[3] Strange Things

2441 Words
PART [3] “Ayo kita siap-siap sekarang, orangtua kalian pasti menunggu di luar!” terang Nara memberikan isyarat bagi semua anak-anaknya. Menepuk tangan beberapa kali, meminta mereka untuk membersihkan mainan sebelum pergi dari ruangan. Pandangannya terarah pada Kenan, melihat sosok mungil itu mencoba berinteraksi dengan teman-temannya. Meskipun masih malu untuk bicara, setidaknya melihat Kenan tersenyum seperti itu sudah membuat Nara senang. Ada rasa lega menjalarinya, entah apa itu. Nara tidak begitu peduli. “Baik, Ibu Nara!!” balas semua anak-anak kompak, bergerak membersihkan mainan dengan semangat. Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka. Saat semua tubuh mungil itu beranjak keluar dari ruangan. Menggendong tas kecil mereka di punggung, melambai tangan kompak. “Da, da, Ibu Nara!!” teriak beberapa anak pada Nara. “Sampai jumpa besok!!” Melambai balik, wanita itu bergerak mengambil tasnya. Tidak menyadari sosok pemuda kecil berdiri di belakangnya. Menggendong tas dan menarik pakaiannya pelan. “Astaga!”  Wanita itu terpekik kaget sebelum akhirnya berbalik cepat. Maniknya yang tadi membulat langsung kembali seperti semula. Hampir saja dia jantungan. “Kenan, Ibu kira siapa?” Mendesah lega, menatap sosok Kenan yang masih menundukkan wajah, memegang bajunya.  “Ada apa, hm? Kenan, belum dijemput?” tanya-nya pelan meskipun Nara tahu semua kebiasaan orangtua yang biasa menjemput anak-anak mereka, termasuk Kenan. Satu-satunya anak didik yang selalu dijemput oleh orang suruhan atau bodyguard orangtuanya. Melihat sosok mungil itu menggeleng tanpa bicara, Nara mendesah. Kali ini mencoba sejajar menatap Kenan. “Biasanya kan Kenan sudah dijemput?” Bertanya lagi. Kenan mengangguk kecil, “Katanya mereka tidak bisa jemput Kenan, ayah juga tidak datang,” Suara itu terdengar tipis. Nara menatap keluar. Matahari mulai terbenam, tidak mungkin dia meninggalkan anak kecil di sini sendirian. ‘Ck, kemana sih orangtuanya?! Keterlaluan kalau sekali saja tidak bisa jemput anaknya sendiri!’ omelnya dalam hati. Hampir saja Nara bertanya tentang Ibu anak ini, mengingat sikap Kenan tadi. Nara jadi was-was, ‘Lebih baik aku tidak bertanya,’ Mengurungkan niatnya tadi, Nara menatap wajah murung Kenan. Mungkin hanya untuk kali ini saja, “Bagaimana kalau Ibu Nara yang anterin Kenan pulang?” ajak Nara mencoba membujuk Kenan. Manik bulat itu menatap tak percaya, senyumannya kembali. Kenan mengangguk cepat. “Mau, Ibu Nara!” Nara tersenyum, mengembalikan posisinya tadi. Menggenggam salah satu tangan Kenan, “Kita mampir dulu cari makan mau?” Menggandengnya keluar dari ruangan, Kenan menggeleng, “Ayah, janji hari ini mau makan bareng Kenan, jadi Kenan minta tolong anterin ke tempat ayah kerja saja, Bu.” Menjawab lugas, di usianya yang ke-5 tahun. Nara akui, kepintaran Kenan memang berada diatas rata-rata. Dia sudah mampu mengolah angka, tulisan dan huruf dengan baik. ‘Ah, semoga saja anakku nanti sepintar dia~’ batin wanita itu penuh harap. Yah, meskipun hanya mewarisi ketampanan atau kepintaran tidak keduanya seperti Kenan, juga tak' masalah bagi Nara. “Hm, begitu? Kenapa tidak minta Ibu antarkan ke rumah Kenan saja?” Pemuda kecil itu sedikit diam, menggenggam erat tangan Nara. “Di rumah sepi, hanya ada Bibi Minah saja kalau pagi. Kenan lebih suka tunggu ayah di kantor, di sana juga ada banyak mainan.” jawabnya polos. Dari ucapan Kenan tadi, Nara sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa Kenan hidup berdua dengan ayahnya. Kalau ibunya, mungkin masih misteri- “Biasanya ada Ibu Melly juga ke rumah, tapi tidak tentu.”  Lho- Nara salah kira? Mengambil kesimpulan secepat itu. Nara hanya bisa tersenyum kikuk, “Be-begitu? Baiklah akan Ibu antarkan ke tempat ayah Kenan kerja saja ya.” “Terimakasih, Ibu Nara.”  Kekikukkan Nara langsung menghilang saat melihat senyuman manis nan tampan di wajah Kenan. Pipi Chubby itu memerah dan tersenyum menampakkan giginya. ‘Manisnya,’ Dia luluh lagi. . . Mobil Porsche mewah berwarna merah itu terparkir di depan gerbang, Berkat traffic tadi dia harus menunggu selama dua puluh menit di jalan. Keluar dari mobilnya. Menarik perhatian beberapa orang di sana. Pandangan wanita itu melirik ke segala arah, ini kali kedua dia datang menjemput Kenan. Mengingat laki-laki itu selalu meminta bodyguard khusus untuk mengantar atau menjemput anaknya. Area penitipan sudah nampak sepi, hanya dua orang satpam saja yang masih ada di sana. Alisnya terangkat bingung, melangkahkan kaki mendekati pos satpam. Tersenyum anggun, “Permisi saya mau menjemput Kenan, dimana dia sekarang, ya? Apa masih di kelas?” tanya wanita itu langsung. Mengabaikan tatapan para satpam yang masih kagum padanya. Tentu saja, kecantikan Melly tidak bisa dianggap remeh. Satu satpam sadar kembali, menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Lho, bukannya tadi Nak Kenan sudah diantar Non Nara pulang. Katanya tidak ada yang jemput.” jawabnya setengah kikuk. Menatap bingung, “Nara? Siapa dia kalau saya boleh tahu?” Kenapa rasanya dia kenal sekali dengan nama itu. Tidak asing di telinganya. “Non Nara, itu salah satu pegawai di sini Neng, katanya dia yang mau anterin Nak Kenan pulang,” “Pulang?” Melly berpikir sekali lagi, tidak biasanya seorang Kenan bisa dekat dengan orang lain selain dirinya dan Arka. Sampai meminta perempuan itu mengantar pulang? ‘Apa mereka pergi ke Apartement? Tidak mungkin, biasanya Kenan pasti selalu ke kantor.’ Terfokus dengan pikirannya. “Eh, ngomong-ngomong Neng, kok geulis pisan. Putih, terus mulus lagi! Kalau misalnya Abang minta nomor teleponnya mungkin-” Mengabaikan ucapan kedua laki-laki paruh baya itu, Melly tersenyum tipis. “Saya permisi dulu, Pak. Terimakasih informasinya.” potong Melly secepat mungkin sebelum akhirnya berjalan kembali menuju mobilnya. “Yah, dicuekin, nasib, nasib. Memangnya saya kurang apa,” “Kurang muda lagi, Kang Mis!” Salah seorang laki-laki yang bekerja sebagai guru di Day Care tersebut menyahut cepat. “Loh, Mas Ardi belum pulang toh?” Menggaruk kepalanya dan tersenyum kikuk. Memperhatikan sosok berusia 28 tahun itu terkekeh melihat tingkahnya. “Belum Kang, tadi ada urusan sebentar. Memangnya siapa tadi?” tanya laki-laki itu kembali. Manik hitamnya melirik ke arah Porsche merah tak jauh dari gerbang, “Itu, tadi ada yang nanyain, Nak Kenan. Kan' sudah diantar sama Non Nara baru saja. Geulis pisan, Mas! Siapa tahu jodoh saya!” tukas Kang Mis  dengan semangat. Laki-laki itu terkekeh geli, “Semoga aja, Pak. Tapi kalau mobilnya kayak gitu juga saya bakal minder. Mending cari gadis sederhana aja, Kang.” “Weh, gitu ya?” Melirik laki-laki di depannya, “Padahal wajah Mas Ardi ganteng lho, tapi masih kalah sama saya sih.” kelakarnya kembali. Sosok itu hanya tertawa, melambaikan tangannya, “Saya permisi pulang dulu, Kang.” Sebelum akhirnya berpamitan.   . .  . Manik Amber Nara menatap dari dalam mobil, gedung pencakar langit yang cukup tinggi. Meneguk ludahnya tanpa sadar. Sekarang dia langsung tahu darimana datangnya bodyguard-bodyguard berjubah hitam itu. Kalau ternyata Perusahaan ayah Kenan saja sebesar ini! “I-ini benar kantor ayah, Kenan?” tanya Nara memastikan kembali. Jangan sampai dia salah masuk, kan malu. Kenan mengangguk yakin, “Iya! Ayo, Bu Nara!” tukasnya cepat, tangan mungil itu membuka pintu dan  keluar dari mobil. Nara mengira dia hanya mengantar sampai depan gedung. Tapi jika dipikir kembali tidak baik juga, setidaknya sampai Kenan ketemu dengan ayahnya baru dia bisa pulang. “A-ah, iya,” Melepaskan seatbelt, dan mematikan mobilnya. Setelah mencari tempat parkir yang cukup luas. Bergegas keluar dari mobil, tangan mungil Kenan langsung menariknya menuju gedung. Gedung besar dan tinggi, ‘Ayahnya pasti sibuk sekali,’ batinnya yakin. Melangkah kakinya masuk ke dalam lobby. . . . Suasana di dalam lobby cukup sepi, mungkin karena jam kerja sudah lewat. Hanya ada satu wanita di bagian resepsionis yang masih bekerja, itupun tengah bersiap-siap pulang, tiga orang satpam yang bertugas untuk menjaga malam ini. Wanita itu melihat kedatangan Kenan, “Oh, Tuan Kenan, anda sudah datang!” Tersenyum tipis sembari berjalan menghampiri mereka berdua. Melihat Nara di samping Tuan muda-nya. Bisa Nara rasakan tatapan menyelidik plus memperhatikan penampilannya dari bawah sampai atas. Wanita dengan jaket berwarna pastel, bergambar kartun, rambut hitam pendek yang terikat dan kacamata bulat. ‘Hilih dasar nyinyir! Tertawakan saja aku, silahkan~’ Nara sudah terbiasa, melihat wajah itu menahan tawa-nya. Sosok yang nampak cantik dengan balutan baju kerja yang formal dan rambut kecoklatan tergulung rapi. Ah, sial, dia benci melihat orang lain membanding-bandingkan penampilannya. “Lho bukannya tadi Nona Melly yang menjemput, Tuan Kenan?” Mengganti ekspresinya cepat dengan wajah bingung, Kenan menggeleng polos. “Tidak ada kok, Kenan diantar pulang sama, Ibu Nara. Ayah dimana, Tante?” tanya pemuda mungil itu seolah tidak sabar bertemu Ayahnya. Tentu saja dengan tangan masih menggandeng Ibu Nara. Nara melihat jelas ekspresi wanita itu, sedikit kikuk saat memberitahu. “Mm, sebenarnya Tuan Damian masih ada rapat diatas, mungkin sebentar lagi selesai. Tuan Kenan, mau saya buatkan minuman sambil menunggu? Mm, Nona Nara juga?” tawarnya setengah ragu. “A-ah, tidak usah,” Nara menolak halus, memperhatikan Kenan. Raut wajah pemuda kecil yang tadinya antusias kini menunduk lagi. Tidak menjawab pertanyaan wanita di depannya. “Tuan Kenan?” Mengurungkan niatnya tadi, Nara mengambil inisiatif, menatap wanita di depannya, “Permisi, apa ada Pantry di sini?”  “Oh, ada Nona, di dekat sana. Kenapa? Mau saya buatkan minuman? Pantry kami cukup lengkap, mengingat Tuan Kenan setiap hari ke sini, jadi semua kesukaan Tuan sudah ada di sana.” jelas wanita itu singkat. Nara mengangguk paham- “Kenan,” Memanggil sosok mungil itu, Kenan menengadahkan wajahnya, masih dengan bibir cemberut. “Bagaimana kalau sambil menunggu ayahmu, Kenan buat minuman bareng sama, Ibu Nara?” ajaknya. Manik Amber itu nampak membulat lagi, kali ini sedikit bersinar, antusiasnya muncul. “Kalau minuman, biar saya saja yang buatkan. Anda tinggal menunggu saja,” Menginterupsi antusias Kenan. Nara berdecak dalam hati, ‘Wanita ini benar-benar tidak pintar memikat hati anak-anak,’ Mungkin dia mampu memikat hati para lelaki dengan penampilannya. Tapi maaf, kalau masalah anak-anak, Nara tidak pernah kalah. “Tidak usah, biar saya sama Kenan saja yang buat,” sela Nara cepat, menggandeng tangan Kenan. “Eh, tapi mana mungkin saya biarkan, Tuan Kenan-” Siapa yang menyangka Kenan memotong perkataan wanita itu, “Kenan, mau buat minuman sama Ibu Nara, jangan ganggu!” Menaikkan sedikit suaranya. Membuat Nara bengong, merasakan tarikan mungil itu mengajaknya ke arah Pantry. “Eeh, Tuan Kenan! Nanti saya dimarah sama, Pak Bos! Astaga!”  Kan' sudah dibilang, kalau masalah anak-anak. Nara tidak akan kalah, haha! ‘Rasakan!’  . . . “Ck, siapa yang menjemputnya? Nara? Apa dia mengantar Kenan ke kantor?” Bergumam sendiri, memasuki area kantornya sekali lagi, memarkirkan mobil dengan cepat. Senyuman anggun tadi menghilang begitu saja, tangan itu menyambet tasnya dan segera keluar dari dalam mobil. Berjalan menuju pintu masuk lobby, melihat satu orang satpam di depan sana. “Pak, tadi ada lihat Kenan ke sini? Katanya dia diantara oleh Gurunya?” tanya wanita itu tak sabar. Laki-laki paruh baya itu mengangguk singkat, “Oh, iya, Nona. Sekitar dua puluh menit lalu Tuan Kenan diantar ke sini sama-hm-siapa namanya, Nona Nara,” jawabnya ragu. Ternyata benar, “Oke, terimakasih,” Tersenyum tipis, membuat satpam itu merona sesaat. Melly bergegas masuk ke dalam lobby. “Mira,” Memanggil wanita yang masih ada di tempatnya, sosok itu sepertinya tidak jadi pulang karena menunggu Bosnya pulang. “Ah, Melly! Syukurlah kau datang,” Berjalan mendekati wanita itu, mengelus dadanya lega. “Mana Kenan?” Pandangan Melly menjelajah mencari sosok mungil Kenan. Sementara Mira hanya mengendikkan bahunya, “Lagi di Pantry,” jawab wanita itu menunjuk kearah Pantry. “Pantry? Kenapa disana? Katanya dia diantar sama Gurunya ya?” “Kukira kau yang menjemput, Tuan Kenan. Tuan Damian, kan' belum selesai rapat jadi aku minta mereka menunggu, eh wanita itu malah mengajak Tuan Kenan ke Pantry. Katanya mereka ingin buat minuman sama-sama. Kalau Tuan Damian sampai tahu, aku pasti dimarahi habis-habisan!” racau Mira mengajukan protesnya, “Hh, kenapa kau biarkan mereka ke sana?” Berujar tipis, berjalan menuju Pantry secepat mungkin. “Ya mana bisa aku menolak permintaan, Tuan Kenan-” Bahkan mengabaikan teriakan temannya. . . . “Kenan, mau Jus apel yang banyak,” Nara menoleh, menatap sosok mungil di sampingnya, membawa dua buah gelas. Satu gelas dengan motif Spiderman favoritenya dan satu gelas berwarna hijau muda. “Itu pasti gelas kesayangan, Kenan ya?” Mengangguk pelan, “Iya. Ayah yang beli,” jawab Kenan polos, tersenyum tipis menatap gelas miliknya. Mengambil mixer yang tadi Ia gunakan untuk membuat jus. Bukan hanya warna mata, bahkan minuman kesukaan mereka juga sama. “Baiklah! Ini jus special buatan, Ibu Nara!” Menuangkan jus apel dengan campuran sedikit s**u ke dalam gelas milik Kenan. Manik anak itu menatap tak sabar. “Silahkan diminum!”  “Wahh,” Tangan mungil Kenan berniat mengambil gelas jus tersebut, sebelum suara langkah high heels mengganggu mereka. “Kenan!” Seorang wanita muncul dari balik pintu, raut wajahnya nampak khawatir. Tanpa basa-basi menghampiri mereka berdua, lebih tepatnya mendekati Kenan. Mensejajarkan tubuhnya dengan anak itu. Memegang pundaknya- “Ibu, mencarimu tadi ke Day Care, kenapa tidak mau menunggu sebentar saja, Kenan?” wanita itu seolah mengabaikan keberadaan Nara. Nara sendiri malah bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Melihat dari gerak-gerik wanita itu, sepertinya dia dekat sekali dengan Kenan. Oh, atau jangan-jangan dia Ibunya. “Tadi Kenan diantar sama Ibu Nara kok,” Menjawab singkat, Kenan meringsek pergi dari depan wanita tadi. Mengambil jus apel diatas meja, dan menyesap sampai puas. “Enak jusnya,” ungkapnya polos, tersenyum kecil menikmati racikan jus Ibu Nara-nya. “Ibu Nara?” Pandangan wanita itu menatap ke arah Nara, seolah sadar dengan keberadaan satu orang di dalam Pantry. “Ah, maaf,” Bangkit kembali, membetulkan pakaian dan rambutnya yang sedikit berantakan. Postur tubuh yang melebihi tingginya persis seperti Nadine, tapi sedikit lebih tinggi. Selera berpakaian mereka pun hampir sama, tapi wanita di hadapannya ini memiliki level yang lebih baik. Pakaian yang terkesan anggun dan dewasa. ‘Jangan minder, jangan minder, please kamu cantik apa adanya, Nara!’ batin Nara terus menerus, merasakan tubuhnya mengecil di hadapan wanita itu. Reflek menggigit bibirnya, Nara tersenyum, menundukkan tubuhnya sekilas. “Maaf, kalau tadi saya tidak ijin lebih dulu mengantar Kenan ke sini.”  “A-ah, maaf saya tidak sadar. Terimakasih karena sudah mau merepotkan diri mengantar Kenan ke sini,” sembari mengulurkan tangannya, “Mellyana Sandita, kita belum berkenalan sebelumnya, dan anda?” ujarnya dengan nada lembut. Nara menyambut sedikit kikuk, “Vania Nara, salam kenal,” Tubuh Melly sedikit menegang, mendengar nama Nara disebutkan lebih jelas dan lengkap. “Vania Nara Kei-ah!” Seolah sadar dengan perkataannya sendiri. “Maaf ? Kei-apa? Saya tidak dengar,” Sepertinya Nara salah dengar, wanita itu memperbaiki sedikit kata-katanya. “Bu-bukan apa-apa, salam kenal, Nara.”  Jelas sekali Nara melihat gerak-gerik wanita itu sedikit aneh, setelah dirinya menyebut nama tadi. Apa hanya perasaannya saja? “Ibu Nara,” Perhatiannya teralihkan saat Kenan kembali menyentuh lengannya, bibirnya penuh dengan bekas s**u dan jus, Nara terkekeh. “Kenapa, hm?” Bertanya lagi, tangannya berniat menghapus bekas jus itu di bibir Kenan. Tapi tubuh pemuda kecil itu tiba-tiba ditarik menjauh, Nara reflek mengerjap polos, menatap sosok Melly yang memeluk Kenan. Masih dengan senyuman anggunnya, “Mm, sepertinya ini sudah larut. Saya tidak enak jika memintamu menjaga Kenan lebih lama.” tukas wanita itu sehalus mungkin. Menggantikan posisinya tadi, menghapus lembut bekas jus di bibir Kenan. “Kenan mau jus itu lagi, biar Ibu Melly ambilkan ya?” bergerak halus mengambil mixer berisikan jus tadi. Mengusirnya dengan halus, tentu saja Nara tahu. Entah karena alasan apa, Nara yang tadinya sempat memegang segelas jus langsung saja menempatkan benda itu kembali. Tersenyum tipis. Menarik napas dalam, “Kenan, Ibu Nara mau pulang dulu sekarang, setelah minum itu ingat gosok gigi sebelum tidur, oke?” Mencoba mendekati Kenan, Melly sepertinya akan menjauhkan anak itu lagi kalau Nara menyentuhnya lebih banyak. Alhasil Nara hanya menundukkan tubuhnya, tersenyum kecil, “Ibu Nara kenapa pulang?” Terlihat raut kecewa di sana. “Kan' sudah ada Ibu Melly-mu di sini, jadi Ibu Nara harus pulang dulu.” jelasnya diiringi kekeh geli saat melihat sosok mungil itu menunduk dengan bibir mengerucut, memegang gelasnya dengan kedua tangan,  “Tapi kan ayah belum turun,” “Lain kali siapa tahu Ibu Nara bisa bertemu dengan, Ayah Kenan. Tapi tidak sekarang,” Berusaha menjelaskan dengan lembut. “Ibu Nara tidak mau makan bersama kita?” Kenan masih bersikeras, “Tidak, Kenan mungkin lain kali. Kalau begitu sampai jumpa besok,” Tidak ingin memperpanjang percakapan mereka. Nara menegakkan tubuhnya. Melempar senyum pada Melly. “Kalau begitu saya permisi dulu,”  Wanita itu masih memasang senyuman anggunnya, “Terimakasih sekali lagi. Hati-hati di jalan,” melangkahkan kakinya keluar dari Pantry, sedikit melirik ke arah Kenan. ‘Hh, kenapa sikap wanita itu aneh sekali?’ batinnya tanpa sadar.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD