Satu

2153 Words
Minggu pagi yang cerah, banyak para muda-mudi yang sedang melakukan aktifitas lari pagi di jalanan taman kota. Di pinggir jalan yang sepi, seorang cowok yang menggunakan celana training dan kaos singlet warna biru tengah berlari pagi. Telinganya tertutup headphone warna merah favoritnya. Hampir setiap saat barang itu selalu melekat di leher dan telinganya. Dia adalah Kaisar paxon, murid most wanted kelas 12 SMA Bina Bangsa. “Kai, minggir!! Minggir Kai!!!” Teriakkan seorang cewek yang naik sepeda dari belakang Kai. Tentu Kai tidak akan mendengarkan teriakan itu karna telinganya tertutup headphone. Bbrraaakkk “Aaawww!!!” “Aduuuhhh.....” Seseorang masuk kedalam selokan. Dan si cewek jatuh tersungkur, rantai sepeda patah, dan pedalnya juga patah. “Yaahh kaki gue berdarah.” Keluh si cewek, lalu mengelus kakinya yang lecet mengeluarkan darah. Sikunya juga berdarah. “Kai tanggung jawab lo ya!!” teriaknya pada Kai. Kai yang jatuh masuk selokan baru aja beranjak. Headphonenya masih normal dan selamat. Tapi telapak tangannya berdarah dan celananya kotor kena becek di selokan. “Kenapa gue yang tanggung jawab? Elo yang nabrak!!” teriaknya tak kalah kenceng. “Gue udah bilang. Rem gue bloong!! Elo yang salah, jalan pakai nutup kuping.” Si cewek ini nggak mau kalah. Mendekati sepedanya dan mulai memeriksa sepeda yang udah pasti rusak. Kai keluar dari selokan, menghentak-hentakkan kakinya karna banyak kotoran yang menempel. “Liat nih, pedal gue sampai patah, rantainya juga patah. Ganti rugi lo!!” “Elo yang harus tanggung jawab. Liat nih, tangan gue berdarah, celana sama baju juga kotor. Apalagi sepatu, udah nggak keliatan warna aslinya.” Kai ngomel mirip ibu kost. “Yang salah elo bego!! Coba elo jalan nggak nutup kuping, pasti elo dengar teriakan gue. Elo bisa ngehindar. Disini gue nggak salah, karna ini jalanan buat pengendara sepeda. Elo pejalan kaki harusnya jalan di sini. Bukan disini!!” Cewek itu menuding-nuding jalanan. “Aasshh, serah! Gue males debat.” Kai lanjut jalan tak lagi memasang headphonenya. Barang itu hanya ia kalungkan dileher. Si cewek yang bernama Layyana ini ikut ngekor dibelakang Kai. Menuntun sepeda dengan kaki yang pincang. Cewek berkulit putih, dengan rambut ikal dan mata sipit. Dia dan Kai tetangga kontrakan. Yana kerja disebuah hotel yang dekat dengan sekolah Kai. “Kai, lo harus benerin sepeda gue ya. Awas aja kalo nggak!! Ntar malam gue jamin lo nggak bisa ngebo dengan nyaman!!” ancamnya dengan terus berjalan mengekor. Huufft ... empat bulan tetanggaan sama Yana, itu mampu bikin Kai ngerasa nggak sepi. Tiap hari ada aja masalah yang ia buat. Tentu bikin Kai jadi repot. Tibalah mereka berdua didepan kontrakan, Kai membuka gerbang dan menutupnya kembali. “Astaga, sentimen banget sih lo!! Gue belum masuk!!” omel Yana saat Kai tetap ngeloyor menuju ke kamarnya. Yana membuka gerbang sendiri, masuk dan menyandarkan sepedanya di dinding pintu kamar. Ia masuk, ngambil kotak p3k dan mulai ngobati luka di kaki dan tangan. Saat sibuk ngoles alkohol di kaki, ponselnya berdering keras, membuat menghentikan aktifitasnya. Yana ngambil ponsel yang ada diatas nakas. Tertera sebuah panggilan telfon dari papa. “Hallo pa,” sapanya. “nanti sore kamu siap-siap ya. Kak Jo akan jemput kamu.” Ucap papa disebrang sana. “Lho, kenapa pa? Senin Yana nggak libur.” “Pulang aja dulu Na. Papa perlu ngomong sama kamu.” “Iya pa.” Telfon berakhir, kembali ia sibuk menempelkan plester di sikunya, tapi kesulitan. Hingga dua pasang tangan merebut plester itu dan membantu menempelkannya. “Makasih ya.” Ucapnya pada Kai yang sudah duduk disebelahnya. “Gantian nih tangan gue di obatin.” Kai mengarahkan tangannya ke Yana. “Kirain ikhlas, ternyata minta tolong balik.” Gerutu Yana. “Astaga mbak, dimintain tolong obatin doang, udah ngedumel aja lo.” Yana ngeraih tangan Kai dan mulai ngoles alkohol. Terdengar berisik suara pesawat terbang, karna kontrakan mereka memang dekat dengan bandara. “Duh, tiap jam selalu aja berisik denger suara pesawat. Bikin pengen beli.” Ucap Yana sambil fokus ngasih obat merah. “Basok kalo gue udah lulus sekolah, kuliah, terus kerja, gue beliin jet pribadi yak. Tunggu gue.” Sahut Kai. Yana nonyor kepala Kai. “Iiisshhh sekolah lo sering bolos kan, mana bisa beli jet.” “Eh, gue juara satu tiap tahunnya cuy!!” Kai tak terima. “Masa’ sih? Nggak percaya gue.” “Serah lo deh.” Kai menyandarkan kepalanya di pundak Yana. “Kai, gue lapar deh. Belum sarapan.” “Beli bubur ayam buk Sam aja sana, sekalian gue dibeliin.” Ucap Kai tanpa beralih dari bahu Yana. “Sepeda gue rusak bego!!” balas Yana nge gas. “Yaudah, sini duitnya. Gue beliin.” Kai menengadahkan tangannya minta duit. Yana masuk kekamar mengambil dompet dan mengeluarkan uang sepuluh ribuan. “Nih, pakai kerupuk, jangan lupa.” Kai tersenyum simpul, ngeloyor pergi ke kamarnya mengambil motor dan pergi. Tertawa sendiri saat di jalan. Tentu tiap beli bubur selalu ada kerupuknya. Tapi pasti Kai makan sebelum sampai ke tangan Yana. “Dua porsi ya buk.” Ucap Kai saat baru saja sampai di warung buk Sam. “Siyap mas. Kok mbak Yana nggak ikut beli, sekalian makan disini.” Tanya Buk Sam yang udah hafal. Pasti Kai selalu beli buat Yana juga. “Baru mandi Yana nya.” Jawabnya ngasal. Padahal nggak tau Yana lagi ngapain. “Oh gitu. Setelah lulus sekolah mas Kai masih ngontrak di tempat Pak Lurah nggak?” “Masih buk. Mau kuliah deket sini aja.” “Enggak mau jauh sama mbak Yana ya pasti?” goda buk Sam. “Hhaha....itu salah satunya.” Kai ketawa kecil. “Ini mas buburnya.” Buk Sam menyodorkan dua bungkus bubur dalam sterofoam. “Ini duitnya.” “Lha mas Kai masih ada tinggalan duit 60 ribu di saya.” Buk sam menolaknya. “Oh, saya lupa buk.” “Iisshh banyak duit jadi pikun gitu.” “Ya udah. Maksih ya.” Kai kembali menstater motornya meninggalkan warung itu. Nggak butuh waktu lama, cukup dua menit motor maticnya udah berhenti di depan kamar Yana. Diam melihat Yana yang sibuk mengeringkan rambut. Udah habis mandi. Kai diam sesaat diatas motor. Melihat Yana dengan tatapan yang entahlah. “Buruan buburnya, gue lapar!!” teriak Yana dari dalam kamar. Kai masuk ke kamar Yana dan mulai menyalakan tv. Membuka bungkusan sterofoam dan mulai makan. Yana juga gitu, mereka makan bareng sambil nonton tv. Kai ngambil krupuk milik Yana dan langsung memakannya. Dengan sigap Yana merebut sisa krupuk dan nonyor kepala Kai. "Setan ya lo!!" umpatnya dan makan membelakangi Kai. Selesai makan, Kai memboyong PS nya je kamar Yana. Mereka berdua main PS sampai menjelang siang. ~~ Pukul 04.00 pm Motor scoopy milik Jo kakak kandung Yana yang bernama lengkap Jonathan udah terparkir manis didepan kontrakan. “Udah siap?” tanyanya saat melihat Yana keluar dari kamar sudah rapi. “Udah.” Dia samperin kakaknya dan menerima helm yang diulurkan. Segera dia bonceng di jok belakang dan motor melesat meninggalkan kontrakan. Di dalam perjalanan dia sempatkan mengirim pesan singkat ke Kai. [Gue mudik. Benerin sepeda gue ya. Gue taruh depan kamar.] Send Kai. Centang dua, lalu dia kembali masukkan ponselnya kedalam tas. Siekitar 2 jam dalam perjalanan, sampailah didepan rumah yang minimalis. Nggak terlalu kecil sih, tapi juga nggak besar. Jo dan Yana masuk rumah tanpa mengetuk terlebih dulu, karna ini rumah mereka sendiri. Yana menjabat tangan papa dan memeluknya sebentar. “Istirahat sana. Papa udah siapin kamar kamu. Tadi papa juga udah masak balado ikan kesukaan kamu.” Ucap papa sambil mengelus puncak kepala Yana. “Iya pa.” Yana tersenyum dan berlalu ke kamarnya. ~~ Pukul 07.00 pm Papa masuk ke kamar Yana bersama kak Jo. Mereka mau ngomong serius. “Papa mohon ya Na. Terima lamarannya pak Hendra ini.” Pinta papa. Permintaan papa ternyata ingin menjodohkan Yana dengan Radja, anak pak Hendra yang sudah duda. Dia cacat, kakinya lumpuh sebelah karna kecelakaan yang menimpanya 6 bulan lalu. Radja mengalami kecelakaan setelah sebulan menikah. Mobil yang dia tumpangi bersama istrinya oleng dan masuk ke sungai. Dia bisa tertolong, tapi istrinya hanyut terbawa arus dan ditemukan dalam keadaan yang sudah membusuk. “Elo tau kan Na, mama butuh uang banyak untuk operasi jantungnya. Kita Cuma punya pilihan ini, karna waktu mama nggak nyampai seminggu atau bahkan sebulan.” Timpal Jo. Yana terdiam dengan pikirannya. Sedih sudah pasti. Dia dijual oleh keluarganya sebagai penebus kesembuhan mamanya. Pak Hendra membeli Yana bukan sebagai istri. Lebih tepatnya sebagai wanita yang akan mengurus Radja hingga dia sembuh. “Tapi pa, Yana punya kehidupan sendiri. Menikah itu sekali seumur hidup. Kenapa kalian harus mengorbankan masa depanku?” menangis, air mata Yana tak bisa ditahan lagi. “Na, jika pilihan lain itu ada, Papa nggak akan memilih ini.” Tegas Papa. “Bersiaplah, kita temui pak Hendra didepan.” Kata papa, dia berdiri dan berjalan keluar dari kamar Yana. “Elo sayang sama mama kan? Kakak juga sayang sama Mama. Jika kakak diposisi elo, kakak akan bersedia menerimanya. Karna ini bentuk pengabdian kita sebagai anak. Pengorbanan seorang ibu itu nggak akan bisa kita balas dengan apapun Na.” Abis ngomong gitu Jo keluar dari kamar Yana. “Kita tunggu elo didepan.” Yana menatap dirinya dicermin sesaat. Sekilas bayangan wajah Kai ada dibenaknya. Temannya berbagi selama 4 bulan ini, teman berantem tapi dia nyaman dengan Kai. Dia tak akan bisa lagi merangkai semua impian dan cita-citanya. Demi mama. Yah, ini demi mama. Wanita yang sudah membuatku ada didunia ini. Dia memantapkan hatinya. Mulai melangkahkan kaki keluar kamar menemui Pak Hendra. Yana berjalan dengan pelan memasuki ruang tamu. Bisa dia lihat dua orang lelaki asing yang duduk berhadapan dengan Papa dan Jo. Pasti dia yang namanya pak Hendra dan Radja, calon suaminya. “Sini Na,” papa melambaikan tangan. Kode agar dia ikut gabung dalam obrolan mereka. Yana nurut, dia duduk tepat disamping kanan Papa. “Jadi ini yang namanya Layyana?” Tanya pak Hendra yang rambutnya sudah beruban, kumisnya tebal dan perutnya agak sedikit buncit. “Iya pak, ini Yana adik saya.” Jawab Jo. Jadi pak Hendra ini atasannya Jo di kantor. Beberapa minggu yang lalu, Jo mengajukan pinjaman di koperasi kantor dengan jumlah yang besar. Pak Hendra tanpa sengaja mendengar itu. Dia berinisiatif menukar uang dengan gadis yang bisa menjadi istri anaknya. Lebih tepatnya jadi boysister anaknya yang cacat. “Dia cantik dan masih muda. Umur berapa Yana?” tanya pak Hendra sambil menatap Yana. “23 tahun.” Jawab Yana singkat dan tanpa expresi apapun. Membuat papa menepuk pelan paha Yana. Tapi Yana nggak peduliin itu. “Waahh masih sangat muda. Radja sekarang 29 tahun. Umur kalian memang beda, tapi perbedaan umur lebih tua lelaki itu lebih baik.” Pak Hendra menatap Radja. “Dja, ayo kenalan sama calon istrimu.” Lelaki berkulit tan dengan rambut yang hampir menutupi mata cekungnya bahkan alis tebal itu sampai tak terlihat. Bibir bawahnya terlihat agak tebal dan sexi. Tampan. Itu kesan pertama Yana saat melihatnya, tapi dia sangat dingin. Radja menatap Yana, meneliti setiap lekuk wajahnya. “Aku Radja paxon, yang akan memperistri kamu.” Ucapnya tanpa expresi. Yana hanya tersenyum simpul menatapnya. Lalu menunduk. “Sebulan lagi papi ada urusan bisnis di Jerman. Papi ingin kalian resmi menjadi sepasang suami istri sebelum Papi pergi.” Tutur pak Hendra sambil menatap Radja dan Yana bergantian. Mata Yana langsung membulat sempurna. Ini pertemuan pertamanya, dan langsung ngomongin pernikahan. Aah ini diluar dugaan. Aku belum siap Tuhan. Jerit Yana dalam hati. “kita ngikut bapak saja.” Sahut papanya Yana dengan santai. Bahkan ada senyum mengembang di bibirnya. “Gimana kalau nikahnya nunggu pak Hendra pulang dari Jerman saja?” usul Yana, entah dia dapat keberanian dari mana hingga bisa mengucapkan usulan itu. “Na,” seru Jo dengan lirih, tapi tetap mampu didengar. “Nggak papa kalau maunya Yana begitu Jo. Saya juga Cuma sebulan di Jerman.” Sahut pak Hendra yang mengetahui Jo dan Papanya tak menyetujui usulan Yana. Yana merasa bisa bernafas tenang. Ya memang pada akhirnya dia akan tetap menikah, tapi setidaknya masih ada banyak waktu untuk bernafas bebas. “Itu artinya operasi mamamu juga bisa di undur setelah papi pulang dari Jerman kan?” perkataan Radja yang mampu membuat seluruh tubuh Yana membeku. Papa dan Jo melotot kaget dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Radja. Sesaat Radja menyunggingkan bibirnya. Tentu yang punya duit lebih berkuasa kan? Yana meremas ujung kaos kuat, rasa ingin memaki itu jelas terlihat di raut wajahnya. Bahkan rahangnya mengeras hingga mulai terlihat garis ototnya. “Semua pilihan ada pada kalian.” Lanjut Pak Hendra yang ternyata sudah kong kalikong dengan anaknya. “Jangan pak, saya mohon maaf atas kelancangan Yana. Kami pastikan sebelum pak Hendra pergi ke Jerman, Yana sudah resmi menjadi istri Radja.” Papa memohon dengan menelakupkan kedua tangan. Yana memejamkan matanya, menarik nafas panjangnya dan menghembuskan perlahan. Dia sangat berharap emosinya tak meledak saat ini. “Baiklah, mungkin seminggu lagi kami akan kesini menjemput Yana ke KUA, setelah itu langsung pindah ke rumah Radja.” Kata lanjutan dari pak Hendra. “Baik pak. Kami akan menyiapkan semuanya.” Jawab Jo. “ok, saya rasa semua sudah fix. Yana sudah setuju, pak Darma juga sudah setuju, Jo juga begitu. Kami permisi ya.” Pak Hendra berdiri, menyalami tiga orang pemilik rumah. Lalu beranjak mendorong kursi roda Radja dan keluar rumah. Segera Yana berlari masuk ke kamar dan menguncinya. Dia menangis sambil memeluk bantal erat-erat. Ya Tuhan, bahkan mereka lebih menyeramkan dari beberapa rentenir. Aku nggak bisa bayangin, seperti apa hari-hariku saat bersama mereka. Batinnya tak bisa berhenti berfikir. Begitu banyak bayangan penderitaan berkelebatan di benaknya. Baru sekali bertemu mereka, rasa takut sudah menyelimuti hatinya. Dia merasa kehidupan keluarganya bisa dengan mudah dihancurkan. Ddrrtt...ddrrttt Ditengah tangisannya, ponsel Yana bergetar. Sebuah panggilan telfon dari Kaisar. Dia menstabilkan nafasnya. Segera mengelap ingus dan air mata. Saat merasa agak tenang, baru dia angkat telfon itu. “Hallo Kai.” Sapanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD