Chapter Tujuh

982 Words
        Penyelidikan dihentikan sesaat. Aster sudah merasa cukup berpikir pada hari ini. Jika kepalanya digunakan terlalu keras, terkadang bisa membuatnya sakit kepala berat. Sebelum hal itu terjadi, dia memilih untuk beristirahat dan pulang ke panti. Hari esok barulah Aster akan melanjutkan kegiatannya.         “Hai Danyl!” sapa Aster kepada pria gemuk di depan panti.         “Halo, Aster,” jawabnya.         Hingga sekarang asal usul pria tersebut masih menjadi misteri. Atau mungkin hanya karena Aster tidak pernah bertanya tentang orang tersebut kepada Miss Belly.         Perawakan Danyl sangat besar, perutnya gemuk seperti wanita yang sedang hamil tua. Pipinya sangat serasi dengan perut besarnya. Namun dia terlihat masih muda, belum mencapai tiga puluh. Yang paling Aster sukai adalah kepolosannya. Entah kenapa Danyl mudah sekali dikelabuhi. Terutama jika dipancing oleh sebuah makanan lezat, dia pasti tidak bisa mengelak. Entah bagaimana jadinya jika sewaktu-waktu ada penjahat yang menyerang panti. Aster tidak yakin Danyl bisa mengatasinya seorang diri. Yang ada dia akan mempersilahkan penjahat tersebut untuk masuk dengan senang hati.         Sebelum masuk ke dalam panti, Aster menghentikan langkahnya. Sedikit berjalan kebelakang untuk mengintip keberadaan Danyl yang tengah terdiam di pos jaganya. Pria tersebut tertegun entah menatap atau berpikir apa. Aster mulai merasa apakah dia memiliki kelainan dalam kepalanya? Hal itu sangat masuk akal.         Aster mengurungkan niat untuk masuk ke dalam dan sengaja kembali menyapa si pria lugu. Baru pertama kalinya dia tetarik mengamati Danyl dari dekat. Selama ini Aster tidak pernah merasa sepenasaran itu kepadanya.         “Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Aster.         “Tidak ada,” jawab Danyl singkat. Dia masih tetap menatap ke kejauhan dengan mulut yang sedikit menganga.         Aster duduk pada bangku di samping pria tersebut. “Apa kamu tidak merasa bosan?”         “Kalau bosan aku akan mendengarkan lagu.”         “Tapi, aku tidak melihat ada alat pemutar musik di sini.” Aster mencoba mencari-cari di sekitar.         “Aku bisa mendengarkan lagu tanpa benda itu.”         “Bagaimana caranya?”          “Cukup konsentrasi dan lagu-lagu itu akan mulai bermain di dalam kepalaku.”         “Wow,” hanya itu yang bisa diucapkan.         Danyl mungkin terlihat seperti orang yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi sebenarnya Aster percaya bahwa dia adalah orang yang sangat pintar. Mungkin pikiran Danyl sudah jauh lebih maju dibandingkan miliknya sendiri. Bahkan bisa jadi Aster tidak ada apa-apanya dibanding lelaki tersebut.         “Di mana kamu tinggal sebelumnya? Apa kamu bersekolah? Kenapa bisa ada di sini?” kebiasaan Aster memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi kembali muncul. Terkadang dia tidak bisa mengendalikan itu semua. Berbagai pertanyaan dalam kepalanya selalu saja berusaha mendesak keluar. Terkadang Aster sendiri pun tidak sadar sudah mengucapkan pertanyaan-pertanyaan itu. “Aduh, maaf aku terlalu banyak bertanya,” tambahnya.         Dengan tanpa mengubah posisinya, Danyl mulai berbicara, “Aku tinggal di komplek dekat pohon oak. Di sana aku tinggal bersama ayah, ibu dan tiga kakak perempuan. Kita semua hidup berkecukupan dan sederhana. Mereka hidup bahagia, setidaknya sampai aku lahir. Setelah itu barulah aku membawa banyak kesulitan bagi mereka. Aku berkali-kali dikeluarkan dari sekolah karena dirasa selalu mengacau di kelas. Padahal aku hanya senang mengutarakan pendapat dan selalu lebih dulu mengetahui sesuatu. Tapi mereka semua tidak menyukainya. Kadang apa yang aku senangi selalu dipandang tidak normal dan aneh. Kakak-kakakku malu mengakuiku sebagai adik. Begitu pula dengan orang tuaku. Hingga akhirnya mereka memintaku untuk mencari kehidupan sendiri agar aku bisa hidup mandiri.”         Dengan kata lain mereka mengusirnya.         “Saat itu aku berjalan menjelajahi kota. Tidak tahu akan pergi kemana. Tempat ini luas tapi menurutku hanya sebatas seperti kurungan semata. Terlalu banyak sudut mati. Hal itu membuatku semakin terkurung dan merasa tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan. Lalu Miss Bella yang kebetulan menemukanku mengajak untuk pergi ke panti. Dia bilang ada pekerjaan untukku. Aku bisa tinggal di panti bersamanya dan anak-anak. Sejak itulah aku ada di sini, berusaha membalas budi Miss Bella yang sangat baik kepadaku.”         Cerita telah usai. Tidak ada perubahan ekspresi dari si pembicara. Hanya saja si pendengar mulai berkaca-kaca. Aster merasa iba kepada Danyl, juga merasa kesal kepada keluarganya. Dia tidak habis pikir bahwa di dunia ini masih ada orang-orang seperti itu. Tega mengusir anggota keluarganya sendiri, hanya karena dia memiliki hal spesial.         Aster memaksakan tersenyum untuk mengusir kesedihan. “Apa kamu merindukan keluargamu?” tanyanya pada lelaki gemuk tersebut.         “Dari mulai melangkahkan kaki keluar rumah aku sudah merasa rindu pada mereka. Aku ingin sekali bertemu mereka. Tapi ibu bilang dia akan sedih jika aku kembali ke rumah, karena mereka benar-benar ingin aku bisa hidup mandiri di luar rumah.”         Aster sudah tidak ingin lagi mendengar kelanjutan cerita memilukan itu. Dia memeluk Danyl dengan penuh rasa sayang. Jika saja ada yang bisa dilakukannya, Aster pasti akan segera berbuat sesuatu. Tapi, tampaknya hal itu tidak akan berbuah baik. Setidaknya Danyl akan lebih baik jika tinggal bersama Miss Belly di panti.         “Jangan khawatir, Danyl. Mulai sekarang kamu memiliki keluarga baru, karena Miss Bella pasti sudah menganggapmu seperti anaknya sendiri. Jika kamu merasa sedih dan butuh teman untuk berbicara, masuk saja ke dalam. Semua orang pasti senang jika kamu mau bermain bersama mereka.”         Aster melepaskan pelukannya. Dia menarik napas saat melihat Danyl tidak bergeming sedikitpun. Tidak ada perubahan dari ekspresinya, masih sama seperti pada saat sebelum bercerita. “Aku masuk dulu ya. Kapan-kapan kita mengobrol lagi,” katanya sebelum bergegas melangkah masuk ke panti.         Danyl masih terdiam dengan mulut menganganya. Pandangannya kosong. Dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Aster berpikir mungkin pria itu sudah tidak terlalu memikirkan masalahnya. Hal itu membuat dia tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan Danyl lagi. Tapi ternyata Aster salah besar. Meski terlihat selalu tenang, semua perasaan yang ada di dalam benak Danyl selalu bergejolak, sama seperti yang selalu Aster rasakan. Hanya saja pria tersebut tidak bisa mengekspresikannya secara langsung.         Andai saja Aster lebih lama diam di sisi Danyl, dia pasti akan ikut bersedih. Karena sekarang butiran air mata mulai meleh dari dalam matanya.          Setidaknya aku akan berusaha agar kamu bisa merasakan hidup yang lebih baik dari pada sekarang, Danyl. Aku berjanji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD