“Kenapa, Mas?” tanya wanita yang tadi menyapa Mas Yanto begitu kami duduk di ruang tunggu setelah Adam memberi solusi membawa Pak kades ke puskesmas.
Tim perwkilan Balai Desa itu sedang sibuk menghubungi Pak Kades agar turun tangan langsung menghadapi kepala Puskesmas yang menolak kami.
“Gak pa-pa, Mbak,” jawab Mas Yanto ramah, emosinya terdengar mereda begitu saja setelah sempat berdebat di ruangan kepala puskemas.
“Gak pa-pa, gak pa-pa wong diejek kayak gitu bilang gak pa-pa,” gumamku dalam hati dengan dongkol. Aku masih belum terima dengan perlakuan si wanita yang katanya kepala puskesmas, tetapi tidak ada etika sebagai pimpinan sama sekali.
“Pantesan Puskesmas sepi, lha wong dokternya saja kayak gitu. Gak ada ramah-ramahnya sama sekali. Galak. Gak ada senyumnya sedikit saja. Meskipun, tahu suamiku dukun tidak perlulah mencemooh kayak gitu. Apa bedanya dukun dengan profesi lain? Apa karena dukun lalu gak boleh datang ke puskesmas?” omelku dalam hati.
“Kalo terus-terusan bedain pasein gini, bentar lagi puskesmas di sini bakalan di bongkar. Gak laku dan pasiennya kabur. Kalo sudah gitu, aku suruh Mas Yanto beli aja, biar dibangun untuk prakteknya,” ucapku sembil tersenyum membayangkan seluruh penghuni puskesmas dipindahkan dari desa ini.
Seorang pria yang kulihat keluar dari sebuah ruangan, tiba-tiba duduk di samping wanita yang menyapa Mas Yanto.
“Mas Yanto, ini suamiku,” kata wanita itu memperkenalkan prianya pada lelakiku.
Suamiku mengangguk membalas sapaan pria yang katanya suami si Mbaknya.
Aku melirik sembunyi-sembunyi interaksi keduanya tanpa berkedip, meskipun rasa cemburu mulai berangsur mereda seiring keluarnya pria yang katanya berstatus suami wanita itu.
Keduanya terlihat melakukan percakapan ringan sebentar, si suami seolah tidak mempedulikan istrinya terlihat ramah pada Mas Yanto.
“Ini Mas Yanto yang dukun itu?” seru pria si suami wanita itu dengan antusias tak jauh beda dengan ekspresi istrinya.
“Iya, yang mana lagi coba? nama Yanto mana yang kukenal selain mas dukun tampan ini,” jawab si istri.
Mas Yanto refleks menoleh ke arah pria itu sambil tersenyum, merasa ada yang menyebut namanya. Begitupun Adam dan Sherly, mereka menampakkan senyum kecil menyaksikan adegan sok kenal penggemar Mas Yanto. Meskipun, ini bukan yang pertama bagi mereka. Namun, selalu saja mereka tertawa melihat suamiku memiliki banyak netizen.
Berbeda denganku yang paling sering sewot melihat para warga yang sok kenal dan sok dekat dengan Mas Yanto. Terutama jika yang memanggil cewek. Aku pasti akan diam seribu Bahasa beberapa saat meredakan cemburu.
Ternyata kali ini berbeda. Sepasang suami istri. Duh, tengsin aku sudah negative thinking sama si Mbaknya tadi. Untung aku tidak memperlihatkan dengan terang-terangan.
“Wah, kebetulan kalau begitu,” kudengar pria itu semakin bahagia, sneyumnya mengembang semakin lebar.
“Mas, saya ingin konsultasi,” ucap si suami dengan berbisik, tetapi aku masih bisa mendengar karena suaranya yang sedikit keras. Ia pun seolah tahu diri dimana keberadaan mereka saat ini.
“Boleh, tapi tidak di sini,” jawab Mas Yanto.
“Iya Mas, kita ke rumah Mas Yanto saja. Tadi Bu Rieka sudah marah besar melihat kedatangan Mas Yanto dan rombongannya ini,” jelas si istri yang sepertinya sejak tadi memperhatikan kami.
“Oh iya, di sini memang begitu, Mas. Semua dokter, perawat dan petugas lainnya gak ada yang ramah. Jutek-jutek,” ucap suami si Mbak.
Aku yang ikut menguping tertawa kecil, merespon si suami Mbaknya. Namun, tentu saja tidak aku perlihatkan terang-terangan. Apalagi mendengar logat si pria saat menyebut kata jutek, terdengar sangat aneh dan medok.
“Eh, tapi mereka ini siapa, Mas?” tanya si wanita menatap ke arah kami satu per satu.
“Eh, bukannya kamu anaknya Pak Farid?” ucap si wanita menunjuk Sherly, tanpa memberi kesempatan pada Mas Yanto menjawab terlebih dahulu.
Si wanita itu tampak terlalu bersemanhat sehingga mengatakan tanpa berpikir dua kali. Asal bunyi saja. Kini fokusnya pun beralih pada Sherly.
“Iya, Bu,” sahut Sherly singkat sambil tersenyum membalas si wanita tadi.
“Kamu kerja di tempatnya Mas Yanto? Kok, bisa bareng?” kepo si wanita menanyai Sherly.
“Bukan, Bu. Kami hanya satu tim,” jawab Sherly singkat.
“Tim? Maksudnya?” tanya si wanita itu masih dengan mode kepo. Namun, belum sempat Sherly menjawab dari pintu tampak Pak Kades masuk menuju ke arah kami.
“Loh, kok ada Pak kades?” Heran si wanita.
“Siang, pak,” sapa pasangan suami istri itu melihat Pak Kades.
“Siang, Bapak dan Ibu Ali,” balas Pak Kades ramah yang mengenal pasangan suami istri itu.
Pak Kadesnya saja bisa seramah ini, lalu mengapa petugas puskesmasnya nyebelin? Padahal siapa mereka?
“Gimana? Ada apa?” tanya pak Kades bertubi-tubi duduk di bangku kosong samping Adam.
“Mereka sepertinya menolak kedatangan saya,” jawab Mas Yanto seperti merasa bahwa karenanya tim kami ditolak.
Pak Kades tampak sedang menghela napas panjang mendengar keluhan suamiku.
“Ya, sudah tunggu dulu. Saya yang masuk saja.” Pak Kades menepuk bahu Mas yantu dan Adam bersamaan sebelum ke ruangan Kepala Puskesmas.
“Petugasnya gak kerena ya, Mbak. Makanya di sini gak ada pasiennya,” seru Sherly berbisik padaku.
Oh may God, ternyata bukan hanya aku yang berpikiran seperti itu. Sherly yang tampak kalem saja bisa menilai apalagi aku yang bar bar.
“Iya. Bikin kesal saja,” jawabku memberi kompor.
Walaupun, bukan masksud hati memanas-manasi. Namun, itulah kenyataannya.
Hampir tiga puluh menit kami duduk menunggu Pak kades keluar dari ruangan kepala Puskesmas. Entah apa yang mereka bicarakan. Mana berani aku menguping, walaupun di rumah itu adalah hobiku setiap ada paien Mas yanto datang.
Pasangan suami istri tadi bahkan sudah pamitan sejak dua puluh menit yang lalu setelah menerima obat dari apotik.
Tinggallah kami berempat duduk dengan wajah cemas dan gelisah. Menanti hasil perkembangan dari pembicaraan dua pembesar desa.
Meskipun, nama si kepala puskesmas sudah tidak ada kedudukannya di hatiku. Respek terhadap wanita itu sudah hilang sejak ia memaki timku. Kalau hanya aku atau Mas Yanto yang tersinggung, it’s okeylah. Aku tidak mempermasalhkan karena hanya sebatas masing-masing pribadi.
Sedangkan ini, menyangkut urusan desa. Kami adalah tim yang diamanahi Pak Kades membangun kemajuan desa, tetapi malah di usir tanpa alasan yang jelas.
Bahkan menanyakan tujuan pasti kami saja tidak. Si Kepala Puskesmas seolah-olah sudah mengibarkan bendera permusuhan kepada suamiku.
Aku malah merasa. Ia memiliki dendam pribadi pada Mas Yanto. Apa karena nama Mas Yanto sebagai dukun ter-most wanted sehingga mengancam keberadaan puskesmas yang tidak ada pasiennya.
Entahlah, ini hanya spekulasi opiniku sendiri sebab kebenarannya hanya milik si kepala Puskesmas dan Tuhan Yang Maha Esa.
Sepuluh menit kemudian kulihat Pak Kades keluar dari ruangan Kelapa Puskesmas memanggil kemi berempt untuk masuk.
Meskipun ragu, kami beranjak juga dari bangku panjang tersebut menuju ruangan yang tadi. Ruangan kepala puskesmas.
Pertama melangkahkan kaki, kulihat wajah jutek tadi tersenyum ramah pada kami, berbeda dengan pertama tadi.
“Silahkan,” kata wanita berjas putih itu mempersilahkan kami masuk.
Dengan enggan kami duduk, tanpa membalas senyum ramah si dokter kepala puskesmas jutek itu.
***
bersambung