Part 1 – Gone

1388 Words
Sejak kejadian kemarin, aku sering banyak melamun. Tapi aku lebih banyak memikirkan Fariz. Karena sepulang sekolah, Kak Raka mengintrogasiku karena ulah siapa aku bisa menangis. Awalnya aku tidak mau jujur, tetapi Kak Raka memaksa dan mengancam akan bilang pada Papi kalau aku sudah mulai pacaran. Karena aku tidak mau Kak Raka membongkarnya pada papi, terpaksa aku menceritakan motif dibalik Fariz menjadikanku pacarnya. Mendengar hal itu, Kak Raka langsung pergi dan mencari Fariz. Setelah Kak Raka bertemu Fariz, dia langsung menghajar Fariz sampai wajah Fariz penuh luka. Fariz tidak membalasnya, dia hanya diam menerima pukulan bertubi dari Kak Raka. Jujur, walau dia dulu pernah masuk ke dalam hatiku dan menyakitiku, tapi aku masih menginginkannya. Apalagi aku suka dengan sosok Kak Fariz yang dewasa. Sebenarnya aku gak ingin putus. Tapi... Karena Kak Fariznya yang menganggapku sebagai taruhan, lebih baik aku melepaskannya walau hati ini tidak terima. Alfarizi Arsyad Pratama. Mendengar nama lengkapnya membuat hatiku menghangat. Nama yang bagus dan baik, sayangnya kelakuan kak Fariz kepadaku yang tidak baik. "Woi, mbah! Ngelamun aja, mikirin apa sih lo? Mikirin underware lo yang belum kering di jemur?!" Namira menyadarkanku ke alam sadar. Ck, itu mulut gak bisa gitu dijaga?! Yang benar saja mikirin underware. Gelo sia! Aku memutar bola mata, "ck, sok tahu!" cibirku. Namira hanya mengedikkan bahu cuek. "Nih, ya Andira Olivia Wijaya calon adik ipar tersayang, mie ayam lo udah ngembang, ngeliat mie ayam lo jadi enek gue!" katanya sambil menatap mie ayam dan aku secara bergantian. Ya siapa suruh pesenin aku mie ayam, kan sudah di bilangin kalau aku lagi gak mood makan. Dan apa-apaan tadi? Dia menganggapku sebagai calon adik ipar? Nggak sudi aku punya adik ipar yang cerewet seperti dia. "Kan gue udah bilang sama lo, kalau gue lagi gak nafsu." Kataku cuek lalu menggigit sedotan es teh manis. Jorok sih, tapi mau bagaimana lagi, kebiasaan dari kecil soalnya. Kata Papi sifat jelek aku yang suka gigit sedotan itu dari Mami. "Eh, Dir, abang lo gimana kabarnya? Kirim salam ya dari Namira kalau gue akan menunggu kak Raka sampai seribu tahun." katanya lebay sambil mencomot mie ayamnya. Aku memandangnya sebal, tiada hari tanpa mengatakan Kak Raka. Emang apa sih, gantengnya Kak Raka? Bego, iya. Jorok, iya. Oon juga iya. Gak ada menariknya sih sebenarnya, cuma syukulah Tuhan memberikan wajahnya yang tampan. Coba kalo nggak, udah lengkap deh Kak Raka, nggak ada bagus-bagusnya. Masa nih, ya, dari dulu sampai sekarang Kak Raka di kerjain sama uncle Dylan dan papi sama mami. Masa dia tidak tahu nama uncle Dylan. Pokoknya dia dikerjain sama mereka. Ceritanya sih panjang, pokoknya kayak drama-drama korea yang aku tonton. Setidaknya sih, mirip sama jalan cerita drama Korea. "Ogah, malesin banget, kayak nggak ada kerjaan aja bilang gitu ke Kak Raka." Sahutku cuek. Namira memandangku memohon, "gitu banget, sih, lo jadi sahabat. Dukung aku, lah jadi calon Kakak Iparmu."katanya kesal. Sejujurnya sih, bilang ke Kak Raka soal Namira pasti tuh orang cuek bebek. Soalnya Kak Raka gak ngaruh sama cewek lain terkecuali Kak Rasya --anak uncle Dylan-- Aku menghela napas pasrah, "iya deh." Tapi kalo ingat ya, Nam. Hehehe... ♥♥♥ Aku berjalan di koridor sekolah yang sepi, karena jam pelajaran sudah di mulai, sedangkan aku di panggil sama guru bimbingan konseling. "Ada apa Ibu Shinta memanggil saya?" Tanyaku ramah sambil mengulum senyum terbaikku. Bu Shinta membalas senyumanku, tapi kalo dibandingkan sama senyumanku, masih tetap senyumku, sih, yang lebih manis. "Oh, ya, Ibu cuma mau minta bantuanmu sedikit boleh, nak?" Tanyanya sambil menulis. Boleh kok bu, banyak juga tak apa, asal dapat uang tip! "Boleh, bu boleh, mau Dira bantuin apa?" "Oh, ini, ibu mau kamu belikan ibu rujak petis di depan ya, hehe ibu lagi ngidam. Sebagai gantinya uang kembaliannya kamu ambil saja." Katanya sambil mengelus perutnya yang tidak tampak membuncit. Mungkin kandungannya baru tiga minggu. Aku menatap uang pecahan dua puluh ribu pemberian Bu Shinta untuk membeli rujak. Cukup gak ya uangnya? Cukup kali ya, mungkin harga rujak delapan ribu, ah kalo harga rujaknya delapan ribu, untung buat aku banyak dong ya?! Hihihi... Matahari sangat menyengat, membuat mataku menyipit menghalau sinar matahari menyilaukan mataku. Mana rujaknya lama sekali, membuatku menggerutu didalam hati saking lamanya. "Mang, masih lama gak?" Tanyaku tak sabar. Mangnya nyengir kuda, sehingga menampilkan sederet gigi atasnya yang di pasang gigi emas. Gigi emasnya berkilau saat silau matahari mengenai gigi emasnya. "Belum neng, bentar lagi, sabar ya neng." Ucapnya sambil bersiul ria. Sambil menunggu pesanan Ibu Shinta, aku mengikat rambutku memakai karet gelang. "Nih neng udah," katanya sembari mengasih bungkusan yang pastinya rujak pesanan Bu Shinta. Tanpa tedeng aling-aling, langsung saja aku bawa kabur nih bungkusan rujak. "Neng! Balik neng! Eneng belum bayar!" Teriaknya. Seketika aku berhenti berlari, lalu balik ke tempat rujak tadi sambil nyengir tak berdosa. "Hehehe..." garuk-garuk kepala, "maaf mang, berapa semuanya?" kataku. Si mang rujaknya berdecak sebal, "iye neng, mang maapin. Bayarannya murah kok neng, delapan belas ribu. Cash ya, neng gak boleh pake kartu kredit." Yakali kartu kredit. Dikira mau ngutang mesin cuci?! Eh tapi.... Harganya delapan belas ribu, berarti kembaliannya dua ribu dong ya? Astaga... dua ribu mau di beli buat apa?! ♥♥♥   Aku menatap pertandingan basket yang di mainkan oleh kelasku XI IPA 1 melawan kelas XI IPA 2. Saat lagi fokusnya menonton pertandingan basket, tiba-tiba tepukan keras mendarat di bahuku, saat mau menoleh, malah aku sudah berada di pelukkan si pelaku. Pelukannya terasa sangat nyaman dan hangat. Wangi tubuhnya membuatku tanpa sadar mengendus aroma tubuhnya, siapa pria ini? Apakah dia salah memeluk orang? "Aku mau pamit sama kamu sayang, aku harap kamu baik-baik disini. Aku masih sayang sama kamu." Katanya lirih, lalu menyusupkan wajahnya di lekukkan leherku. Membuat aku berjingkat geli. Eh, ini kayaknya benar-benar salah orang, Aku mencoba menjauhkan tubuhku dari pelukkannya tapi hasilnya nihil. Dia mendekapku terlalu erat. "Biarkan begini dulu," mohonnya. Yaudah sih, situ yang mau peluk-peluk, saya rela kok apalagi pelukannya nyaman dan hangat. Tapi kalau situ terkejut salah peluk orang, jangan salahkan saya ya, karena situ yang nyosor-nyosor duluan main peluk. Dia melepaskan pelukannya lalu menatapku lekat. Tubuhku tercengang. Pelukan hangat itu... ternyata milik Fariz. Fariz memegang pundakku, "aku, mau bilang sesuatu sama kamu." Katanya. "Yaudah sih bilang aja langsung, gak usah bertele-tele." kataku ketus, tapi jantungku langsung kumat penyakitnya, selalu berdetak dengan kencang bila berdekatan dengannya. Dia tersenyum miris, lalu tangan kanannya mengusap pipiku dengan lembut sedangkan tangan kirinya masih di pundakku. "Aku... aku mau pamit sama kamu kalau aku mau pergi, kamu baik-baik aja ya selama disini." Tubuhku langsung menegang, Fariz mau pergi?! Tapi... kemana? "Yaudah sih, pergi aja ngapain pakai izin sama aku segala," ujarku sambil memandangnya malas. Aslinya sih, tidak ikhlas bila Fariz pergi, malah aku inginnya dia selalu ada di sini, bersamaku dan memulai semuanya dari awal. Tapi, aku tak sanggup untuk mengatakannya. "Aku tahu kamu kecewa sama aku, tapi percayalah, aku cinta sama kamu Andira Olivia Wijaya, maafin aku ya," pintanya. Satu tetes air mata mengalir di pipi Kak Fariz. Aku menatapnya tak percaya, Kak Fariz nangis, dan itu karenaku? Sebelumnya Kak Fariz tidak pernah menangis dihadapanku. Dia selalu kuat. Tidak cengeng seperti ini. Dan baruku sadari, bahwa Kak Fariz tidak memakai seragam sekolah. Malah memakai pakaian kasual. "Waktuku tidak banyak, karena sejam lagi aku mau ke bandara, ini cincin untuk kamu, aku harap kamu menjaganya untuk aku. Seberapapun kamu benci atau masih kecewa sama aku, yakinlah, aku cinta kamu Andira. Dan rasa ini tulus, jangan pernah ragukan hal itu." Katanya lalu mengambil jemariku, di pasangkannya cincin itu di jari manisku. Air mata aku pertahankan agar tidak jatuh. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangis. "Aku pergi, aku cinta kamu Andira." Ucapnya lalu mencium keningku. Aku menatap punggung Fariz yang kian menjauh. Air mata yang aku tahan kini sudah jatuh tanpa bisa kucegah. Aku belum mengucapkan kata sekedar 'terima kasih' atas cincin pemberiannya. Dan aku juga belum bertanya sama Fariz kalau dia mau pergi kemana. Atau membalas kata cintanya dan kata mohon maafnya. Fariz... Apakah aku bisa hidup tanpanya? Aku menatap kembali cincin pemberian dari Fariz. Cincin ini ternyata berlian. Aku sentuh cincin pemberian Fariz. Rasanya sesak hanya menyentuh cincin ini. Aku ingin memeluk Fariz sekali ini saja. Pertahananku hancur. Aku terduduk di semen lapangan. Tanpa sadar kini bukan pertandingan basket yang sebagai tontonan, malah kini aku yang di jadikan bahan tontonan mereka. Terserah, aku gak peduli! Aku maunya Fariz, di sini, menemaniku dan membatalkan kepergiannya. Fariz... Jangan pergi! Hiks....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD