BAB 3 | Desiran

1240 Words
Aku senang begitu mengetahui Mbak Tiara berada di Jakarta. Meskipun bukan untuk liburan. Dia datang untuk menghadiri salah satu workshop di salah satu hotel yang ada di Jakarta. Jarak hotel dengan rumah tempatku tinggal cukup dekat. Dia tidak mempunyai waktu untuk keluar, sehingga aku yang pergi mengunjunginya. Aku mengetuk pintu kamar hotel Mbak Tiara. Tidak lama kemudian dia keluar sambil tersenyum lebar. ‘’Ayo masuk,’’ ajaknya memakai piyama. Aku melangkah masuk. ‘’Sudah selesai acaranya?’’ tanyaku melihat pakaian Mbak Tiara yang sudah berpenampilan santai. Dia mengangguk. ‘’Iya, tadi berakhir sebelum petang. Nanti subuh harus berangkat kembali ke Palembang.’’ Aku mencebik. ‘’Kenapa buru-buru sekali? Kita kan besok bisa pergi jalan-jalan,’’ ujarku tidak terima. Mbak Tiara terkekeh. ‘’Namanya juga pekerjaan. Apalagi rumah sakit tempatku bekerja, banyak yang pindah dengan berbagai alasan. Lagipula aku ingin mengajakmu keluar sekarang.’’ Alisku terangkat. ‘’Memang Mbak Tiara tidak capek?’’ ‘’Tidak, lagipula sekalian aku ingin mengenalkanmu kepada seseorang. Seseorang yang istimewa.’’ Mataku membulat begitu mendengarnya. Setahuku Mbak Tiara belum pernah cerita bahwa dia memiliki kekasih. Dia pernah memberitahuku bahwa akan mengenalkan seseorang jika memang benar-benar mencintai dan merasa yakin untuk menikahi orang tersebut. Aku mendekat lalu memeluk Mbak Tiara. ‘’Hari ini datang juga bukan?’’ Dia membalas pelukanku. ‘’Kau bahagia mendengarnya?’’ tanyanya. Aku mengangguk lalu melepas pelukannya. ‘’Ayo segera ganti baju Mbak, lalu bertemu dengan orang itu.’’ Jika aku memakai baju blouse dengan rok selutut dan sepatu boot mini dengan mengikat ekor kuda rambutku, maka beda halnya dengan Mbak Tiara yang memakai gaun selutut dengan rambut tergerai. Sebenarnya aku tadi ingin mengganti bajuku dnegan meminjam milik Mbak Tiara, takut orang yang diperkenalkan Mbak Tiara kepadaku akan berpikir bahwa aku tidak sopan dengan tampil apa adanya. Namun aku mengurungkan niat tersebut. Bukankah orang itu harus menerimaku sebagai adik Tiara? Aku bersama Mbak Tiara menuju salah satu restoran Jepang yang kuketahui menyediakan ruangan yang memiliki privasi. Kami berdua menggunakan taksi menuju ke sana. Sepanjang perjalanan aku selalu teringat tentang kejadian kemarin malam. Aku seolah melihat diriku sedang berdiri di trotoar sambil menangis. Menangisi kisah asmaraku yang begitu tragis. Setelah menempuh waktu selama setengah jam akhirnya kami berdua sampai. Aku diam sejenak di depan restoran menatap interiornya yang seperti rumah Jepang yang ada di film atau drama televisi. ‘’Ayo Bella,’’ ajak Mbak Tiara berbalik. Mungkin menyadari aku berhenti berjalan. Tetapi begitu akan melangkah maju, entah mengapa aku merasakan dadaku mendegup kencang. Seperti akan terjadi sesuatu, atau itu hanya firasatku saja. ‘’Aduh lama deh,’’ ujar Mbak Tiara mendekatiku. Dia menggandeng tanganku, lalu kami melangkah beriringan berdua. Namun baru sekitar sepuluh langkah, napasku tercekat. Defin, lelaki yang tadi kulihat di fakultas kini berjalan dari arah berlawanan dariku. Tidak seperti sebelumnya, di mana Defin terus melangkah dan hanya menatapku dengan tatapan kosong atau tajam. Kini dia berhenti tepat di sebelahku. Membuatku juga berhenti berjalan. Defin menoleh, namun bukan sorotan mata tajam yang dia perlihatkan. Melainkan raut wajah yang seperti orang terkejut. Sangat terkejut. Itu tidak berlangsung lama, karena Mbak Tiara kembali menyeretku pergi. Aku sempat berbalik melihat Defin yang masih berdiri mematung. Mataku mengerjap sebelum kudengar Mbak Tiara membuka pintu ruangan di depannya. Aku kembali menatap ke depan. Belum selesai aku terkejut dengan melihat Defin. Kini mataku kembali melihat sosok yang tidak asing. Seorang laki-laki yang baru saja kemarin malam mematahkan hatiku. Menggoreskan pilu dan meredam bunga yang baru mekar dalam senyumku. Erik, laki-laki itu. Erik tidak kalah terkejut melihatku. Matanya terbelalak begitu melihat kedatanganku bersama Mbak Tiara. ‘’Ayo duduk Bella,’’ ajak Mbak Tiara duduk di samping Erik. Sedangkan aku duduk di depan mereka. Hanya tersisa satu kursi kosong di sampingku. Miris. ‘’Erik, kenalin ini adikku. Namanya Bella,’’ucap Mbak Tiara dengan senyum semringah. ‘’Dan Bella, kenalkan ini Erik. Tunangan Mbak.’’ Kulihat Erik dengan raut wajah menegang. Meskipun begitu ia tetap mengulurkan tangannya padaku. Napasku seolah tercekat begitu menatap jari tangan lelaki iu. Jari tangan yang pernah menggenggam erat jemari tanganku. Tiga tahun lalu selama dua tahun berhubungan. ‘’Bella, adik Mbak Tiara,’’ balasku menerima uluran tangan Erik. Ketika tanganku menyentuh kulit Erik seperti ada gesekan listrik yang tercipta. Dadaku berdegup kencang. Aku menatap matanya yang masih terkejut. Namun entah mengapa aku juga bisa melihat rindu di sana. Bicara tentang situasi sekarang. Kenapa Mbak Tiara tidak tahu tentang Erik yang adalah mantan kekasihku yang baru lelaki itu sah kan perpisahan kami kemarin malam. Mbak Tiara adalah saudara tiriku. Kami seayah, walaupun tidak seibu. Ayahku, Zafran menikah terlebih dahulu dengan Marsia--ibu Mbak Tiara. Kemudian mereka berdua berpisah, ketika Mbak Tiara masih berumur dua tahun. Zafran kemudian menikahi ibuku--Kaila. Melahirkan aku. Kaila ibuku meninggal karena menderita kanker. Beliau wafat ketika aku masih kelas dua belas SMA. Zafran kemudian kembali bersama Marsia dan aku ikut dengannya. Hubunganku dengan Mbak Tiara tidak pernah ada pertengkaran berarti, bahkan kami pernah sangat dekat. Pendidikan kedokteran Mbak Tiara membuat hubungan kami renggang karena dia sibuk. Aku yang juga mulai kuliah dan pindah ke Jakarta membuat kami jarang berkomunikasi. Hanya ketika libur semester aku pulang ke Palembang. Itupun terkadang hanya bertemu dengan sesekali dengan Mbak Tiara yang semakin sibuk karena tugas kuliah dan juga koasnya. Aku tidak pernah bercerita tentang Erik. Jika kami berdua bertemu saat aku masih kuliah, terkadang Mbak Tiara menggodaku apakah aku sudah mempunyai kekasih. Aku hanya menjawab iya tanpa pernah bercerita siapa. Dan sekarang aku menyesali hal itu. ‘’Kenapa Mbak Tiara tidak cerita bahwa sudah bertunangan?’’ tanyaku malah menatap Erik. ‘’Bukankah Mbak pernah bilang, bahwa kalau aku tidak akan mengenalkan seseorang sebelum aku yakin bahwa orang itu akan jadi calon suamiku kelak.’’ Aku terdiam mendengarnya. Ynag kuketahui Mbak Tiara memang jarak dekat dengan pria. Ia bahkan mungkin hanya memiliki kurang dari tiga mantan kekasih selama hidupnya. ‘’Berarti Mas Erik begitu beruntung,’’ ujarku terkadang merasa miris sekarang harus menambahkan kata Mas di depan nama Erik. ‘’Bagaimana kalian bertemu?’’ tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Bagaimana dua orang yang pernah dekat denganku bertemu secara kebetulan? Apakah takdir benar-benar selucu ini? ‘’Mbak Tiara adalah orang merawat ibuku yang telah bercerai dengan ayahku ketika di rumah sakit dan begitulah kami kemudian menjadi dekat,’’ cerita Erik yang menjawab. Berarti orang yang menolong Erik yang sedang terpuruk adalah Mbak Tiara. Kakak perempuanku sendiri. ‘’Meski akhirnya ibuku tidak terselamatkan,’’ lanjut Erik membuat sesak dalam dadaku. Kulihat Mbak Tiara menggenggam pergelangan tangan Erik. Aku menatap miris hal itu. Bisa kuperhatikan tatapan cinta Mbak Tiara. Percakapan kami terhenti sejenak karena Mbak Tiara menginteruksikan untuk menyajikan makan malam. Aku bisa melihat bagaimana Mbak Tiara begitu mengurus Erik yang selalu mengambilkan makanan untuk lelaki itu. Erik juga tersenyum ke arah Mbak Tiara dengan lembut. Aku menghela napas panjang. ‘’Kenapa--’’ Baru saja Mbak Tiara akan mengatakan sesuatu tiba-tiba ponselnya berbunyi. ‘’Halo, oh Dokter Yuni,’’ angkat Mbak Tiara kemudian memilih keluar. Setelah pintu ruangan kembali tertutup. Keheningan menyeruak antara udara yang kuhirup bersama Erik. ‘’Bella,’’ seru Erik lemah. Aku mengangkat sebelah tangan, menyuruhnya berhenti. Aku menunduk menatap makanan di piringku tanpa selera. Sungguh aku tidak bisa menatap wajah Erik sekarang. Namun setelah suara Erik berhenti. Aku merasakan sesuatu di kakiku. Dengan kaus yang dipakainya, ia menyentuh kakiku dari bawah meja. Membentuk pola abstrak dengan ujung ibu jarinya. Aku mendongak dengan mata membulat. Tetapi ia tidak menghentikan aksinya. Bahkan kakinya yang panjang makin beranjak naik ke atas dengan gerakan pelan. Darahku berdesir beriringan dengan detak jantungku semakin cepat. Aku mengigit bibir bawahku. Kedua tanganku menggenggam erat sendok dan garpu yang sedari tadi kupegang. ‘’Aku bahagia melihatmu lagi,’’ ujar Erik sebelum pintu kudengar dibuka tanda Mbak Tiara sudah kembali. Segera Erik menurunkan kembali kakinya. Namun darahku masih berdesir dibuatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD