OWN 2 | Gigitan Taring Pengkhianatan
Langit mendung menambah kesuraman suasana pemakaman. Rintik hujan mulai turun, seakan alam turut merasakan kesedihan yang mendalam. Jessica berdiri di depan makam baru yang masih segar, dengan bunga-bunga mawar putih yang berserakan di atasnya. Matanya yang berwarna hazel berkaca-kaca, menatap kosong nisan yang terpahat nama ayahnya. Tangannya gemetar saat ia berusaha mengendalikan isak tangis dengan kuat.
Jessica mengenang wajah ayahnya, senyuman hangatnya, dan pelukan penuh kasih sayangnya. Kehilangan ini terlalu berat untuknya, membuat dunia seakan runtuh. Tubuhnya lemas, nyaris jatuh kalau saja Ilias tidak segera mendekat dan menahan bahunya. Ilias, dengan mata biru cerahnya yang penuh simpati, menatap Jessica. Ia tidak berkata apa-apa, terutama saat Jessica balas menatapnya dengan sorot kebencian.
Jessica menepis tangan Ilias dengan kasar dan beranjak pergi lebih dulu.
Suasana pemakaman tampak ramai dengan para pengusaha yang melihat situasi, tanpa menampakan raut kesedihan di wajah mereka. Semuanya hanya semakin lebih waspada, terutama sata melihat buruknya interaksi dua penerus itu.
Ilias memperhatikan wajah-wajah waspada yang ditujukan padanya. Juga memperhatikan bagaimana mereka sedikit menarik senyuman, sambil memperhatikan punggung Jessica yang menjauh, mengabaikan setiap sapaan yang datang.
Sampai gadis itu masuk ke dalam mobil dan beranjak pergi. Semua orang akhirnya datang menghampiri Ilias, memberikan ucapan bela sungkawa yang tidak dibutuhkan.
Dari kejauhan, Ilias melihat seorang pria berjas putih yang datang menghampiri. Wajahnya terlihat bugar dan cerah, ia mengulurkan tangan dan menepuk pundak Ilias pelan.
“Ini sungguh kabar buruk bagi pengantin baru kita.” Arsa Grady Brijaya, paman dari Jessica. Orang yang masih berkerabat dekat dengan istrinya.
“Lama tidak bertemu yah, aku bahkan belum mengirimkan hadiah pernikahan kalian. Aku akan segera mengirimkannya setelah masa berkabung berakhir. Ah aku dengar ibuku masih menentang dan menyatakan keberatan atas pernikahan ini.” Pria itu tersenyum, tawa kecil lolos dari bibirnya. “Mengertilah, nenek Jessica itu sedikit kolot. Terutama mengenai kelanjutan keturunan. Ah, karena aku dekat dengan ibuku aku akan mencoba membujuknya untuk menerimamu. Bagaimanapun kau bawahan yang bisa diandalkan. Biarkan paman iparmu ini mengurus semuanya hemmm, jangan sedih karena semua saham Jessica saat ini ditangguhkan oleh neneknya oke.” Pria itu kemudian melewati Ilias untuk meletakan bunga di pemakaman.
Ilias akhirnya beranjak pergi dari pemakaman. Karena ia tahu, bahwa Jessica pasti menunggunya di ruang kerja Ilias saat ini.
Suasana kediaman besar itu menjadi sunyi seketika. Dengan cuaca mendung yang terasa dingin, Ilias langsung berjalan menuju ruang kerjanya.
Pintu ruang kerja Ilias terbuka, menampakan sebuah ruangan yang luas dan mewah, mencerminkan kesuksesan dan seleranya yang klasik. Dinding-dindingnya dilapisi panel kayu mahoni gelap yang berkilauan, sementara lantainya dilapisi karpet tebal berwarna burgundy dengan pola yang elegan. Di sudut ruangan, terdapat rak buku besar yang penuh dengan buku-buku klasik dan beberapa koleksi seni antik. Lukisan-lukisan berbingkai emas menghiasi dinding, memberikan nuansa sejarah dan kekayaan.
Di tengah ruangan, ada meja kerja besar yang terbuat dari kayu ek dengan permukaan yang mengkilap. Meja itu dihiasi dengan barang-barang mewah seperti pena berbahan emas, jam meja antik, dan sebuah lampu meja dengan kap berwarna hijau tua. Kursi kerja Ilias adalah kursi kulit berwarna coklat tua dengan sandaran tinggi, memberikan kesan otoritas dan kenyamanan.
Jessica duduk di kursi yang tidak cocok dengan seleranya itu. Gadis itu menautkan kedua tangannya dan menatap Ilias yang memasuki ruangan. Tangannya terurai, memainkan surat yang sudah ditanda tanganinya. Tatapannya kian tajam saat menyadari kedatangan Ilias.
Ilias menghampiri meja kerjanya, menatap Jessica dalam posisi berdiri. Suasana di ruangan itu terasa berat, penuh dengan ketegangan emosional yang tidak terucapkan.
Ilias menatap Jessica dengan tenang, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Jessica segera, menyerahkan surat perceraian itu kepada Ilias. Surat itu sudah ditanda tanganinya, menjadi simbol akhir dari hubungan mereka yang singkat.
Ilias mengambil surat itu dengan tenang, pandangannya tidak lepas dari wajah Jessica. Ia membuka surat tersebut dan membacanya sebentar, kemudian meletakkannya di atas meja. Hening sejenak, sebelum Ilias menghela napas panjang dan memulai percakapan mereka mengenai perceraian yang akan segera merubah hidup mereka berdua.
“Kau akan kesulitan tanpa diriku.” Jessica melirik jam tua yang berderit, tangannya mengetuk kaca jam dan mengabaikan ucapan Ilias.
“Kita akan menundanya, lagi pula di situasi seperti ini kau tidak akan mampu bertahan.” Jessica mendongak, menatap wajah Ilias lagi. “Usianya baru beberapa bulan. Kau menikahiku saat kau tahu bahwa kau sudah punya anak?” Nafasnya kian berat, Ilias tahu itu.
“Kau tidak akan mendapatkan banyak hal dari perceraian ini, tenaga hukumku akan menghubungimu jadi segera kemasi barangmu dan pergi dari rumahku.” Ilias menahan tangan Jessica saat gadis itu mendorong jam di meja dan hampir menjatuhkannya.
“Harusnya aku mendengarkan ibu dan nenekku…” Gumam Jessica pelan.
“Aku sudah mendaftarkan, tempuh pendidikan di New Zealand dan kembalilah saat sudah selesai.” Jessica terpaku, kerutan di dahinya menandakan bahwa dia tidak percaya dengan apa yang Ilias katakan.
“Kau ini bicara apa? Kau mengusirku? Ini rumahku!” Ilias menarik nafas dalam dan mengambil kertas yang ada di meja dan menandatanganinya.
“Kau akan kehilangan semuanya saat kau tidak mampu melindungi apapun. Kau tahu bahwa kau menjadi mangsa paling mudah dilahap saat ini kan. Belajar dan kembali saat kau siap, ini akan menjadi jaminan.” Jessica menerima lembar surat perceraiannya dan menatap Ilias lagi.
“Aku tidak akan pergi, jadi-”
“Pakaianmu sedang dikemas, penerbanganmu nanti malam jadi lebih baik kau kembali ke kamarmu dan bersiap.” Wajahnya kian keruh, ia terbakar amarah dengan mata sembab yang memerah.
“Kau ini bicara apa? Dasar tidak tahu diri! Kau hanya anjing penjagaku jadi-”
“Kau bahkan tidak bisa mengekangku, bukankah itu pelajaran pertama dari ibumu? Pastikan pengikutmu, tundukan dan jinakan mereka. Kau bahkan tidak bisa melakukannya Jessy, apa yang bisa kau lakukan sendirian?” Jessica terdiam, wajahnya kian keruh dengan air mata yang sudah menggenang. Dalam situasi ini dia akan menangis, biasanya begitu. Namun kali ini berbeda, Jessica seolah enggan menunjukan air matanya lagi. Ilias tahu bahwa ia tidak akan pernah meneteskan air matanya di hadapan Ilias lagi.
“Abraham! Abraham!” Jessica memanggil kepala pelayan di kediamannya, pria dengan kacamata kecil di wajahnya itu datang dengan raut kekhawatiran.
“Usir b******n ini dan tamunya. Bahkan meski mereka mati kedinginan di luar karena hujan, aku tidak peduli! Usir mereka dari rumahku…” Jessica masih menatap Ilias, wajahnya kian pucat dengan amarah yang memuncak dan genangan air mata yang tidak menetes karena ditahannya dengan keras kepala.
“Nona…” Suara Abraham terdengar paruh, ia terus menatap Jessica kala itu.
“Nona, barang bawaan Anda sudah kami siapkan.” Abraham menjawab sambil menunduk. Jessica jelas terkejut dengan jawaban itu. “Apa maksudmu?” Jessica menatap Abraham tidak percaya. Pria itu sudah merawat dan tinggal bersamanya sejak ia masih kecil, wajar jika ia merasa kecewa seolah mendapatkan pengkhianatan.
“Saya sudah menyiapkan semua kebutuhan Anda, tempat tinggal Anda juga telah disiapkan, akan ada yang merawat Anda dan menemani penerbangan Anda. Apa ada barang khusus yang ingin Anda bawa Nona? Anda bisa mengatakannya pada saya, saya akan membantu berkemas.” Jessica menelan ludahnya dengan paksa.
Rasanya mungkin seolah mendapatkan hantaman kuat di kepalanya.
“Nona, saya sudah mengemas pakaian Anda. Apa Anda juga ingin membawa peralatan anggar Anda?” Larria datang, mengatakan hal yang juga mungkin Jessica benci.
“Kalian ini kenapa? Kenapa kalian mengusirku?” Jessica menatap kedua orang itu bergantian. “Ini rumahku… Kemana aku harus pergi?” Suaranya serak dan penuh rasa sakit.
“Bahkan meski dia melakukan ini padaku, bagaimana mungkin kalian juga…” Jessica mulai mengatur nafasnya dan kembali melirik Ilias. Matanya terluka kian dalam, semua hantaman berat menerpanya dengan begitu dahsyat.
“Aku sudah membuat surat wasiat, bahkan meski aku mati kau tidak akan mendapatkan sepeserpun. Jadi percuma jika kau ingin membunuhku di tempat yang tidak aku kenali sekalipun.” Ia memberi peringatan.
“Semoga perjalananmu aman, Jessy.”
Namun, hanya kalimat itu yang Ilias ucapkan, sampai akhirnya Jessica dibawa secara paksa oleh Abraham dan Larria.
“Ilias…”
“ILIAS!”