BAB 3

856 Words
Bayu bangun dengan tubuh sakit karena kasur yang keras. Bayu mengucek matanya dan melirik jam dinding. Jam lima pagi. Ia menguap dan memakai kemeja dan celana panjangnya lagi. Lalu keluar dari kamar untuk mencari kamar mandi.   Begitu buka pintu Bayu sudah melihat keluarganya dan calon mertuanya tengah mengadakan sholat berjamaah.   Kenapa mereka sholat di ruang tamu? Fikir Bayu.   Saat hendak melangkah lagi Bayu melirik pintu yang terbuka. Inara keluar dari sana tetap dengan cadar-nya. Tidur juga pakai cadar kali dia.   "Inara." Inara langsung menoleh begitu mendengar Bayu memanggilnya. "Nggak ikut sholat?" Tanya Bayu. "Aku kesiangan karena nggak bisa tidur. Mas Bayu sendiri?" Tanya Inara. "Oh, sama. Kamar mandi di mana?" Tanya Bayu.   Inara pun menunjukkan letak kamar mandi. Untunglah kamar mandi Inara sudah lebih modern. Karena di dalam rumah dan sudah pakai kran. Bukan pakai sumur tua. Kan seram.   Inara mempersilahkan Bayu untuk lebih dulu memakai kamar mandi. Bayu pun langsung masuk dan dengan cepat mandi lalu ambil Wudhu.   Begitu selesai ia lupa. Kalau ia tidak punya handuk. Mampus! "Inara! Kamu masih di luar?" Teriak Bayu. "Ya, kenapa, mas?" Tanya Inara bingung. "Kamu punya handuk? Aku lupa bawa." Lupa bawa apa? Emang nggak punya handuk. Grutu Bayu pada dirinya sendiri.   "Ada. Sebentar." Inara langsung pergi ke kamarnya dan mengambil handuk dari dalam lemari. Tidak mungkin kan Inara  memberikan handuk bekas dirinya.   Saat Inara melangkah ke arah kamar mandi. Ia langsung berhenti. Ia tidak boleh melakukan ini. Ini memalukan. "Inara?" Tegur Royati. "Emak, sudah selesai sholat?" "Sudah. Kamu mau mandi?" "Bukan Inara, tapi, mas Bayu." "Oh, sudah, sini biar emak yang kasih. Kamu Wudhu di depan saja sana." "Iya, Mak." Inarapa pun memberikan handuk pada Royati dan ia sendiri pergi ke luar rumah untuk mengambil wudhu.     Saat Inara mengambil mukenah nya. Ia melihat Bayu sudah selesai mandi dan bersiap sholat juga. Wirya yang melihat itu langsung mengutarakan idenya.   "Bayu, jadi iman sholat Inara saja. Setelah itu, papa ajak kamu jalan-jalan di sekitar kampung." Bayu menoleh dengan ekspresi. Apa sih?   "Inara, cepat ambil posisimu. Kami tunggu di luar ya." Inara menatap Bayu sejenak. Bayu memalingkan wajahnya. "Saya sholat di kamar saja." Inara langsung masuk ke dalam kamarnya. Bayu pun tak peduli dan sholat subuh sendiri.   Wirya menghela nafas kecewa. Asti yang melihat usaha Wirya langsung mengusap punggungnya. "Mereka juga butuh proses, Pah." "Hmm... Lama." Wirya keluar di susul Asti.     Bayu berjalan santai dengan Wirya melihat sawah dan perkebunan. Udara yang dingin dan pemandangan yang masih tertutup kabut, terlihat sangat indah dan menakjubkan bagi Bayu. Lama sekali ia tak melihat hal indah seperti ini.   "Dulu, kamu suka main di sana, tuh," tunjuk Wirya. Bayu melihat ke arah bukit yang di tunjuk sang papa. "Ingat nggak?" Wirya menoleh ke arah anaknya. "Enggak," jawab Bayu cuek. Ia lantas berjalan lebih dulu meninggalkan Wirya.   "Enggak inget, tapi sok jalan duluan. Nanti nyasar lagi," goda Wirya. "Aku udah gede, Pah." "Emang orang hilang di berita itu anak kecil semua?" "Aku waras, Papa!" Wirya langsung tertawa mendengar jawaban sang anak yang ketus.   "Papa, ganggu anaknya terus?" Wirya menoleh ke arah Asti dan memeluk pinggangnya. "Anak itu masih belum dewasa ya?" "Sudahlah, Pah. Kenapa sih?" Asti merasa kalau suaminya terlalu sering mengatur sang anak. "Kalau sudah menikah nanti juga berubah, ya, kan, Mah?" Asti hanya tersenyum kecil dan menarik pinggang suaminya untuk melanjutkan perjalanan.     Hari menjelang siang. Setelah makan siang Wirya dan keluarga berdua untuk kembali pulang. "Tidak lebih lama di sini, Wir?" Tanya Royati. "Maunya gitu, tapi, kan enggak enak kalau kelamaan di sini. Anak kita itu kan belum nikah." Royati mengangguk paham.   "Kalau sudah menikah, kan, bebas nantinya, Yat," seloroh Asti. Royati dan Wirya tersenyum malu-malu membayangkan hal itu. Hingga dua orang yang tengah mereka bicarakan muncul dari pintu yang berlainan.   Bayu dari kamar Inara sementara Inara dari pintu dapur. Bayu nampak melirik sekilas Inara yang membawa nampak berisi teh dan cemilan ringan. Sementara Bayu menggenggam ponselnya.   "Terima kasih, Inara," ucap Asti saat Inara menaruh teh di depan Asti dan Wirya. Inara hanya diam. Sepertinya tersenyum hanya tidak terlihat.   Bayu duduk di antara kedua orang tuanya. Sementara Inara hendak kembali ke dapur namun di cegah oleh Royati. "Inara, mau ke mana?" "Mau ke dapur, Mak." "Sini dulu, duduk dulu." Inara mengangguk dan duduk di samping Royati.   "Paman mau pulang, sekalian mau pamit." Inara menatap paman dan bibinya secara bergantian. Sementara Bayu tak ia tatap sama sekali. Bayu mendesah merasa tak dihargai.   Setelah berbincang sejenak dan meminum teh masing-masing. Mereka pun akhirnya bersiap untuk keluar rumah. Royati mendampingi Wirya dan Asti. Sementara Inara di belakang bersama Bayu.   Saat Wirya dan Asti sudah masuk ke dalam mobil dan nampak berbicara serius dengan Royati. Bayu mendekat ke arah Inara dan menunduk sedikit untuk mendekati telinga Inara.   "Kenapa tadi nggak mau lihat aku?" Tanya Bayu. Inara tersentak mendengar suara Bayu yang begitu dekat. Ia langsung menjaga jarak satu langkah. "Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulut Inara. Bayu berdecih pelan. Lalu melangkah menuju mobil dan masuk ke dalamnya.   Royati pun melambaikan tangannya dan Wirya langsung menjalankan mobilnya perlahan hingga keluar dari halaman rumah Royati.   Inara langsung melangkah masuk ke dalam rumah. Royati melihat punggung anaknya yang nampak murung. Royati hanya bisa berdoa agar semuanya berjalan baik.   Bismillahirrahmanirrahim  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD