[5] Broken Heart

2556 Words
PART [5] Hari yang cukup melelahkan, mengendarai mobil masuk ke dalam area Apart. Berniat memarkirkan mobil, Manik Ambernya melihat satu mobil yang baru juga datang, lebih cepat darinya. ‘Mungkin hanya tetangga,’ batin Nara sekilas, dia ingin secepatnya masuk ke kamar dan berendam dengan air hangat. Pemikirannya sedikit terhenti saat orang di dalam mobil itu perlahan keluar. Mengambil posisi parkir mobil yang pas. Alisnya sedikit bertaut, “Nadine?” gumamnya begitu melihat Nadine baru saja keluar dari dalam mobil. Di tambah lagi mengajak seorang laki-laki? ‘Jangan bilang itu pacarnya yang ke-20?’ tebak Nara asal. Kali ini bukannya merasa iri, Nara justru tertawa. Rupa-nya Nadine sudah berani mengajak kekasihnya untuk bertemu ayah dan ibu. Kalau biasanya wanita itu cukup menghabiskan waktu di luar saja dengan mantannya yang lain. Sepertinya dia cukup serius, Nara mengangguk kecil, memperhatikan dari dalam mobil. Meneliti laki-laki itu, ‘Oke, dia memang tampan tapi masih kalah dengan Tuan tampanku di seberang, mobilnya cukup mahal,’ Kembali berpikir. Nara mendesah panjang, mengingat bagaimana selera Nadine begitu tinggi. Persis seperti Nara, tapi bedanya, adiknya itu bisa mendapatkan laki-laki yang dia inginkan sesuai tipe, sedangkan Nara boro-boro dapet- “Aish, aku merendahkan diri lagi!” Menepuk pipi kencang, memperbaiki kacamatanya. Nara bergerak menyampirkan tasnya, dan keluar dari mobil, Berjalan menuju arah Nadine, cukup melempar senyuman saat mereka melihat. “Lho, Kakak baru datang?” Wanita itu bertanya dengan nada khawatir, menghampirinya dengan langkah anggun. “A-ah, iya, tadi ada sedikit pekerjaan,” jawab Nara seadanya. Merasakan bagaimana Nadine tiba-tiba memeluk lengannya. Bertingkah manis dan manja. “Hm, Kakak pasti capek karena mengurus anak-anak seharian,” Menyela perkataannya begitu saja. Sedikit perempatan emosi nampak di kening Nara, wanita itu berjengit menahan kekesalannya. Masih tersenyum, ‘Ini anak mulai lagi-’ batinnya memberontak, ah betapa inginnya Nara mendorong tubuh tinggi itu dari lengannya  “Tentu saja, karena pekerjaan ini Kakak bahkan bisa membeli mobil sendiri,” balas Nara tetap mencoba tenang. Nara seolah hapal semua sifat Nadine. Adiknya tidak akan pernah berhenti mencari perhatian orang lain, ya dengan cara merendahkannya seperti ini. Tenang, Nara sudah terbiasa, dia cukup tahan banting. “Wah, tentu saja Kakakku hebat.” Nadine masih mempertahankan senyumannya, kali ini mencoba mengalihkan perhatian. “Oh, iya Kak. Aku belum mengenalkanmu, ini Rian Baskara, kekasihku.” ungkap Nadine, menatap sosok tegap di sampingnya. Laki-laki berambut pendek, dengan sedikit gelombang di sana, manik berwarna kecoklatan. Oke, dia memang tampan.  “Ini Kakak yang aku ceritakan. Namanya Vania Nara, cantik kan?”  ‘Lagi-lagi,’ decih Nara dalam hati. Bisa Ia lihat bagaimana pandangan laki-laki itu seolah menahan tawa saat Nadine mengatakan kata ‘cantik’. Shit! Nara tahu kok dia hanya tidak suka berdandan, rambut hitamnya juga sengaja Ia potong karena merasa gerah mempunyai rambut panjang saat di Surabaya dulu! “A-ah, iya, cantik. Salam kenal Kak Nara,”  Memutar kedua bola matanya, Nara meringsek, melepaskan pelukan Nadine. Masih memasang senyumannya. “Kalau begitu Kakak duluan, kau ajak saja dia bertemu ayah dan ibu.” Menatap Nadine, sebelum akhirnya berjalan mendahului keduanya. Rasa lelahnya kembali datang, ah sial. Nara sudah bisa menebak acara makan malamnya akan berubah jadi apa nanti. . . . Bi Ina menyambutnya saat masuk ke dalam apartement mereka, satu lantai khusus yang didesain oleh ayahnya. Khusus untuk keluarganya saja. Memberikan segelas air putih dingin padanya. “Lho, tumben Non Nara pulang malam? Minum dulu Non,” tanya Bi Ina bingung. Nara mengambil gelas tersebut, menegak cepat. Tanpa meninggalkan setetes pun di sana. Dia sangat haus, air dingin tadi sukses membuat pikirannya jernih kembali. Menarik napas panjang, menatap Bibi-nya- “Bibi, ada buat makan malam ya sekarang?” tanya Nara sekilas, jika pagi hari dirinya selalu diharuskan untuk sarapan pagi bersama keluarga, lain halnya malam. Mereka hanya kadang-kadang makan bersama, itupun karena ayah, ibu atau Nadine tidak tentu jam pulangnya. “Iya Non, katanya pacarnya Non Nadine mau ke sini. Mau dikenalin katanya, jadi Tuan dan Nyonya minta Bi Ina buatkan makan malam yang enak,” jawab wanita paruh baya itu mengangguk dan tersenyum senang. Sementara Nara mendesah panjang, ‘Untung saja aku pergi jam 9,’ batinnya lega, tapi tetap saja dia malas harus berkumpul dengan keluarganya. Apalagi pertama kali Nadine mengajak pacar yang tampan dan kaya itu ke apart. Langsung makan malam bersama lagi? “Hh, ya sudah nanti panggil saja kalau semua sudah di ruang makan.” Menaruh gelas itu di atas nampan, Nara berjalan melewati Bibinya. “Non Nara, jangan ketiduran lho ya!” seru wanita itu mengingatkan lagi. “Ya, mana mungkin aku tidur jam segini, Bi Ina,” . . . Arka berusaha fokus pada putranya saja hari ini, melihat pemuda mungil itu menyantap makanan kesukaannya dengan lahap. “Bagaimana harimu di Day Care tadi?” Mencoba bertanya, sembari menyantap sandwhichnya. Mengabaikan delikan Melly di sebelahnya, Kenan menengadahkan wajahnya, menatap sang Ayah sedikit bingung. “Mm-Kenan belum bisa beradaptasi di sana,” balasnya tipis, “Lalu?” “Tadi ada teman-teman ngajak Kenan main, tapi Kenan takut, Ayah.” Arka mengangguk paham, mengusap rambut hitam putranya lembut, “Jagoan Ayah masih ingat kejadian di Surabaya dulu?” Kenan menunduk, Arka mengira bahwa pemuda kecil itu akan menangis atau merengek. Tapi wajahnya kembali terangkat, kali ini dengan senyuman, “Tapi ibu Nara bilang kalau di sana itu beda, Ayah.” ujar Kenan sedikit ragu, bingung bagaimana menjelaskannya. “Teman-teman Kenan di sana tidak ada yang marah atau kesal liat Kenan naik mobil warna-warni tiap pagi, mereka semua ingin main sama Kenan,” ungkap pemuda mungil itu jujur, tersenyum memperlihatkan deretan gigi susunya. Arka mendengarkan dengan seksama, masih mengelus puncak kepala Kenan, “Hm, terus?” “Ibu Nara, baik sekali, masak dari siang sampai sore ngejar Kenan terus. Buatin Kenan s**u, terus pas napas Kenan sesak ibu Nara peluk seperti ini, erat sekali. Napas Kenan yang sesak jadi hilang,” celoteh Kenan panjang lebar mengenai wanita itu. Melly tidak menyangka bahwa celotehan Kenan mampu membuat senyuman tipis tercetak di wajah Arka, saat mendengar nama Nara. Laki-laki itu seolah terfokus pada putranya saja. Mengabaikannya? Manik Hazelnya menatap satu gelas wine yang sempat Ia pesan, mengambil, dan menyesapnya sekilas. Tepat saat salah seorang pelayan berjalan ke arahnya. Mencoba mengambil piring yang sudah kosong untuk segera dibersihkan. “Permisi,” ucap pelayan itu sopan- Menyisakan sedikit wine tersebut, dengan sengaja menyenggol lengan pelayan tersebut, membuat wine yang ada di tangannya terjatuh begitu saja. Mengenai pakaian yang Ia gunakan, “Astaga!” Merasakan dingin cairan itu mengenai baju dan roknya, satu hal itu sudah cukup membuat perhatian Arka teralih. “Ma-maaf, saya tidak sengaja menyenggol tangan Nona,” Pelayan itu meminta maaf, sementara Melly tersenyum tipis. “Ah, tidak apa-apa, lain kali berhati-hatilah.”  “Maaf! Nanti akan kami ganti kerugiannya.” Menggeleng singkat, “Tidak usah, selama ini bisa dibersihkan.” tukas wanita itu cepat. Mengambil tisu dan membersihkan pakaiannya. “Kau tidak apa-apa?” Suara Arka bertanya padanya, sementara Melly masih fokus membersihkan baju. “Aku tidak bisa pulang menggunakan baju seperti ini. Ayah pasti marah,” keluhnya lengkap dengan suara merajuk. “Memangnya kau ini anak-anak, Paman memarahimu gara-gara itu saja?” Arka menahan tawanya, sedikit menggeleng melihat tingkah Melly. Wanita itu mengerucutkan bibirnya, “Ish, setidaknya berbaik hati-lah meminjamkan kamar mandimu sebentar. Kan' Apartmu tidak terlalu jauh dari sini,” protes Melly memberikan kode keras. “Lalu setelah itu kau baru mau pulang?” balas Arka santai. Melly mengangguk cepat, “Tentu saja, kau yang mengajakku ke sini. Kau juga yang harus bertanggung jawab,” Tersenyum manis. Laki-laki itu hanya menghela napas panjang. “Hh, akan kubelikan kau baju baru di dekat sini, itu sudah cukup kan?” Gemas, wanita itu mengalihkan pandangan, sedikit marah, “Aku tidak mau pulang dengan bau wine seperti ini!” Arka menyerah, jika menanggapi sifat keras kepala Melly, dia akan selalu kalah. “Baiklah.” Menjawab singkat, satu jawaban itu sudah cukup membuat senyuman wanita itu makin tersungging. “Kalau bisa menginap, aku mau-”  “Dalam mimpimu.”  . . . Entah kenapa satu menit berasa satu tahun. Seperti biasa Nara selalu merasakannya, ditambah lagi sekarang. Menggunakan baju kesayangannya, baju oblong berwarna abu-abu dan celana panjang. Rambut hitamnya masih terikat, dan setia dengan kacamata bulatnya. Menunggu beberapa makanan lagi yang sebentar lagi datang, Nara berniat mengambil buah apel diatas meja sebagai cemilan. “Nara, jangan makan dessertnya dulu sebelum makanan utama.” tegur ibunya langsung melarang, di depan banyak orang termasuk kekasih Nadine yang kini duduk di samping adiknya. Berniat protes sebelum dirinya sadar kembali, “Hh, baiklah, maaf.” desah Nara kecewa, menarik tangannya kembali. Perhatian ibunya teralih menatap Nadine dan Rian dengan wajah bangga, “Oh, iya kalau Tante boleh tahu. Pekerjaan Rian sekarang apa?” Seperti biasa, bertanya mengenai bibit, bobot, bebet calon menantunya. Bukan hanya Nadine, standard ibunya bahkan bisa lebih tinggi, terutama jika menyangkut pekerjaan. Setidaknya dia harus memiliki posisi penting dalam perusahaan, atau mungkin seseorang yang terkenal, karena jika Nadine memiliki kekasih seorang pegawai biasa. Wah, langsung ditolak mentah-mentah. Ya, memang tidak ada salahnya sih, toh buat kebaikan putrinya sendiri. Tapi tetap saja, kalau misalnya nanti Nara malah jatuh cinta sama laki-laki biasa bagaimana? Apa mereka mau menerima calon suaminya? “Sekarang saya jadi General Manager di Cabang ke-2 Perusahaan elektronik Sankai,” Rian membalas jawaban sang ibu dengan lugas dan jelas. Laki-laki itu seolah percaya diri dengan pekerjaannya. Membulatkan bibir, tentu saja semua orang di sana mengangguk kagum. Di usianya yang menginjak 34 tahun menjadi seorang General Manager. Hebat, Nara mengangguk salut. “Wah, berarti posisi Rian penting sekali di Perusahaan itu dong. Tante, dengar Perusahaan elektronik Sankai kan cukup terkenal.” celetuk ibunya menepuk kedua tangan kagum. Nara sudah bisa menebak, wanita itu pasti senang sekali. “Walaupun belum bisa mengalahkan Perusahaan Tashiba, tapi kami sudah menjadi nomor dua di Indonesia sekarang.” Rian menjawab dengan yakin. Ibunya hanya mengangguk paham. Bahkan ayahnya pun ikut kagum, “Umurmu masih muda dan sudah bisa menjadi General Manager, hebat. Paman bisa tenang menitipkan Nadine padamu nantinya.” desak laki-laki itu jujur. Wajah Nadine memerah, “A-ah, Ayah. Jangan bicara seperti itu, aku malu,” Mengibaskan tangannya lembut, “Tentu saja saya siap,” Rian justru menimpali perkataan ayah Nadine dengan serius. “Rian!” Memukul pelan pundak kekasihnya, semua orang di sana tertawa. Oke, Nara harus ikut tertawa. Ikuti arus, jangan mengambil tindakan lebih sebelum kamu menginjak bom bunuh diri. ‘Jangan menonjol, hindari tiap momen pertanyaan terarah padamu, Nara.’ batin wanita itu berusaha keras agar tidak menarik perhatian kedua orangtuanya. Saat Bi Ina datang membawa satu mangkuk makanan, menempatkannya di atas meja, “Ini makanan kesukaan, Non Nara. Ayam pedas level 10,” ucap wanita paruh baya itu menyebut namanya dengan polos. Saat itu juga Nara ingin terjun ke lubang dalam tanpa dasar, “Tidak mungkin kan' aku menikah mendahului Kak Nara,” Nah kan, ‘Ah, sial!’ Merutuk dalam hati. Nara reflek mengalihkan pandangan, menggigit bibir dan mengepalkan salah satu tangannya gemas. ‘Ah, Bi Ina sih!! Kan', kan' mereka mulai lagi!!’  “Ngomong-ngomong selama ini rasanya Kak Nara tidak  pernah mengajak kekasihnya ke sini kan?”  ‘Dasar nenek lampir bermuka malaikat,’ rutuknya lagi. Nara kembali menatap ke depan, mencoba tersenyum polos. “Kakak sama sekali tidak keberatan jika kau menikah lebih dulu, Nadine.” Menjawab dengan halus. Wajah adiknya mengerucut, mendekati Rian bahkan tak ayal menyenderkan bahu di pundaknya. “Tapi kan aku tidak mau begitu, bagaimana dengan pandangan orang tentangku nanti? Aku menikah lebih dulu dari, Kak Nara.” Wanita itu mencoba memojokkannya. Tenang saja, Nara sudah terbiasa. “Tidak akan ada yang berpikiran buruk tentangmu, Nadine. Lagipula kasian Rian, umurnya kan sudah mau kepala empat, kau tidak mungkin menunggu Kakak menikah sampai dia tua nanti kan?” balas Nara sambil tersenyum, mengambil minuman di dekatnya dan menyesap singkat. Bisa Ia lihat bagaimana pandangan adiknya menyipit, dalam hati Nara sudah ketawa keras. ‘Haha, rasakan!’  batinnya puas  “Nara benar,”  Hampir saja memuncratkan minuman yang Ia teguk tadi, manik Nara melebar menatap wanita di dekat ayahnya tak percaya. Barusan dia bilang apa? Ibunya baru saja membela ... dia? Nara berniat mengangguk dan terharu, tapi kalimat wanita itu selanjutnya membuat dia dongkol, “Dengan penampilannya yang sekarang, rasanya tidak mungkin ada laki-laki yang suka atau mau menikahinya. Setidaknya perbaiki dulu dandananmu, Nara.” Kritikan wanita itu terasa lebih pedas. Seperti biasa, ibunya tidak akan pernah berada di sisinya, dia akan selalu mem-backing Nadine. Kapan pun itu, seperti sekarang ini- “Sudah jangan berdebat. Melinda seharusnya kau mendoakan agar putri sulungmu bisa mendapatkan pasangan yang pantas.” sahut laki-laki paruh baya di samping wanita itu. “Hh, aku hanya berusaha mengucapkan yang terbaik untuk Nara. Setidaknya dia harus mendapatkan kekasih seperti Rian juga.” Entah harus merasa lega atau kesal dengan perkataan ayahnya. Laki-laki itu juga tidak kalah ketatnya dalam memilih pasangan untuk kedua putrinya. Nara tidak bisa berharap lebih, jika nanti ada saat dimana ayah menjodohkannya bahkan dengan laki-laki yang tidak Nara suka- Saat itu juga Nara terpaksa memberontak- . . . Pukul 20.30 pm Memarkirkan mobilnya di basement khusus, “Kau yakin tidak ingin kuantar langsung pulang?” Menatap Melly di sampingnya, wanita itu masih bersikeras. “Setidaknya sampai wine ini menghilang,” tegas wanita itu kembali. Mendesah panjang, Arka menoleh ke belakang, bukannya mendapati Kenan tertidur di sana seperti biasanya, pemuda kecil itu justru nampak sibuk dengan mainan spidermannya yang baru. “Ayah, kira Kenan tidur,” gumamnya tipis, keluar dari mobil, dan membuka pintu belakang. “Ayo mainnya selesai dulu,” Menggendong tubuh mungil Kenan dengan pelan. “Yah, Kenan masih mau main.” Anak kecil itu nampak rewel. “Setelah ini Kenan harus istirahat, tadi kan capek main di Daycare terus,” balas Arka enteng sembari melangkahkan kaki menuju lobby. Melly mengikuti langkah laki-laki itu. “Ish, jangan meninggalkanku, Dummy!” “Hh, sudah kubilang hentikan panggilanmu itu, Melly.” . . . “AHHH!!” Berteriak sepuasnya, setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Nara langsung merebahkan tubuhnya ke kasur, merasa tidak kenyang karena dia hanya makan sedikit tadi. Bagaimana bisa dia makan dengan tenang kalau pembicaraan tadi selalu menyinggung ke arahnya. “Ck, padahal ibu sendiri yang mengeluarkan suara saat makan, eh tahu-tahu tadi ibu yang paling berisik.” Mendumel kesal. Menggoyangkan kaki cepat, kedua tangannya memukul bantal berulang kali. Sebenarnya acara mereka belum selesai, kekasih Nadine masih bersama ayah dan ibunya di ruang tamu. Katanya sih mau berbicara mengenai apa gitu. Nara tidak peduli! Biarkan saja mereka bersenang-senang di sana- “Mereka tidak pernah berhenti memojokkanku, hh lama-lama aku lelah.” desahnya panjang, membalikkan tubuh. Menatap langit-langit kamar. Untung saja dia punya acara malam ini dengan Bella. Sebelum itu, dia harus bersiap-siap. Berniat bangkit dari posisinya, Nara seolah teringat sesuatu yang super penting. Tidak perlu waktu lama, keringat dingin mulai mengucur dari pelipis, maniknya membulat shock. “Ahh!! Teropongku!!” Meringsek bangun dari posisinya, reflek menundukkan tubuh, mencari-cari benda itu. “Dimana aku membuangnya, dimana?!” Mencoba mengingat kembali. Semoga saja Bi Ina belum sempat membersihkan kamarnya. Meraba-raba ke bawah kasurnya, “Ini dia,” Tangannya berhasil mengambil benda itu, berdoa supaya teropong kesayangannya tidak rusak. Hampir bersujud, “Syukurlah!!” teriak wanita itu senang, mengangkat teropongnya, senang karena kondisi benda itu baik-baik saja. Senyuman Nara mengembang, saat mencoba mengecek bagian lensa- “Eh-” Senyuman Nara memudar cepat, terdapat retakan di kedua lensanya, bagian terpenting. Nara menangis darah. “Noo!! Ah, kan benar rusak!!” Mendumel kesal, dengan panik wanita itu berjalan menuju jendela kamarnya. Meskipun dia tidak pernah sama sekali mengintip laki-laki itu saat malam hari. Karena dia selalu pulang malam atau bahkan tidak menyalakan lampu ruangan. Kali ini inginnya Nara mengecek keluar saja, berharap lensa teropongnya masih baik-baik saja. Tubuh Nara menegang, melihat lampu ruangan laki-laki itu tiba-tiba hidup, dengan tirai jendela yang sudah tertutup. Mengarahkan teropong tersebut, meskipun tirainya tertutup- ‘Tumben dia datang secepat ini, ditambah lagi lampunya hidup?’ batin wanita itu bingung. Manik Ambernya membulat shock saat melihat tidak hanya siluet tubuh laki-laki itu saja yang ada dalam ruangan, melainkan satu siluet dengan lekukan tubuh aduhai, dan siluet anak kecil? Wanita dan anak kecil?! ‘Tu-tunggu dulu,’ Menajamkan penglihatannya, saat tak sengaja tirai tersingkap karena anak kecil itu tengah bermain lari-larian. Manik Nara hampir keluar dari tempatnya- ‘L-lho bukannya itu,’ Masih dengan posisinya yang memegang teropong, tubuhnya gemetar. Antara shock dan sakit hati-eh. Pose yang sangat memalukan, bak stalker yang m***m. Saat laki-laki tegap itu bergerak mendekati anak kecil di dekat tirai. Wajah tampan itu menengadah- Menatap ke arahnya, memberikan sensasi kejutan listrik bagi Nara. Manik amber dan hitam legam itu bertemu, walau hanya sesaat, tirai tertutup kembali. Meninggalkan Nara yang membeku di tempatnya, mendapatkan kejutan berulang kali. Nama Kenan langsung muncul di kepalanya, ketampanan anak itu, berada dalam satu Apart yang sama dengan idolanya. Laki-laki tampan yang Nara kira masih single, ditambah lagi dengan keberadaan wanita penuh lekukan itu. Nara ketahuan mengintip, padahal belum satu tahun. Usianya 27 tahun, tidak punya pacar, dan sekarang saat tahu laki-laki super tampan itu ternyata ayah Kenan dan sudah punya istri. Kenapa dia baru sadar sekarang? Vania Nara Keisya, patah hati.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD