11. Kebucinan Adam

1951 Words
Meski mengantuk, esoknya Elsa tetap mengerjakan tugas pagi. Membangunkan Liam yang entah pulang jam berapa semalam. Setengah merem, Liam berjalan menuju kamar mandi. Saking ngantuknya, ia sampai menabrak tembok dekat pintu. Elsa tersenyum kecil. Seperti biasa, ia merapikan bekas tidur Liam dan menatakan persiapan sekolah lainnya. Selesai mandi, Liam terlihat lebih segar. “Eh? Elsa? Bukannya aku sudah bilang Bibi Laurent untuk tidak memberimu shift pagi?” ‘Andai dunia semudah itu.’ “Saya akan tetap menemani Tuan siap-siap. Saat sarapan nanti, pelayan yang lain akan menemani Tuan.” “Hehe, baguslah. Aku juga tidak mau jika tubuhku tiba-tiba disentuh wanita lain.” Elsa tersenyum sopan. Memberikan baju seragam untuk Liam. Liam kembali ke kamar mandi. Berganti baju. Telaten, Elsa memakaiakan rutinitas skin care pagi untuk Liam. “Semalam aku sampai depresi, memikirkan esok hari tanpamu,” ujar Liam cengengesan. Elsa melihat Liam di pantulan kaca. Tersenyum sopan. “Tidak percaya? Kamu mungkin tidak tahu, tapi aku tidak suka jika tubuhku disentuh orang lain.” Elsa lagi-lagi hanya mengangguk. Dia sudah melihat aneka foto Liam dengan pacar-pacarnya. “Kamu tidak percaya,” simpul Liam. “Jika aku pulang larut banget, aku biasanya langsung ngunci kamar. Tahu kenapa? Daripada ada yang tiba-tiba gantiin bajuku, kan serem.” “Saya percaya, Tuan.” “Andai ada wanita yang selembut kamu, sesabar kamu, mungkin aku tidak akan ragu untuk menikahinya.” Hati Elsa teriris pilu. Tidak perlu dikatakan. Semua karena Elsa yang seorang pembantu yatim piatu. “Terima kasih pujiannya,” jawab Elsa seceria mungkin. Pagi-pagi dan mood Elsa sudah sangat down. Ia membayangkan wajah Adam yang selalu tersenyum. Tersugesti, senyum manis kembali menghiasi wajah cantiknya. *** “Tumben nggak telat,” sapa Irra. “Hehe, iya.” Teman sebangku itu tak sengaja bertemu di parkiran. “Apa cowok yang kamu bilang menciummu meski sudah punya pacar itu Kak Adam?” tanya Irra kepo. “Hehe, bukan kok. Yang waktu itu cerita bohongan,” jawab Elsa bohong. “Hm.. Ya sudahlah.” Irra menggandeng Elsa, berjalan menuju kelas mereka. Di kelas, anak-anak yang sudah datang tampak damai berbincang-bincang. Liam and the genk seperti penguasa, berbicara dengan suara keras memenuhi ruangan. Beberapa anak perempuan trendi juga ikut nimbrung bersama mereka. “Hai, Elsa,” sapa Aldi dari seberang. “Hai juga,” balas Elsa manis. Mendapat sambutan, Aldi iseng datang menemui Elsa, diikuti dengan sorakan oleh teman-temannya. Elsa meletakkan ransel, duduk tenang di bangkunya. “Boleh geser dikit?” pinta Aldi pada Arum. Arum mencak-mencak tapi tetap memberikan sedikit kursinya pada Aldi. Pemuda itu cengengesan duduk di depan Elsa. Elsa tersenyum manis, membuka buku pelajaran. “Kamu tuh sudah cantik, pintar, pekerja keras lagi,” puji Aldi. “Terima kasih.” Elsa melihat jam tangan, masih sepuluh menit sampai bel masuk. Gadis itu bergegas membuka buku mapel. “Kamu suka ya sama pelajaran Kimia?” tanya Aldi lagi. “Tidak kok.” “Tapi kamu baca pelajaran Kimia.” “Hmhm.. Iya, mungkin,” jawab Elsa setengah sadar. Ia sudah tenggelam masuk ke dalam dunianya. “Aldi woy.. Sini. Jangan gangguin Elsa belajar..” teriak Liam dari seberang. “Aku nggak ganggu kok. Cuman nemenin biasa.” Aldi duduk anteng di sana sampai Liam menjemputnya. Menggeret pemuda berambut ikal tersebut. *** Di Leuven, semuanya serba canggih. Terutama fasilitas laboratorium. Sekolah lama Elsa sangat tidak ada apa-apanya dibanding SMA ini. Di sini, semua siswa dipastikan memiliki alat untuk praktik. Tidak ada yang namanya satu alat untuk berlima seperti sekolah lamanya dulu. Pelajaran olahraga juga keren, semuanya sangat praktikal. Untuk beberapa bulan ke depan, temanya adalah pendalaman yoga. Baik untuk laki-laki maupun perempuan. Tubuh Elsa yang tak pernah olahraga terasa kaku dan memar-memar di banyak bagian. “Huft, lapar banget,” keluh Arum. “Elsa yuk sekali-kali makan di kantin..” rengek Irra. “Hehehe, kapan-kapan saja ya?” balas Elsa. Irra menggerutu sedih. *** Selesai jam olahraga, Elsa dan teman-teman sekelasnya mampir mandi dulu. Meski malu, tapi semua anak perempuan tampak biasa mandi dalam satu ruang seperti ini. “Ngomong-ngomong, tubuh kamu bagus banget lho,” komen Arum pada Elsa. “Jangan lihat,” kata Elsa menutupi tubuhnya. “Hahaha. Tenang saja kali. Area kamar mandi adalah tempat teraman seantero Leuven. Jika ada lensa kamera yang masuk sini, alarm akan segera bunyi oleh alat detektor.” “Oh..” jawab Elsa manggut-manggut. “Sebenarnya, untuk orang seperti kamu, kamu hanya butuh percaya diri. Maka kecantikan kamu akan semakin bersinar auranya,” kata Arum lagi. “Benar,” jawab Tina dan Irra setuju. Selesai mandi dan ganti baju seragam, Elsa pisah jalan dengan teman-temannya. Ingin mencoba suasana baru, Elsa membawa kotak makan dan buku pelajarannya turun, ke taman belakang. Meski lantai satu sebelah kiri ramai oleh kantin yang penuh sesak, taman belakang sangat hening. Cocok sekali untuk belajar. “Mungkin aku akan ke sini tiap istirahat,” gumam Elsa seorang diri. Hingga bel panjang berbunyi, Elsa baru berdiri dari duduknya. Taman di sini sangat segar, ia yang jarang-jarang terkena matahari merasa senang saat merasakan panas menyentuh kulit pucatnya. Saat ia hendak naik ke kelasnya, Elsa tetiba teringat akan Wulan, kating yang menawarinya masuk klub fotografi. Mumpung masih rame, Elsa memutuskan untuk mampir sebentar ke kelas Adam. Adam yang juga baru datang dari istirahat tersenyum lebar saat melihat Elsa menunggu di depan kelas. “Mencariku?” tanyanya. Elsa tersenyum pada Adam. Berhenti untuk menyapa teman-teman Adam yang ia kenali. Begitu sahabat-sahabat Adam masuk kelas, ia ganti menatap pada pemuda yang melihat bucin ke arahnya. “Um.. Kakak tahu kelasnya Kak Wulan?” “Tentus saja. Mau ketemu Wulan? Aku antar,” kata Adam ceria. “Terima kasih.” Di bawah tatap mata teman-temannya, Adam mengantar Elsa menuju kelas tak jauh dari kelasnya. Pemuda itu masuk ke dalam, keluar lagi dengan Wulan. “Elsa! Gimana gimana, dibolehin gak sama Ibu kamu?” tanya Wulan semangat. “Um.. Maaf, Kak. Sepertinya tidak. Aku ada kerjaan setiap pulang sekolah.” “Kerja ya? Padahal aku sudah ngomong ke grup ada anak cantik mau gabung. Kami sudah antusias kamu jadi model klub.” “Hehehe, aku gak bisa modelling, Kak.” “Bisa kok. Kalau kamu mau, kami bisa ajarin. Untuk awal mungkin kamu jadi model gratis dulu. Kalau banyak orderan, nanti kami bayar.” “Itu program yang kamu luncurin dulu saat masih jadi ketua klub kan?” tanya Adam menyambung. “Eh, Adam. Masih di sini aja.” Wulan memutar mata, bosan melihat Adam. “Tentu saja,” balas Adam dengan cengiran. Melihat koridor yang mulai sepi, Wulan cepat berkata, “Pokoknya, kamu percaya sama aku. Mumpung aku masih di Leuven. Aku bisa bantuin kamu kalau kamu mau jadi model. Percayalah, kenalanku banyak di dunia entertain!” Melihat mata Wulan yang berbinar penuh semangat, Elsa jadi sungkan untuk menolak. “Nanti pulang sekolah aku hubungi Kakak deh,” kata Elsa pada akhirnya. “Good. Kamu balik dulu ke atas. Takut telat masuk.” “Makasih, Kak.” Nyengir lebar, Adam mengikuti Elsa, mengantar gadis itu menuju lift. “Adam woy.. Kelasmu udah masuk tuh,” panggil Wulan. Adam tertawa pelan, tak peduli. “Sekali-kali telat gak papa lah.” Elsa tersenyum. Ia pikir, Adam hanya akan mengantarnya ke lift. Rupanya pemuda itu malah menemaninya sekalian ke lift. “Pulang sekolah nanti tunggu aku ya?” kata Adam. “Mau ngapain, Kak?” Adam melihat Elsa dengan mata yang berbinar senang. “Aku ada sesuatu untukmu.” Elsa tersenyum lebar. “Tidak usah repot-repot, Kak.” “Gak repot kok.” “Baiklah, terima kasih.” ‘Ding!’ suara pintu lift terbuka. Adam menahan lift sebentar. Memantau gadis itu sampai masuk ke kelas. *** Saking fokusnya dengan pelajaran, Elsa hampir saja lupa akan janjinya pada Adam. Untungnya Adam sendiri yang datang menjemput ke kelas Elsa. “Baru pindah sudah dapat pacar saja,” goda Irra. “Hehe, kami gak pacaran kok,” kata Elsa sembari membereskan buku-buku. Dari jendela kaca, Elsa bisa melihat Adam yang tengah berbincang-bincang dengan Liam dan teman-temannya. Hm.. Perasaan Elsa tak tenang. “Aku pergi dulu,” pamit Elsa. *** “Kakak,” sapa Elsa pada Adam. “Selamat sore,” balas Adam ramah. “Sejak kapan saling kenal?” tanya Aldi cemburu. Elsa tersenyum manis untuk Aldi. “Tidak sengaja kok.” “Kita juga tidak sengaja,” balas Aldi menuduh. “Dahlah,” Liam menegur, mengingatkan sahabatanya yang kelihatan sekali sedang tak senang. Adam tersenyum kalem. “Ya udah guys, kita pergi dulu.” “Mau ke mana?” tanya Aldi lagi. Oscar menjitak kepala sahabatnya. “Sudah, Kak. Pergi saja ga papa. Si Aldi memang.” “Hehe. Thank you.” Adam meraih tangan Elsa, menggandeng gadis itu pergi. Elsa yang kaget karena tiba-tiba digandeng seorang pria di depan umum mengerjap-ngerjapkan mata. Matanya insting mencari Liam, tapi tuan mudanya itu acuh tak peduli. Elsa ingin mengucap maaf, tapi Liam sudah berbalik, berbicara pada teman-temannya. “Lihat apa?” panggil Adam ceria. Mau tak mau, Elsa menyunggingkan senyum untuk kakak kelasnya. “Ada apa Kakak mencariku?” tanya Elsa. “Hehe. Sudah kubilang aku punya sesuatu untukmu.” Menurut, Elsa manut saja saat Adam membawanya ke area loker kelas tiga. Tak melihat Elsa yang malunya ampun-ampunan, Adam masih saja ramah menyapa para siswa. Beberapa dari mereka bahkan dengan nakalnya bersiul menggodai Elsa. Loker Adam ada di bagian ujung, sepi karena lokasinya yang jauh dari tangga. Pemuda itu melepas gandengannya di tangan Elsa, tersenyum lebar kala membuka kunci loker. “Tada...” Adam mengeluarkan kotak. “Semalem, pas aku lagi nge-mal, aku keinget kamu pas lihat ini.” Ia membuka kotak di tangannya. “Sepatu?” tanya Elsa tak mengerti. Adam menggaruk tengkuknya malu. “Lihat punyaku,” kata Adam cengengesan. Mata Elsa turun, melihat sepatu yang dipakai kakak tingkatnya. “Couple,” aku Adam. “Kakak.. tapi kita bukan couple..” ucap Elsa tak mengerti. “Ayolah, please. Kita gak harus pacaran gak papa, yang penting sepatu kita samaan.” Muka Adam yang melas membuat Elsa luluh juga. “Baiklah. Tapi, apa ukurannya sama denganku?” “Ugh.. Kalau itu aku tidak tahu, hahaha. Aku iseng belinya. Gak tahu juga kamu bakalan nerima atau nggak.” “Dahlah, kita coba saja.” Pemuda itu turun, duduk dengan satu lutut menempel di lantai. Pertama kali seseorang dalam posisi ini di depannya, Elsa sedikit tersipu. Seringnya dia yang dalam posisi seperti ini saat Liam sedang malas memakai sepatu, tapi sekarang, seseorang melakukan ini untuknya. Mata Elsa berkaca-kaca terharu. “Terima kasih, Kak.” “You’re welcome,” balas Adam senang. Ceria membuka tali sepatu Elsa. Elsa yang tersadar akan kondisi sepatunya insting beringsut mundur. Dia baru sadar, kalau kondisi sepatunya saat ini sudah kelewat jelek. Sobek di bagian kanan dan kiri. Bagian jempolnya juga sudah sangat tipis, terancam jebol kapan saja. “M-Maaf,” ujar Elsa gagap. “Kenapa minta maaf?” Adam mengeluarkan kaki Elsa dari dalam sepatu. Tak diundang, sebutir air mata lolos dari mata jernih Elsa. Kaus kaki hitam yang ia pakai, longgar. Di bagian atasnya Elsa tahan dengan gelang karet. Ia lipat ke bawah ujungnya untuk menutupi karet berwarna kuning tersebut. Adam yang tak melihat Elsa berlinangan air mata lanjut memakaikan sepatu yang ia bawa. “Semoga cocok. Aku belinya asal nebak saja ukurannya.” “Gimana? Pas gak?” tanya Adam, mendongakkan kepala. Senyum di wajah pemuda itu membeku, melihat Elsa yang menangis dalam diam. “Elsa, kenapa menangis?” tanya Adam bangkit berdiri. Semakin ditanya, Elsa malah semakin menangis. Dulu, saat di panti, dia beberapa kali menangis saat rindu mamanya. Saat di rumah Keluarga Zachary, ia beberapa kali menangis saat kelelahan. Tapi selama itu pun, dia tidak pernah sekalipun menangis di depan orang lain. Adam kesakitan melihat Elsa yang seperti ini. Pemuda itu meraih Elsa, memeluk gadis itu dalam dekapan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD