Elsa mengetuk pelan ruang teh sebelum membukanya. Ada beberapa orang di dalam, begitu tahu yang datang hanya pelayan, mereka langsung tak peduli. Ibu kepala pelayan yang berdiri tak jauh dari kursi utama memberi kode pada Elsa untuk masuk.
Tanpa suara, Elsa mendorong keretanya. Di bawah pengawasan ibu ketua, Elsa hati-hati menatakan cangkir teh di depan Tuan Zachary. Dengan elegan, ia mulai menyajikan teh. Membuat harum ruangan tersebut. Satu piring kecil berisi kudapan ia letakkan di samping cangkir. Dengan konsentrasi penuh memastikan posisi garpu dan gagang cangkir tidak salah.
Satu per satu, semua yang hadir sudah ia layani.
‘Hm? Masih ada satu cangkir lagi?’ Elsa melirik pada meja, memastikan bahwa tidak ada yang terlewat. Tak ingin bersikap tidak sopan, Elsa memilih untuk mundur, berdiri di sebelah ibu kepala.
Sementara Tuan dan Nyonya Zachary beramah tamah dengan para tamunya, Elsa masih sabar berdiri di sana, seperti robot dengan senyum yang tak pernah memudar.
“... Elsa?”
‘Hm? Ada yang memanggil namaku?’
Seseorang menyentuh lengannya, menyadarkan Elsa.
“Iya, Bu?” tanya Elsa pada ibu kepala.
Ibu kepala pelayan mengedikkan kepala. Elsa mengikuti arah yang dimaksud ibu kepala. Tampak Tuan Zachary dan para tamu yang kini melihat ke arahnya.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Elsa sopan.
“Jika sedang bekerja, jangan melamun,” tegur Nyonya Zachary.
“Maaf,” balas Elsa refleks. Ia yang menyadari kesalahannya, memperbaiki kesalahan, tersenyum lebih tulus lagi.
“Kenapa Liam belum datang?” tanya Nyonya lagi.
“Maaf. Elsa kurang tahu, Nyonya.”
“Tapi sekolah sudah buyar kan?”
“Sudah, Nyonya.”
“Hm. Anak itu. Pasti pergi main. Kamu hubungi dia dulu.”
“Baik, Nyonya.” Elsa membungkukkan badan, melangkah keluar.
“Dia pembantu yang kami sekolahkan. Satu sekolah sama Liam.” Elsa mendengar Nyonya Zachary menjelaskan pada tamunya.
Hm..
Mungkin hari ini Elsa sedang PMS. Rasanya dia sangat murung sekali. Seperti ingin meringkuk di suatu tempat seorang diri.
Elsa menuju telepon di ruang tamu. Menghubungi nomor Liam yang dia hafal di luar kepala.
Lama... tapi tak kunjung juga diangkat. Elsa tak menyerah. Terus menghubungi berulang kali.
“Iya..” Suara Liam terdengar jengkel dari seberang.
“Selamat sore,” sapa Elsa sopan.
“Elsa? Ada apa?”
“Tuan dicari sama Nyonya, ada tamu di rumah.”
“Tamu? Ada ceweknya? Sudah berapa kali aku bilang ke Mama untuk berhenti menjodohkanku,” balas Liam kesal.
“Maaf.”
“Tidak bisakah kamu bilang kalau aku sudah ada pacar sekarang?”
‘Kalau punya pacar, kenapa kemarin menciumku?’ batin Elsa kesal.
“Elsa?”
“Maaf.”
“Ck. Sudahlah. Bilang ke Mama, aku otw.”
“Baik. Saya tutup dulu telfonnya. Selamat sore, hati-hati di jalan.”
“Ya.”
Selesai berteleponan, Elsa kembali ke ruang teh.
“Bagaimana?” tanya Nyonya Zachary.
Elsa yang sudah lebih sadar kini bisa jelas melihat para tamu. Satu anak perempuan dan orang tua yang tampak sekali, kaya raya. Ketiganya berbalut perhiasan dan jam tangan mahal.
“Tuan Muda bilang sedang dalam perjalan pulang, Nyonya.”
“Baiklah. Terima kasih.”
“Sama-sama.” Elsa membungkuk. Kembali ke posisinya di sebelah ibu kepala. Ibu tersebut tersenyum pada Elsa. Elsa balas tersenyum. Kini berdiri tegap melihat satu titik ke depan.
Sepanjang obrolan, Elsa merasa dipandangi seseorang. Gadis cantik itu mengalihkan matanya dari titik imajiner di depan, melihat sekilas pada tamu sebayanya. Elsa tersenyum ramah. Namun hanya dibalas dengan wajah datar.
‘Mungkin calonnya Tuan Muda,’ batin Elsa.
Hari ini kedua kalinya ada makan malam perjodohan seperti ini. Yang pertama dulu gagal, Liam marah-marah, ngambek berminggu-minggu pada orang tuanya. Waktu itu mereka masih SMP, Liam beralasan kalau dia masih kecil. Entah kali ini bagaimana hasil dari pertemuan malam ini.
Ibu kepala menjawil Elsa, Elsa mendekat.
“Tuan Muda sudah datang,” bisik ibu kepala di telinga Elsa. Kepala pelayan memang biasa menggunakan earphone, menerima laporan koordinasi dari pelayan dan karyawan lain.
“Baik,” jawab Elsa patuh. Ia melangkah keluar. Sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara berisik. Sepertinya tak ada yang peduli dengannya pun. Tuan Zachary dan tamu-tamunya masih sibuk bercerita tentang bisnis-bisnis mereka.
***
Saat Elsa sampai di kamar Liam, Elsa mendengar suara shower di kamar mandi.
Terasa sesak dalam d**a. Jika tidak diomongi Irra tadi, mungkin sampai saat ini Elsa bakalan tetap tidak sadar akan posisinya. Pembantu yang menyukai majikan. Suatu hal yang sudah pasti tidak akan berakhir bahagia.
Elsa tidak bodoh. Jika dia meneruskan perasaannya, lama kelamaan dia mungkin hanya akan menjadi wanita penghibur Liam. Jika beruntung mungkin berakhir sebagai wanita simpanan?
Dalam diam, Elsa mencarikan setelan baju untuk Liam. Melihat para lelaki di ruang teh tadi, sepertinya hari ini Liam harus memakai tuksedo.
‘Kriet..’ Pintu kamar mandi dibuka. Seperti biasa, Liam keluar dengan sehelai handuk di pinggulnya. Tampak tubuhnya yang liat dengan otot-otot mudanya.
Seperti paham mood Elsa yang sedang buruk, Liam diam saja saat Elsa membantunya mengeringkan rambut. Pemuda itu anteng duduk di kursi rias, melihat Elsa dari pantulan kaca.
“Sudah,” kata Elsa. Ia bahkan tak lagi repot-repot memasang senyum robot seperti biasa. Hanya ada datar di sana.
“Terima kasih,” balas Liam pelan. Ia mengambil baju yang disiapkan Elsa, pergi ke kamar mandi. Sebenarnya dia gak suka sih ganti di kamar mandi, lantainya basah. Hmm.. Mungkin dia perlu wardrobe sekarang.
Terlalu sering dipakein Elsa dasi, Liam sampai kesulitan memasang dasi. Padahal dasi kupu-kupu!
‘For God’s sake!’ umpat Liam dalam hati.
Elsa mengetuk pintu.
Liam malas-malasan keluar.
Tanpa berkata apa-apa, Elsa membantu merapikan dasi dan kemeja Liam.
“Apa aku sudah membuatmu kesal?” tanya Liam.
“Tidak, Tuan.”
“Apa kamu kesal setiap hari membantuku siap-siap?”
“Tidak, Tuan,” balas Elsa lagi.
“Aku akan meminta Bibi Laurent untuk mengosongkan tugas kamu di pagi hari.”
“Terima kasih.”
“Maaf. Aku baru sadar setiap hari sudah membuatu terlambat sekolah.”
Elsa memakaikan jas untuk Liam, mengancingkan sekalian. Gadis itu mengangkat wajah, tersenyum manis untuk Liam. “Tenang saja. Saya tidak masalah. Itu semua memang sudah tugas saya.”
Liam diam melihati Elsa. Ia mengembuskan napas berat. Duduk lagi di kursi rias. Elsa dengan telaten memakaikan lotion di wajah Liam. Dengan kuas kecil, ia menyapukan pelembab bibir di bibir tipis Liam.
“Elsa?” panggil Liam.
“Iya, Tuan?” Elsa kini lebih tenang. Bad mood-nya sudah selesai. Fokus menata rambut Liam dengan gel.
“Aku dengar kamu pacaran sama kakak kelas?”
“...”
“Elsa?”
“Maaf.”
“Bukan maaf, tapi jawab pertanyaanku. Kamu pacaran sama dia?”
“Saat ini saya tidak sedang pacaran dengan siapa pun, Tuan.”
Liam mengembuskan napas lega. “Syukurlah. Aku bilang juga apa. Dasar si Aldi.”
Dengan hati yang lebih riang, Liam berjalan ditemani Elsa menuju ruang teh.
“Selamat malam, Om. Selamat malam, Tante.” Liam menyalami tamu-tamunya.
“Pulang sekolah langsung main? Nggak pulang dulu?” tanya ibu-ibu tamu.
“Hehehe, biar sekalian, Te, keluarnya.”
Elsa berada di pinggir tembok. Berdiri melihati Liam dengan senyum robot. Tapi jujur, hatinya saat ini sedang rapuh sekali. Melihat cowok yang disukainya, di depan matanya akan dijodohkan dengan gadis lain..
“Febri,” kata gadis manis di depan Liam.
‘Oh. Namanya Febri..’ batin Elsa cemburu.
“Liam.”
“Salam kenal,” ucap Febri lembut.
“Salam kenal juga.”
Tuan dan Nyonya Zachary tampak bangga melihat putra mereka.
“Mari makan dulu. Sudah malam,” ajak Tuan Zachary ramah.
Elsa, si gadis pembantu yang hanya makan sandwich tipis di jam makan siang, masih harus sabar menunggu hingga tuan-tuannya selesai makan malam. Saat rombongan itu beramah tamah di ruang tamu pun, Elsa masih di sana. Kalem berdiri di sisi tembok.
Satu di antara banyak hal yang Elsa pelajari selama menjadi pelayan adalah, menyembunyikan rasa lapar. Dia harus menelan ludah berkali-kali agar perutnya terisi sesuatu dan tidak berbunyi keroncongan.
Jika ditanya tentang perut perih? Tentu saja.
Kaki kebas? Tentu saja.
Hingga pukul sembilan malam, rombongan tamu itu baru berpamitan. Elsa dengan lipstiknya yang mulai mengering terkena AC membungkuk sopan, menunggu hingga mobil tamu-tamunya tak lagi kelihatan.
Seperginya para tamu, Tuan Zachary baru menyadari kehadiran Elsa dan Bibi Laurent.
“Elsa, sudah makan?”
“Sudah, Tuan,” jawab Elsa sopan. Tidak bohong juga sih. Dia memang sudah makan tadi siang.
Nyonya Zachary melirik sekilas. Berjalan masuk ke dalam rumah.
“Bagaimana sekolah? Kerasan?” tanya Tuan Zachary mengikuti istrinya masuk.
“Sekolah baik-baik saja, Tuan. Elsa kerasan di sana.”
“Bagus. Nanti kalau kamu berhasil rangking satu di Leuven, Om pasti angkat kamu jadi sekretarisnya Liam.”
“Terima kasih banyak, Tuan.” Dalam hati, Elsa berharap dia tak dapat rangking satu.
“Sudah. Om istirahat dulu ya? Kamu juga.”
“Baik, Tuan.”
Liam mengikuti orang tuanya, masuk ke dalam rumah. Pemuda itu berbalik, tersenyum untuk Elsa. “Semangat..” katanya.
Elsa balas tersenyum. Berharap Liam segera masuk.
Pemuda itu berbalik masuk, masih dengan senyum lebar di wajahnya. Elsa sungguh tak habis pikir, bagaimana bisa Liam bersikap seperti itu padahal sudah menciumnya beberapa hari lalu? Begitu tidak berartikah dirinya?
Seseorang merangkul pundaknya. Elsa menoleh. Melihat Bibi Laurent tersenyum untuknya.
“Ayo makan,” ajak Bibi Laurent, mendorong Elsa masuk.
***
Malam itu, Elsa sungguh-sungguh tidak nafsu makan. Perutnya perih. Tapi makanan kali ini sangat keras. Tinggal pasta dan chips ikan sisa makan malam majikan dan para tamu. Kuah dan sup sudah habis, tinggal sisa yang di piring bekas para majikan makan.
“Tidak sesuai seleramu?” tanya Bibi Laurent.
“Maaf.” Salmon dingin sungguh bukanlah kesukaan Elsa. Dia memang pada asalnya tidak suka dengan olahan ikan.
“Bagaimana sekolah?”
“Baik, Bu.”
“Anak Ibu ada yang seusia kamu juga. Sekarang sudah kelas dua belas.”
Elsa mengangguk. Meminggirkan ikan salmon. Ganti makan pastanya saja. Pasta dengan saus putih itu dingin. Tapi jauh lebih baik daripada harus makan ikan.
Setelah berbasa-basi, dua wanita beda generasi tersebut menyudahi makan malam mereka. Berpisah menuju kamar masing-masing.
“Hah... Lelahnya...” Berbeda dengan pelayan lain yang punya hari libur setiap minggunya, Elsa tidak. Entahlah, tidak pernah ada yang mengatakan padanya tentang hari libur.
Dengan baju seragam kerjanya, Elsa tengkurap di atas kasur. Kakinya terulur di lantai kamar yang dingin.
Sudah lama sekali sejak ia merasakan yang seperti ini. Elsa mengeluarkan liontin jeleknya, menggenggam beda tersebut erat-erat. Hm.. Setidaknya dia punya ibu, ibu yang entah di mana saat ini. Dalam hati berharap suatu saat ibunya akan datang mencarinya lagi.
***
Esok paginya, Elsa seperti biasa melakukan tugas pagi. Hatinya sudah kembali seperti biasa. Dingin dan tak percaya pada dunia. Saat ia membangunkan Liam pun, pemuda itu tetap sama. Setengah mengantuk pergi ke kamar mandi.
Semalam Elsa tak bisa tidur, entah mengapa, seperti ada sesuatu di hatinya yang kosong.
***
Jam pertama dan kedua berlangsung dengan cepat. Seperti robot, Elsa mengeluarkan kotak makan siangnya.
“Nggak ke kantin lagi?” tanya Irra.
“Hehehe, tidak. Aku bawa bekal,” kata Elsa. Beberapa teman yang masih di kelas melihat ke arah Elsa kaget, seperti melihat sesuatu yang aneh. Elsa tak peduli pun. Ia membuka kotak makannya.
Hm.. Kenapa menunya ikan lagi sih? Ingin sekali Elsa membuang makan siangnya ke kotak sampah.
Irra dan kedua temannya melihat prihatin pada makan siang Elsa.
“Ya sudah. Kita ke kantin dulu ya?” pamit Irra.
“Mm,” angguk Elsa. Ia mengambil sumpit, mulai makan. Beberapa orang kepo melirik ke kotak makan siangnya.
Liam yang awalnya hendak pergi ke kantin tak jadi. “Kalian pergi dulu. Aku ada urusan sebentar,” katanya. Menunggu kelasnya sepi baru menuju meja Elsa.
Liam duduk di bangku depan Elsa, bangku milik Arum.
“Selamat siang,” sapa Elsa.
“Siang.” Pemuda itu diam melihati Elsa makan.
“Mau?” tawar Elsa.
Liam menggeleng. “Apa Papa tidak memberimu uang makan siang?” tanyanya pelan.
Elsa tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Tuan.. Tuan. Saya ini hanya pembantu. Yatim piatu yang bahkan tidak punya rumah. Sudah beruntung Tuan Zachary mau menampungku,” jawab Elsa dengan senyuman.
Liam ingin membalas dengan sesuatu tapi tak jadi. Kembali menutup mulutnya.
“Lagipula, voucher makan siang di sini dua kali lipat dari gaji saya biasanya,” tambah Elsa.
Tangan Liam terulur, merapikan helaian rambut Elsa yang mengenai pipi. Elsa terhenyak, merasakan sentuhan tangan Liam di wajahnya.
“Maaf,” bisik Liam pelan.
“Untuk apa?” tanya Elsa tak mengerti.
Liam membelai pipi Elsa lembut sebelum mengambil kembali tangannya. “Beberapa hari lalu ... aku asal menciummu.”
Senyum sopan di wajah Elsa jatuh. Wajah cantik itu datar tanpa ekspresi.
Liam melanjutkan, “Sudah menyentuhmu, aku juga yang marah padamu. Maaf.”
Elsa meletakkan sumpitnya, tak lagi nafsu makan. “Tidak perlu minta maaf,” katanya.
Liam memandang Elsa lama. “Aku minta maaf karena, ... karena aku sudah memanfaatkanmu. Aku tahu kalau kamu menyukaiku.”
Kilat terkejud mampir di mata bening Elsa. Hanya sebentar. Iris hitam itu kembali datar setenang air dalam. Saling berhadap-hadapan dengan sepasang manik di depannya.
“Maaf,” kata Liam lagi.
Wajah Elsa kembali berhiaskan senyuman. Senyum profesional seperti yang biasa ia gunakan saat bekerja. “Tidak papa, Tuan. Harusnya saya yang minta maaf,” balas gadis itu tenang.
Melihat Elsa yang tersenyum, Liam balas tersenyum lebar. “Baiklah. Kita kosong-kosong ya..??”
Elsa mengangguk, tersenyum lebar. Tentu saja senyum palsu. “Baik. Tuan tidak usah khawatir,” balasnya dengan senyuman.
“Gadis baik.” Liam berdiri. Mengacak-acak rambut Elsa sebelum pergi. “Aku ke kantin dulu,” pamitnya.
“Mm.” Elsa mengangguk lagi. “Selamat makan.”
Beberapa langkah Liam berjalan, pemuda itu berbalik lagi. “Nanti pulang sekolah aku pasti akan memberitahu Bibi Laurent untuk membebaskanmu dari shift pagi. Maaf, tadi kamu telat lagi.”
Elsa tersenyum manis. “Terima kasih.” Elsa tak peduli pun. Meski bukan job membantu Liam, pasti ada job lain tersedia untuknya.
“Aku pergi,” pamit Liam.
“Ya.”
Sepeninggal Liam, air mata jatuh berlinangan dari pelupuk Elsa. Dadanya terasa sesak sekali. “Sakit..” katanya sambil menepuk-nepuk d**a.
***