“Mbak Mega, ngapain?” Adam tiba-tiba sudah duduk di sebelahku yang sedang asyik berbincang dengan seorang ibu.
Mas Yanto sedang di ruangan Kepala Desa, menyelesaikan beberapa berkas ditemani Adam, sehingga aku pun berinisiatif menunggu di ruang tunggu. Di sana aku bertemu seorang ibu dan anaknya yang juga menunggu sepertiku, tetapi ia menunggu adiknya menyelesaikan berkas pindah alamat.
Mendengar suara Adam auto aku menoleh dan celinguk mencari keberadaan Mas Yanto. Namun, aku hanya melihat Adam sendirian.
"Mas Yanto masih di dalam," kata Adam seolah tahu apa yang aku pikirkan.
Aku ber O-O membalas ucapan Adam.
"Mbak Mega ngapain?" ulang Adam.
“Ini loh Mas, Mbak Mega lagi ngasih masukan ke saya soal Nanda,” ucap ibu yang kuajak bicara.
Pandangan Adam seketika berpindah ke Ibu yang kutahu bernama Siti – wanita dan anaknya yang kuajak berbincang.
“Anaknya kenapa?” tanya Adam.
“Kata Mbak Mega anak saya terdeteksi slow learner,” jawab Ibu Siti.
Adam menoleh ke arahku dengan wajah dipenuhi banyak kekepoan. Aku hanya mengangguk, mengiyakan aura yang ia siratkan tanpa ucapan.
“Mbak Mega, psikolog?” tebak Adam seketika.
“Ssttt …,” bisikku sambil menutup bibir mengunakan jari telunjuk, memberi kode agar Adam tidak terlalu keras berbicara.
“Kenapa,Mbak?” tanya Adam masih dengan keheranannya.
“Kamu tahulah,” ucapku sambil menunduk.
“Mbak,” panggilnya seolah tidak mau tahu posisi dan kesulitanku atau mungkin ia belum tahu profesi Mas Yanto di desa. Merasa bagai langit dan bumi saja, jika mengingat kehidupanku saat ini. Sungguh aku sangat inscure dengan pendidikan dan profesiku sebelumnya, mengingat profesi suamiku di sini.
Aku dengan ijazah mumpuni bahkan sangat mungkin memperoleh pekerjaan layak, tetapi harus ikhlas menjadi ibu rumah tangga demi suami yang seorang dukun.
“Mbak, kenapa? Apa ada yang salah?” tanya Adam yang sepertinya masih penasaran.
“Kamu gak salah, kok,” jawabku.
“Bukan itu, Mbak,” lanjutnya.
“Lalu?” kali ini aku mendongak menatap Adam yang masih terus mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan keponya.
“Dam, apa kamu ndak tahu pekerjaan Mas Yanto?” tanyaku.
“Dukun,” tebak Adam yang membuatku tercengang seketika.
“Siapa sih yang gak kenal Mas Yanto di sini. Ketenaran Mas Yanto melebihi artis papan atas,” ucap Adam dengan senyum penuh makna.
“Oh, jadi Mbak ini istrinya Mas Yanto,” sahut Bu Siti menatapku bingung.
“Eh iya, Bu,” jawabku canggung.
“Wah, kalo begitu saya mau anak saya di …, di- apa ya, tadi Mbak?” sahut Bu Siti membuatku terkejut.
“Diterapi,” jawabku.
“Nah, iya itu. Saya ikhlas keluar banyak duit kalo Mbak Mega dan Mas Yanto yang ngobati,” ucap Bu Siti dengan bahagia seolah mendapat rezeki nomplok.
Aku dan Adam saling berpandangan tidak mengerti dengan jalan pikiran Bu Siti.
“Mbak, ikut saya!” ajak Adam ke dalam ruangannya.
“Bu, nanti kita bicarakan lagi terapi Nanda,” ucapku sambil pamit ke Bu Siti mengekori langkah Adam.
***
“Kenapa, Dam?” tanyaku penasaran setelah duduk berhadapan di ruangan Adam yang berukuran 10 x 6 meter. Bukan hanya Adam, di sana ada beberapa pegawai lain. Namun, mereka menangani bagian yang berbeda dengan Adam.
“Mbak, beneran Mbak Mega psikolog?” tanya Adam yang ternyata masih belum puas dengan jawabanku tadi di ruang tunggu.
“Nih,” ucapku sambil menyodorkan file ijazahku yang tersimpan di ponsel, lengkap dengan sertifikat profesi.
“Wah, keren ini, Mbak,” kata Adam terdengar seperti memujiku.
Aku hanya menghela napas pendek mendengarnya. Terasa aneh saja, ada yang memujiku setelah setahun berada di Kota ini.
“Mbak, Mbak Mega gabung ke programku, yuk!” ajak Adam tiba-tiba.
“Program kamu yang mana?” tanyaku.
“Program sehat ibu dan anak,” ucap Adam.
“Salah satunya tentang terapi anak berkebutuhan khusus yang belum aku temukan terapisnya dan tenaga profesionalnya,” sambung Adam.
Aku menelaah perlahan permintaan pemuda tampan tersebut. Ada desakan hati dan kemanusiaan hadir menggelitik jiwaku.
“Karena itu, saya butuh bantuan Mbak Mega sebagai tenaga professional, untuk terapis saya yakin Mbak Mega bisa mencari dari penduduk lokal.” Adam berusaha meyakinkanku.
Aku masih ragu untuk menjawab permintaan Adam. Bukan karena tidak ingin. Aku sangat ingin, karena bagiku ini adalah peluang bagus agar tidak lagi hanya berdiam diri sebagai ibu rumah tangga, yang sering melamun dan rebahan begitu pekerjaan rumah selesai kukerjakan.
Namun, ada orang lain yang harus kuminta pendapat dan kerelaannya melepasku beraktifitas di luar rumah. Setelah setahun tidak berkarier. Siapa? Tentu saja, suamiku, Mas Yanto. Lelaki yang mendampingi dan mendukungku tiga tahun ini dalam suka dan duka.
“Gak harus jawab sekarang kok, Mbak,” seru Adam menyadarkanku dari lamunan.
“Aku juga ngerti Mbak Mega harus diskusi dengan Mas Yanto juga,” sambungnya dengan penuh pengertian.
“Makasih, Dam. Benar aku harus diskusi dengan Mas Yanto. Nanti kalo sudah, aku segera mengabari,” jawabku.
“Tapi jangan lama-lama ya, Mbak. Karena dead line-ku juga mepet dan harus segera aku laporkan perkembangannya,” ucap Adam dengan tertawa lebar seolah-olah menggodaku.
“Aku usahain ….”
“Ga, Mega ….” Belum sempat aku melanjutkan kalimat, terdengar suara Mas Yanto memanggil namaku.
“Sepertinya Mas Yanto sudah selesai. Aku pamit dulu ya, Dam.” Aku segera berdiri dan menghambur keluar menemui Mas Yanto yang kupastikan panik mencariku tanpa menunggu balasan Adam.
“Mas,” pangggilku begitu keluar dari ruangan Adam.
“Dari mana aja?” tanya Mas Yanto menggandeng tanganku.
“Dari ruangan Adam. Ada perlu,” jawabku mneunjuk ke ruangan dimana ia menemukanku.
“Mbak Mega, Mas Yanto,” sapa Bu Siti melihat kami melintas di ruang tunggu.
“Loh, Bu Siti masih di sini?” tanyaku heran.
“Iya, Mbak nunggu surat ke Kecamatan,” jawab Bu Siti.
“Kalo begitu, kami duluan ya, Bu,” pamitku.
“Iya Mbak. Eh, tapi saya boleh, kan, main ke rumahnya Mbak Mega dan Mas Yanto?” tanya Bu Siti menatapi kami bergantian.
Mas Yanto yang belum tahu cerita antara aku, Bu Siti dan Adam menatapku seolah-olah meminta penjelasan.
“Boleh, Bu. Silahkan kapan saja kami terima,” jawabku menarik tangan tangan Mas Yanto, memberinya kode untuk menyetujui jawabanku.
“Iya-iya Bu, silahkan,” ucap Mas Yanto meyakinkan Bu Siti.
***
“Apa yang terjadi? Dan bagaimana kamu mengenal Bu Siti?” cecar Mas Yanto saat kami dalam perjalanan menuju kantor kecamatan.
“Waktu nungguin Mas Yanto tadi,” jawabku jujur.
“Terus bagaimana kamu bisa di ruangan Adam?” tanya Mas Yanto lagi dengan nada sedikit ketus.
“Tuh kan, mulai lagi jealous-nya,” batinku kesal. Namun, aku tidak menyalahkan Mas Yanto yang cemburu pada pria muda yang tinggal di depan rumah kami tersebut.
Secara Adam lebih muda, lebih berduit dan terlihat langsung akrab padaku. Sedangkan, Mas Yanto. Dia butuh waktu enam bulan untuk mendekatiku. Bahkan waktu selama itu, tidak bisa langsung membuatku akrab dan nyaman bersamanya.
Aku merasa nyaman bersama Mas Yanto setelah setahun saling dekat dan memahami sifatnya.
“Adam nawarin aku gabung ke program tumbuh kembang anak, khususnya anak berkebutuhan khusus di wilayah kita,” jawabku.
“Terus kamu jawab apa?” interogasi Mas Yanto.
“Belum aku jawab. Kan, belum aku diskusi sama kamu,” jawabku.
Kudengar helaan napas lega dari lelaki di depanku.
“Jealous-nya udah tingkat kecamatan, aja!” bisikku menggodanya.
***
Bersambung