Tamu Dari Jauh

1130 Words
Matahari masih menampakkan wajah malu-malunya. Udara dingin masih terasa sampai ke dalam tulang-tulang. Namun, demi tugas sebagai istri yang membahagiakan suami. Ciee, demi jadi istri solehah, gitu loh. Aku sudah berkutat di dapur. Saat sedang memasak, aku melihat sebuah mobil Avanza berplat L, memasuki area halamanku. Kebetulan dapurku terletak di samping sehingga bisa melihat apa pun dan siapa pun yang datang. Saat pertama mengunjungi rumah Mas Yanto yang waktu itu masih berstatus calon suami, aku merasa aneh dengan tatanan rumah pedesaan yang tergolong terpencil ini. Namun, seiring waktu aku mulai terbiasa dan merasakan keuntungan sendiri dengan tatanan rumah orang tua Mas Yanto. Aku kembali melongok ke halaman, merasa kepo dengan pemilik Avanza tersebut. Seorang wanita cantik keluar dari sisi kemudi. “Wulaaan!” pekikku kencang begitu menyadari wanita cantik tersebut adalah Wulan salah satu sahabatku dari Surabaya. Menyusul di belakang Wulan ada Jehan dan Putri. Aku bergegas mematikan kompor gas yang aku gunakan memasak. Ya, meskipun berada di wilayah terpencil cara memasak warga sudah beralih ke gas elpiji. Untuk yang ini aku bersyukur karena tidak harus berkutat dengan pawon, nama kompor yang memakai bahan bakar kayu. “Mega!” seru Wulan menghambur ke pelukanku yang sudah menyambutnya dari arah dapur. “Mega Naraya,” panggil Jehan, membuatku dan Wulan segera melonggarkan pelukannya. Tanpa aba-aba Jehan dan Putri menyusul memelukku, ada rasa haru melihat kedatangan mereka bertiga ke rumahku yang berada di desa. “Davina titip salam, ia tidak bisa ikut karena barusan melahirkan,” ucap Putri menyampaikan pesan Davina yang memang kutahu baru saja memiliki bayi berusia dua bulan. “Waalaikumsalam,” balasku. “Masuk, yuk!” ajakku kepada mereka bertiga. Aku membawa mereka masuk dan mempersilahkan duduk di ruang tamu. “Sebentar,” pamitku masuk sebentar ke dalam. Aku segera menyiapkan minuman dan beberapa makanan kecil yang sengaja selalu aku sediakan untuk tamu. Mengingat tamu Mas Yanto bisa datang kapan pun. “Minum dulu!” aku menata gelas-gelas khas desa di hadapan ketiga sahabatku. “Rajin banget sih?” tanya Wulan menatapku keheranan. “Apanya?” ucapku menanyakan balik pertanyaan Wulan. “Udah masak aja. Padahal di Surabaya mana pernah masak?” ucap Wulan seolah-olah mengingatkan pada kehidupanku sewaktu di Surabaya. Aku tersenyum menatap Wulan. “Surabaya – Banyuwangi kayak langit dan bumi. Di sana subuh pun sudah ada yang gelar makanan mateng sedangkan di sini? Mana ada? Terus kalo aku gak masak, Mas Yanto makan apa?” jawabku apa adanya. Kulihat Wulan dan Jehan terkekeh mendengar jawabanku. “Benar-benar istri solehah ya, kamu sekarang,” sindir Putri. Namun, tidak membuatku sakit hati, karena aku tahu sahabatku ini hanya berniat bercanda. “Kalian sendiri bagaimana?” tanyaku menatap ketiganya bergantian. “Kehidupan kami yang masih sama. Gitu-gitu saja.” aku mengerutkan dahi mendengar ucapan Wulan. “Kamu tahu sendirilah. Bagaimana kami di Surabaya,” jawab Jehan. Aku menghembuskan napas panjang mendengar pengakuan ketiganya. Mengingat kehidupan mereka yang lebih dramatis dibanding diriku. “Kalian tunggu sebentar di sini. Aku siapkan sarapan dulu. Sebentar lagi Mas Yanto pasti datang,” seruku bersiap kembali ke dapur menghentikan curhatan kami. “Memangnya laki elo kemana?” tanya Putri dengan logat Betawinya. “Masih inget ama asal usul aja.” Tak urung senyumku mengembang, menatap Putri. “Mas Yanto kalo pagi gini ke kebun. Lumayanlah hasilnya bisa untuk kebutuhan sehari-hari,” ucapku merendah. Mengingat kehidupanku dan Mas Yanto juga tergantung dari lahan seluas 12 meter persegi peninggalan orang tua. “Oh …” sahut ketiganya kompak. “Udah ah, aku ke dapur dulu. Keburu Mas Yanto datang,” aku pun ngibrit meninggalkan ketiganya di ruang tamu. “Kita bantuin, Ga,” seru Jehan yang tiba-tuba saja sudah ada di belakangku bersama Wulan dan Putri. “Yakin? Gak sayang tuh sama kuku dan kulit?” sindirku sambil mencubit kulit halus Jehan. Sahabatku itu hanya terkekeh mendengar celotehanku. “Ntar kalo kulit gue kasar, elo yang bakal tanggung jawab bawa kita bertiga ke salon,” canda Putri layaknya seorang ABG. “Auk ah, mana ada aku duit buat nyalon,” sahutku sambil menyalakan kompor. Kucicipi sayur lodeh yang aku masak, karena sebetulnya tadi masakanku sudah hampir selesai. Namun, karena kedatangan mereka aku menghentikannya begitu saja. “Cuma gitu doang?” celetuk Wulan yang melihatku memadamkan kompor setelah merasa rasa kuah tersebut sudah pas di lidahku. “Iya, emang ngapain lagi?” ledekku. “Jiah, aku kira mau goreng ayam atau daging rusa nyambut kedatangan kami,” sahut Jehan. “Ayamnya masih di kandang belum disembelih,” jawabku enteng. “Hahaha, setahun di Banyuwangi udah mirip penduduk asli sini aja!” olok Wulan sambil tertawa lebar. “Memang ada yang lucu, ya?” tanyaku. “Ada, kalo kita ditanya ayam, pasti jawabnya belum beli. Sedangkan kamu, jawabannya belom disembelih. Kocak. Gak nyangka,” jawab Wulan masih dengan sisa-sisa tawanya. “Nah, kalian mau makan ayam saja ngeluarin duit. Aku tinggal nangkep ayam di kandang. Digorok, metong, dimasak deh. Gak perlu keluar duit,” ledekku. “Gaes, kita kalah telak sama Mega kalo soal duit-duitan, deh kayaknya,” oceh Jehan. Auto ngakaklah kita berempat. Rasanya sudah lama tidak saling ledek dengan mereka. Terakhir kali kita saling ledek seminggu sebelum aku pindah ke Banyuwangi. Selanjutnya hubungan kita cukup via Video call berjamaah. Memanfaatkan teknologi meretas jarak demi menggugurkan kerinduan. “Yuk, kita ke meja makan sambil nunggu Mas Yanto!” ajakku ke ruang yang tidak jauh dari dapur. Kutata sedemikian rupa nasi, lauk dan sayur lodeh hasil karyaku sejak tadi. Mereka bertiga sebetulnya sudah mengabarkan kedatangannya padaku. Namun, karena tidak tahu kapan pastinya aku tidak banyak melakukan persiapan. Apalagi mereka sampai sepagi ini, siapa mengira. Aku hanya mempersiapkan beberapa kudapan dan menu ala kadarnya khas Banyuwangi untuk makan siang. Sedangkan untuk sarapan aku memasak sayur lodeh dengan lauk tahu tempe dan gurame goreng. Menu yang tidak boleh terlewatkan karena Mas Yanto paling suka dengan ikan. Selain itu Banyuwangi terkenal sebagai Kota penghasil ikan terbesar di Jawa Timur dan kedua di Indonesia dengan Pantai Muncarnya yang mendunia. Kota yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah dan legenda karena kisah Raja Blambangan-nya. “Ga, aku udah ngeces nih. Serius masakan kamu menggugah selera,” ucap Wulan tanpa melepas pandangannya dari gurami besar yang ada di meja. Tidak hanya seekor aku sengaja menggoreng dua ekor, tanpa maksud apa-apa hanya saja  feelingku mengatakan harus memasak lebih banyak. Benar saja feelingku tidak salah, ketiga sahabatku datang kepagian. Wkwkwk, iya kepagian. Aku yakin mereka berangkat dari Surabaya tengah malam. Terlihat dari wajah ketiganya yang mengenaskan walaupun selalu terlihat cantik. Sudah ah, kita balik ke makanan. “Assalamualaikum,” suara salam seorang laki-laki dari luar. “Waalaikumsalam, suamiku pulang.” Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangannya. “Siapa yang datang?” tanya Mas Yanto menunjuk Avanza yang terparkir di halaman. “Wulan, Jehan sama Putri,” jawabku mencium punggung tangan Mas Yanto yang terulur di hadapanku. Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD