Hatiku hancur setelah membaca pesan WA dari Calon Suamiku yang tiba-tiba membatalkan pernikahan kami di saat ijab kabul akan berlangsung, demi bisa menikahi Adikku.
"Yura, sebelumnya aku minta maaf. Aku mohon kamu mau mengerti perasaanku. Sudah lama aku menahannya. Dulu aku datang ke rumah Pamanmu untuk melamar Amira, ternyata Amira sudah punya tunangan, terpaksa aku melamarmu karena tidak ada pilihan lain. Sejak pertunangan Amira batal, 3 bulan yang lalu aku memberanikan diri menghubungi Amira, ternyata selama ini aku dan Amira saling mencintai. Kami ingin menikah, tapi butuh persetujuan dari kamu. Aku mohon, saat Paman dan Bibi-Mu bertanya, katakan kalau kamu ikhlas aku menikahi Amira. Tolong jangan jadi penghalang dalam hubunganku dan Amira."
Tangan Yura gemetar karena sangat terpukul dengan kenyataan pahit ini, menggenggam hp saja rasanya tidak memiliki tenaga hingga hp di genggaman tangan Yura terjatuh di pangkuannya. Yura meremas ujung kebaya yang dikenakannya, sekuat hati berusaha menahan air mata yang berdesakan ingin keluar.
Ya Tuhan, hatiku sakit banget, kenapa jadi seperti ini. Tega sekali kamu Mas Malik, apa salahku sama kamu?
Hati Yura benar-benar hancur, ia merasa terhina di hari pernikahannya sendiri. Di hari yang bahagia ini, harusnya Yura merasa bahagia akan menjadi seorang pengantin, bukan malah dipermalukan seperti tidak memiliki harga diri.
Yura menyesal pernah menerima lamaran Malik, pria yang sejak lama ia cintai. Begitu tega Malik menggoreskan luka yang begitu dalam di hari pernikahan mereka. Ternyata, kata cinta dan janji manis yang Malik katakan selama 2 tahun bertunangan hanyalan bualan semata.
Yura tidak pernah menyangka, tunangan dan adiknya berani bermain api di belakangnya. Bahkan, Malik mengatakan jika Yura adalah penghalang dalam hubungannya dengan Amira.
Nyatanya, Malik sendiri yang datang pada Yura dan melamarnya secara suka rela, bukan karena Yura mengemis cinta padanya. Setelah berhasil membuat Yura memiliki harapan besar, Malik membuang Yura begitu saja seperti sampah.
“Jangan teruskan!” Yura menahan tangan Kiran yang hendak memoles lipstik ke bibirnya.
“Kenapa, Ra? Apa warna nggak cocok.” tanya Kiran dengan kening berkerut. "Loh, 'kok malah nangis ‘sih nanti make-upnya bisa luntur, Ra. Aku tahu kamu sangat senang sebentar lagi akan nikah sama laki-laki yang sudah kamu cintai sejak SMA, tapi please, tahan air mata kamu biar riasannya nggak rusak." Kiran sudah merias wajah Yura dengan susah payah, menyulap wajah cupu Yura menjadi sangat cantik, hanya tinggal memoles perona merah di bibir Yura. Ia takut kerja kerasnya rusak karena air mata Yura.
“Aku batal nikah,” ujar Yura dengan suara bergetar bersamaan dengan luruhnya air mata yang membasahi pipinya.
“Loh, kenapa, Ra?" Kiran terbelalak dan sangat shock mendengar jawaban yang keluar dari bibir Yura. "Apa dia hamilin anak orang? Atau pernikahannya cuma ditunda saja?” Kiran kembali menodongkan bertubi-tubi pertanyaan pada Yura. Matanya terus menatap Yura yang duduk di kursi meja rias dengan tatapan iba sekaligus penasaran.
Yura tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyerahkan hp-nya pada Kiran. Pun buru-buru membaca pesan dari Malik untuk mengobati rasa penasarannya.
“Kurang ajar. Tega banget Malik dan Amira berbuat begini sama kamu, Ra.” Kiran menarik Yura ke dalam pelukannya, membuat tangis Yura semakin pecah saat merasakan belaian hangat Kiran di punggungnya.
“Kamu jangan diam saja ditindas kayak gini, Yura. Sekali-kali kamu juga harus menuntut keadilan, kamu harus lawan mereka.”
“Lalu aku harus apa, Ran?” Tanya Yura yang menangis sesenggukan di pelukan sahabatnya. Kiran selalu ada di saat Yura bahagia maupun berduka.
“Kamu harus mempertahankan apa yang jadi hak-mu, Ra!”
“Aku nggak sudi nikah sama orang kayak Mas Malik, buat apa aku mempertahankan pria kayak dia, yang ada aku akan tersiksa jadi istrinya.” Yura tidak mau melucuti harga dirinya lagi dengan mengemis cinta pada pangkhianat seperti Malik.
“Iya, kamu benar, Ra. Cowok di dunia ini masih banyak. Yang sabar, ya. Aku yakin kamu bakal dapat pengganti Malik yang jauh lebih baik dari dia.”
Yura memejamkan matanya rapat-rapat, “Pria di dunia ini memang banyak, tapi belum tentu mereka mau nikah sama aku yang jelek. Mana ada pria yang mau sama aku, Ran? Mas Malik berpaling dariku karena adikku jauh lebih cantik dariku, Ran.”
“Kamu itu cantik, Ra, bahkan lebih cantik dari Amira, tapi kamu terlalu sibuk balas budi sama Paman dan Bibimu sampai kamu cuek dan lupa dengan fisikmu. Dulu kulitmu putih, sekarang jadi hitam dan kusam begini karena terlalu banyak keliling di panasan.”
“Itu tuntutan pekerjaanku, Ran.”
“Cari kerjaan lain dan balas perbuatan Malik dan Amira, buktiin kalau kamu bisa lebih baik dari mereka.”
“Cari kerja itu susah.”
“Jangan pesimis gini, dong. Kamu harus maju, pikirkan masa depanmu, jangan cuma mikirin balas budi. Kamu udah cukup berjuang bantu Paman dan Bibimu.”
Bujuk rayu Kiran membuat Yura semakin menangis tersedu-sedu. Sejak kecil Yura sudah ditinggal ayah dan ibu, kemudian dirawat oleh Paman dan Bibinya. Sebagai balas budinya, Bibi meminta Yura bekerja keras untuk mengganti semua biaya hidup yang harus dia keluarkan untuk membesarkan Yura. Jangankan untuk mempertahankan hak-nya, menuntut keadilan pun Yura tak mampu, karena istri dari Pamannya akan menghitung semua jasa-jasanya pada Yura di masa lalu.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar, Yura pun segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Yura tidak ingin terlihat menyedihkan di mata orang lain, cukup saja Kiran yang tahu segala isi hatinya.
“Ehem.” Yura berdehem supaya suaranya terdengar biasa saja. “Masuk!” ujar Yura.
Pintu kamar pun terbuka, rupanya Bibi Salma yang datang berkunjung dengan ekspresi datar. Sudah bisa ditebak, apa yang membawanya datang kemari menemui Yura.
“Nak, bisa kita bicara empat mata?” tanya Salma. Dia merupakan ibu kandung dari Amira.
Yura tersenyum sembari mengangguk, kemudian memberi isyarat pada Kiran supaya dia segera pergi. Kiran langsung paham, ia pun bergegas pergi meninggalkan Yura dan dan bibinya hanya berdua saja. Saat tangan Kiran sudah mencapai kenop pintu, Salma memanggilnya.
“Nak Kiran, tolong rias Amira dengan make-up pengantin, ya!” Salma memerintah Kiran dengan nada lembut, tapi mampu membuat hati Yura semakin terluka dan terpuruk.
Tanpa meminta pendapat Yura, Salma sudah berani mengambil keputusan sendiri. Sementara Kiran menatap Yura dengan wajah mengeras seolah meminta persetujuan dari Yura.
Yura tetap mengangguk mematuhi keinginan Salma karena tidak ingin membuat kerusuhan di rumah yang sudah dipenuhi dengan tamu undangan dan kerabatnya.
“Iya!” Jawab Kiran dengan nada ketus, lalu keluar dari kamar Yura dengan membanting pintu cukup keras. Yura tahu, Kiran marah karena dia sangat peduli padanya, Kiran memang bukan saudara kandung Yura, tapi Yura merasa lebih dekat dengan Kiran daripada dengan Amira.
“Nak, di luar sana ada Malik dan keluarganya, Malik bilang kalau sebenarnya dia mencintai Amira dan ingin menikahinya. Apa kamu setuju, jika Amira menggantikan posisi kamu di pernikahan ini. Aku harap kamu mau mundur dari pernikahan ini tanpa dipaksa dan setuju Amira menikah dengan Malik. Nggak mungkin kan, kalau Malik melakukan poligami, Amira nggak akan mau di poligami. Lagian, kasihan Amira belum bisa move on dari Hirka. Aku harap kamu setuju dengan pernikahan Malik dan Amira. Katakan pada pamanmu kalau kamu ikhlas Malik menikahi Amira.”
“Iya, Bi. Terserah Amira dan Mas Malik enaknya gimana, aku ikuti keinginan mereka saja.” Yura berusaha menahan amarah yang begemuruh di hatinya.
“Kan, pamali kalau Amira nggak nikah setelah batal tunangan. Takutnya Amira nggak laku kalau kamu langkahi duluan.”
Yura tersenyum getir, padahal pamali seperti itu hanya berlaku untuk saudara kandung, sedangkan Yura dan Amira hanya saudara sepupu. Yura bukan lagi anak kecil yang mudah sekali dibohongi dengan bujuk rayunya.
“Iya, aku juga udah nggak mau nikah sama Mas Malik.”
“Aku tahu kalau kamu akan mengerti perasaan Amira, bantu dia untuk move on dari Hirka. Kamu lebih tua dari Amira, jadi kamu harus mengalah pada Amira yang masih lugu. Lebih baik kamu cari laki-laki lain saja untuk kamu nikahi.”
Miris sekali, Salma tidak pernah memikirkan bagaimana terlukanya hati Yura saat ini, yang dia pikirkan hanya bagaimana caranya mengobati luka hati Amira setelah Hirka membatalkan pertunangannya dengan Amira yang sampai kini tidak Yura ketahui apa sebabnya.
Salma hanya ingin melihat Amira bahagia, sekalipun dengan cara melukai hati Yura. Salma datang kemari bukan untuk meminta persetujuan dari Yura, tapi memaksa Yura menerima keputusannya secara sepihak.
“Assalamu alaikum.”
“Wa alaikumsalam.” Yura menoleh ke arah pintu saat Hadi mengucap salam. Hadi yang merupakan Pamannya Yura menghampiri Yura dengan tatapan iba.
“Nak, apa Bibimu sudah memberitahumu tentang Malik dan Amira?” tanya Hadi sembari membelai kepala Yura dengan lembut. Hadi tidak tega dan ikut bersedih atas apa yang Yura alami saat ini.
“Sudah, Paman.” Yura menerbitkan senyuman palsu meski hatinya perih teriris, batinnya terluka karena rasa kecewa atas pengkhianatan adik dan calon suaminya.
“Nak, kalau kamu tidak setuju dengan permintaan gila Malik dan keluarganya, maka hari ini juga aku akan memutuskan hubungan keluarga kita dengan keluarganya Malik. Aku tidak ingin melihat Amira dan Malik bahagia di atas penderitaan kamu.”
“Nggak perlu, Paman. Biarkan mereka menikah, aku ikhlas menerimanya,” balas Yura dengan d**a yang terasa sesak bagai terhimpit batu besar, akan tetapi Yura merasa jika pengkhianat seperti Amira dan Malik sangat cocok menjadi sepasang suami istri.
“Apa kamu yakin, Nak. Kamu nggak perlu sungkan mengatakan apa yang kamu inginkan. Aku akan selalu mendukung keputusanmu.”
“Iya, Mas. Aku juga udah bilang begitu, lebih baik hubungan keluarga kita putus dengan keluarga Malik, aku tidak ingin melihat Yura diperlakukan seenaknya sama Malik, tapi Yura malah minta pernikahan diteruskan oleh Amira dan Malik, karena mereka saling mencinta. Kamu ikhlas, ‘kan kalau Amira gantiin posisi kamu, Nak.” Salma ikut menimpali percakapan antara Nak dan Hadi, mungkin takut jika pernikahan akan dibatalkan oleh suaminya dan Amira kembali patah hati.
“InsyaAllah, Bi.”
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?” tanya Paman Hadi yang nampak tidak percaya dengan keputusan Nak. “Apa ada yang memaksa kamu?” Hadi melirik Salma, seolah memberi isyarat apakah Salma yang memaksa Yura.
“Nggak ada yang memaksaku, tapi aku nggak mau menikah sama pria seperti Mas Malik.”
Aku masih punya harga diri, mana mungkin aku sudi menikah dengan pria yang menganggapku seperti sampah. Aku tahu, Paman Hadi sangat menyayangiku dengan tulus, berbanding terbalik dengan Bi Salma dan Amira yang menganggapku seperti beban.
Yura sudah menganggap Hadi seperti ayah kandungnya sendiri, sedangkan Salma hanya bersikap pengertian pada Yura saat ada Paman Hadi.