau lebih cantik dari yang aku lihat di TV Luna. Selamat datang di Indonesia, aku akan menyambut kedatanganmu dengan surprise yang sangat mengesankan untukmu." Mobil bergerak semakin jauh, memasuki hutan belantara yang gelap dan rimbun. Tidak ada satu pun rumah penduduk di sekitarnya. Tidak ada juga lampu penerangan jalan, apalagi CCTV. "Tolong, jangan lakukan apa-apa padaku. Jika kita saudara, harusnya kau baik padaku bukan?" ucap Luna terbata, dia sudah sedikit gemetaran. Gadis manja ini belum pernah dikasarin oleh siapa pun. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk meski dia artis kontroversial. "Ohoooo, baik? Seharusnya begitu cantik. Jika kita saudara kita harus sama-sama berbuat baik. Tetapi papahmu tidak begitu. Dia serakah, dia jahat dan dia tega mencampakkan kami sehingga membuat kami jatuh miskin. Memberikan aset keluarga pada anak haramnya yaitu si Tuan yang kau maksud Dennis Wellington," ucap lelaki ini, dengan sarkasme. Menatap Luna penuh dengan kebencian dan menyunggingkan senyum tipis. "Jadi, a-apa yang kau mau. Harta apa, nanti aku katakan Mas Denis jika kau mau itu," ucapnya lagi, ketakutan. Si lelaki mengambil gulungan tembakau dan menyalakannya. Menghisap lalu menghembuskan asap rokok itu di depan si gadis yang kemudian terbatuk dan menutup wajahnya. "Tolong jangan merokok, aku tidak suka pria yang merokok," pintanya memelas. Namun si lelaki masih terus saja menyemburkan asap rokok itu ke depan si gadis. "Anak manja! Inikah didikan seorang dokter pecundang itu." "Jaga bicaramu! Katakan saja berapa banyak uang yang kau mau. Mas Denis pasti memberikannya," sergah gadis ini, tak terima jika papahnya dikatakan orang lain. "Tidak cantik, aku memang butuh uang tetapi uang yang kau maksud itu tidak bisa membalikkan waktu yang telah kami alami. Kelaparan, kekurangan, tidak bisa lanjut sekolah, tidak punya rumah dan harus tinggal di panti asuhan. Sedangkan kalian, hidup enak, harta berlimpah dan sukses, itu tidak sebanding bukan. Jadi, aku ingin membuatmu merasakan kehancuran dan kegelapan hidup kami!" ucapnya dan mobil berhenti di tengah hutan. Sang supir keluar dan langsung membuka pintu di sisi Luna. "Tolong, aku mohon jangan. Jika kita saudara harusnya kita bicarakan baik-baik. Apa yang kau mau katakan saja, papahku pasti akan memberikannya. Aku mohon ... jangan ... jangan sakiti aku." Derai air mata gadis ini luruh begitu saja, saat ditarik paks. Sementara si sepupu terus tersenyum memperhatikannya dan menikmati kepulan asap yang keluar dari mulutnya. Kedua pria yang ada di belakang juga turun dari mobil. Pikiran Luna sudah tidak menentu, hal buruk yang terjadi sudah terbaca di otaknya. Dia akan menjadi seorang yang hina malam ini. "Tolong, jangan sentuh aku, jangan sakiti aku. Jika kau melakukannya maka kedua kakak lelakiku tidak akan pernah memafkanmu, kau akan hancur dalam sekejap!" teriak gadis ini disertai isak tangisnya yang ketakutan. Seolah tidak punya hati, lelaki tampan ini menyuruh kedua temannya untuk, "Koyak bajunya dan lepaskan celananya, sisakan dalaman saja. Setelah itu ikat kuat kedua tangan dan kakinya." Kedua pria itu berjalan mendekati Luna yang meronta kuat dalam cekalan tangan supir. Terus berteriak meminta tolong tapi mulutnya cepat ditutup dengan lakban. Kedua tangannya diikat dan kaos longgarnya mulai di koyak. Sang sepupu memperhatikannya sambil merekam dan mengirimkannya pada seseorang yang akan mengambil alih Luna berikutnya. Tak lama kemudian ponselnya berdering lalu dijawabnya cepat. "Aku sudah—" "Jangan kau sentuh! Sedikit saja ada luka ditubuhnya, aku potong imbalanmu per 10 persen." "Oke Raja, selamat menikmati adik sepupuku yang cantik. Aku akan meninggalkannya di sini dan siap untuk kau eksekusi. Jangan lupa, transfer langsung uangnya setelah kau menemukannya disini." *** "Jangan, tolong, sudah, lepaskan aku ... lepaaaasss!" Keringat membanjiri wajah dan lehernya. Seketika kamarnya gelap gulita. Lampu tidur di kamarnya tetiba mati. Bergegas di turun dari ranjang dan berlarian menuju pintu untuk mengeluarkan sesak di dadanya. "Aduh, awww, aww!" Entah apa yang ditabraknya hingga akhirnya dia mencapai pintu, keluar dan terduduk di depan pintu, sembari mengelus kakinya yang mungkin sebentar lagi akan memar. "Ada apa nona?" tanya seorang wanita paruh baya yang tinggal bersamanya ini. "Lampu tidur kamarku mati, apa kau bisa masuk menyalakan lampu utama. Aku takut gelap," ucapnya. "Baik, aku akan menyalakan lampu yang besar, tapi aku bisa tidur atau aku ganti lampunya dengan lampuku?" Si cantik ini mengangguk. Tinggal bersama orang lain yang sangat peduli padanya adalah keberuntungan untuknya. Rumah ini besar, dibersihkan oleh petugas kebersihan yang dibayar olehnya sedangkan wanita paruh baya ini adalah tukang masak untuknya sekaligus jaga rumah saat dia tidak ada. Setelah lampu diganti, dia kembali tertidur, nyenyak ke alam mimpi. Pagi harinya, dia kembali ceria. Melupakan tragedi semalam yang membuatnya terpuruk. Begitulah Luna, dia mudah untuk bangkit setelah mengalami masa-masa sulit. Tetapi trauma itu belum bisa hilang, entah sampai kapan. "Halo, rapat dimajukan pukul 9 pagi, katakan pada semua guru. Semua murid diberikan keleluasaan praktek dengan pantauan CCTV selama rapat berlangsung. Aku akan tiba setengah jam lagi."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD