1. Mereka Menggedor Pintu Rumahku

1604 Words
Hidup itu memang cukup adil. Tuhan tidak pernah melebihkan sesuatu tanpa mengurangi yang lainnya, Dia ... selalu akan berlaku adil pada siapapun hamba-Nya. Termasuk padaku, yang menurut orang sangat beruntung karena terlahir dengan fisik yang sempurna dan kepandaian di atas rata-rata. Mereka tidak tau! Mereka tidak tau ada hal kelam yang selalu berusaha aku tutupi. Hidup dalam kepura-puraan dan penuh dengan dusta itu, sungguh melelahkan. * Beberapa hari yang lalu. “Tiffany, aku juga mencintaimu.” Ketika pria berparas pangeran juga membalas cintaku, dunia serasa hanya berputar di sekitarku. “Kak Arthur.” Kubalas tersenyum dan dia mendekatkan wajahnya padaku. Astaga! Apa ini adalah saatnya aku melepaskan ciuman pertamaku? Hatiku berdebar, terdengar burung camar yang berputar seakan menyoraki hari jadi kami. Ketika aku pun menutup mata, hidung kami mulai bersentuhan dan sebentar lagi bibir kami, seketika suara burung camar itu berubah menjadi burung beo yang cerewet. "Tiffany, ibu tidak mau tahu! Ayahmu sudah menyerah dan memilih pergi meninggalkan kita. Kautahu? Aku juga sudah sangat muak dengan perilakumu yang sangat boros itu. Berhutang ke sana ke mari dengan tagihan atas nama ibu. Rasanya aku ingin bunuh diri saja. Ayo bangun! Cepat! Cepat!" Dan beo bar-bar itu memukuliku. Aku pun membuka mata walau kantuk masih menyelimuti mataku. "Tidak, Bu! Maafkan, maafkan aku. Jangan pergi. Aku janji, aku tidak akan pernah melakukan hal itu lagi. Aku akan segera melunasi hutang-hutangku." Mimpi indahku rusak karena semua tagihan sialan yang terus menggerogoti. "Pergi! Kemarin kau tetap katakan yang sama dan hal ini sekarang buktinya tetap terulang lagi. Ibu sudah muak dengan kamu!" Percakapan itu berakhir tanpa kesepakatan. Aku benci terlahir dari keluarga yang kekurangan. Ayahku bahkan tak mau bertanggung jawab untuk hidup dengan anak dan istrinya. Padahal di luar banyak orang yang berlebihan dari segi materi, sementara aku? Bahkan di ambang batas cukup pun tidak. Aku selalu merasa kekurangan. Benci! Aku benci pada mereka yang selalu menghamburkan uang tanpa melihat pada orang-orang seperti aku yang begitu membutuhkannya. Tuhan itu tidak adil! Sekarang aku berangkat ke salah satu kampus tempat aku berkuliah. Teman-temanku selalu memakai barang dari brand ternama. Biarpun aku memakai barang imitasi, namun aku selalu tampak menonjol dan paling cantik di antara temanku yang lain. Lingkup pergaulanku adalah anak-anak orang kaya, hal ini membuatku harus sedikit bergaya walau harus berhutang ke sana dan ke mari. Yah … meskipun tetap saja, hutang itu hanya mampu membuat aku beli barang imitasinya saja. "Tiffany ...!" Aku menoleh dan mencari sumber suara. Hampir saja aku menimpali. "Hei ...." Dia yang ada di ujung sana membalas lambaian tangan orang itu. "Hei, Tiff! Hari ini kamu mau ikut dengan kami sepulang kuliah? Kafe di ujung sana, kan, baru launching. Traktirin kita-kita dong." Percakapan itu bukan untukku. Mereka berdua yang sedang bercakap-cakap. Ya, orang yang bernama Tiffany di kelas ini bukan hanya aku, tapi juga dia, Tiffany Adhinata. Namun kebanyakan orang memanggil dia dengan sebutan Tiff, jarang sekali ada yang memanggilnya Tiffany. Karena di kelas ini panggilan itu untukku, maka dari itu aku tadi ikut menoleh ketika ada orang yang memanggil nama 'Tiffany'. Meskipun nama kita sama, sedikit pun aku tak pernah berharap untuk berteman dengannya. Dia orang kaya, semua orang pasti ingin berada di posisinya, tapi kebanyakan mahasiswa yang dekat dengan dia tak ada yang mau berteman tulus dengannya. Kenapa? Alasannya? Tak perlu kuberitahu, dari sekilas pun nampak dengan jelas jika orang yang berada di dekatnya hanya seorang penjilat. "Tiffany, rapat untuk Dewan Mahasiswa hari ini, sudah kausebar undangannya?" Untuk pertanyaan kali ini, memang benar untukku. Segera aku menoleh ke arah orang tersebut. "Oh, tentu! Aku sudah meminta beberapa perwakilan dari tiap jurusan untuk menyerahkan undangannya." "Baiklah, lalu ... tadi apalagi, ya? Oh, ini. Untuk proposal kegiatan sosial sudah kaubuat? Katanya ketua Dewan sudah mendapatkan calon donatur yang tepat, tinggal kita serahkan proposalnya saja." "Kalau begitu, kau segera buat rencana anggaranya, agar proposal itu cepat kuselesaikan. Kau, kan, bendaharanya." Aku menyenggol bahu teman dekatku ini. Dia tampak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tiffany, kau sajalah yang membuat rencana anggarannya. Kalau aku yang buat, nanti ... si ketua dewan itu akan banyak mengoceh." "Oke ... asal kau bisa mengerti keinginanku seperti biasanya, ya, Adrienna yang manis." "Hahaha. Aku lebih baik mengeluarkan uang untuk keinginanmu daripada aku harus berurusan dengan si ketua dewan yang super menyebalkan itu." Derai tawa mengalir terbahak dari mulutku. "Hei, ketua, kan, kakakmu sendiri. Kenapa kau tidak pernah menyebut namanya?" Gadis di hadapanku ini bergidik. "Pait pait pait pait." * "Heh! Minggir! Kau mau aku mintai denda jutaan rupiah karena telah membuat gaunku kotor? Kenapa ya, pagi-pagi semua orang sudah terlihat menyebalkan." “Maaf, Tiff! Aku minggir kok.” Penuh d******i, betapa menyeramkannya ketika wajah besar itu benar-benar mengerucutkan bibirnya dengan tatapan mata yang sinis. Mahasiswi yang tak sengaja menghalangi jalannya itu langsung bergetar ketakutan dan menepi ke dekatku. Aku dan yang lainnya menatap ngeri pada wanita bertubuh gempal dengan rambut keriting yang sedang menekuk wajahnya. Dia mengerucutkan bibir yang membuat pipinya terlihat semakin bulat. Berjalan melewati kami berdua, dia melirik ke arah kami dengan penuh kebencian. Tak satu pun dari kami yang ingin menyapanya. Kami hanya sekedar menepi dan merapat ke dinding untuk memberi jalan bagi tubuh gembrotnya yang memakan tempat itu. "Haduuuh .... Padahal namanya sama-sama Tiffany, tapi yang satu kayak gajah oleng yang satu kayak Cinderella." “Iya … duh, ngeri banget dia.” Gumaman anak-anak lain sering terdengar dengan jelas di telingaku. Pasti mereka sedang membandingkan aku dengan wanita yang baru saja lewat. Ya, yang baru lewat itu adalah Tiff. "Seandainya ... yang menjadi kakak iparku itu kamu bukan dia, Fan. Males bet punya kakak ipar mirip babi PMS. Dosa apa sih yang pernah si ketua itu buat di kehidupan sebelumnya? Sampe sekarang dia harus nikah sama induk babi itu di usia muda." Aku hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Kalau bukan teman sudah kujitak kau. Aku juga nggak mau tuh harus nikah muda, walau dengan kakakmu sekalipun." Walau dalam hati sebenarnya aku ingin. Tapi apalah daya, yang kata orang aku ini cantik dan pintar, tetap saja belum bisa menjadi modal yang cukup untuk mewujudkan cinta. Haha, padahal Ketua Arthur juga belum tentu menyukaiku. “Tinggal mau aja gitu, udah dikasih kakakku yang super tampan dan kaya raya juga masih pilih-pilih kau. Nggak ada cowok di kampus ini yang lebih ganteng dari si ketua. Wanita babi itu memang beruntung banget bisa nikah sama kakakku." "Sssst, udah nanti dia dengar." Aku menegur Adrienna agar tak melanjutkan gunjingannya. Ini bukan kali pertama aku mendengar kawan baikku ini ingin menjodohkan aku dengan kakak kandungnya. Berulang kali dia mengeluhkan padaku akan sikap dari kakak iparnya yang memiliki nama mirip denganku. Yaaah .... tapi mau bagaimana lagi? Hidup kita terlalu jauh untuk disandingkan. Biar Tiffany Adhinata itu disebut sebagai babi, namun dia memang Tiffany yang sebenarnya. Kemewahan perhiasan dengan merk terkenal, Tiffany, banyak melekat di tubuhnya. Biarpun dia buruk rupa dengan watak buruk pula, namun milyaran rupiah dalam bentuk perhiasan Tiffany itu menempel pada tubuh gembrot Tiffany. Sementara Tiffany ini, aku menunjuk pada diri sendiri .... Tiffany yang ini hanya luarannya saja yang terlihat bagus. Jangankan perhiasan dengan merk Tiffany, yang menempel di tubuhku ini hanya nota hutang, tagihan kas bon, dan cicilan mingguan. Aku benar-benar lelah harus hidup seperti ini. Bertahan selama kuliah, berharap aku ingin segera lulus saja padahal kuliahku pun baru menginjak pertengahan semester tiga. Hutang yang menumpuk sudah membuat keuanganku benar-benar tak sehat. Penghasilanku dari memberi les privat bahkan hanya kurang dari satu juta per bulan. Untuk membayar tagihan saja pasti sudah habis. Sementara orangtuaku? Ah, entahlah. Mereka mengizinkan namaku berada pada satu kolom dalam kartu keluarga mereka pun sudah beruntung. Langit sudah mulai senja, selain hanya kuliah aku juga aktif dalam anggota organisasi. Menjadi seorang aktivis dengan jabatan sebagai sekretaris Dewan Mahasiswa, membuatku cukup sibuk dengan banyak kegiatan. Hingga akhirnya aku bisa pulang ketika langit sudah mulai gelap. Terdengar suara gedoran pintu yang begitu keras. Rumah siapa yang sedang digedor? Apa ada tetangga yang membawa istri prang pulang ke rumahnya, sampai dia digrebek warga? Pertanyaanku pun terjawab. Dari kejauhan, aku bisa mendengar rumah jelekku sedang digedor dengan penuh emosi. Aku pun segera menepi dan bersembunyi di balik pohon yang ada. "Gawat! Mereka sudah datang lagi! Gimana ini?" Aku menggumam meratap-ratap yang sudah jelas tidak akan ada gunanya. Sebenarnya, aku pun tidak tahu mereka ini debt collector yang mana. Saking banyaknya hutangku, sampai-sampai aku lupa dengan wajah para penagih hutang tersebut. Lututku bergetar hingga aku mengeluarkan keringat dingin di seluruh telapak tangan. "Semoga mereka tidak melihat ke mari. Semoga mereka tidak melihat ke mari. Semoga mereka tidak melihat ke mari." Aku mengatupkan tangan sambil mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sampai mulutku berbusa. Rasanya kalimat itu adalah mantra yang semoga diwujudkan oleh Tuhan. Ya Tuhan! Jika sampai mereka melihat ke mari, aku ingin menghilang saja. Jika aku adalah Tiffany gembrot, mungkin aku tidak akan kekurangan uang. Persetan dengan tubuh gembrot, yang penting uangku banyak, apalagi suamiku adalah seorang ketua dewan mahasiswa yang tampan. Dering ponsel dengan volume maksimum terdengar. Sial! Ponselku berdering. Dari siapa, sih? Ketua? Mau ngapain dia nelpon? Nggak pas banget waktunya. "Itu dia!" Gawat! Mereka melihat ke arahku. "Lari!" Dengan spontan aku berlari keluar dari gang rumahku. Menoleh. Aku melihat wajah-wajah menyeramkan itu masih mengejarku. Aduh! Bagaimana ini? Berlari terus tanpa menoleh lagi, aku sudah berada di mulut gang dan merasakan jika mereka sudah cukup jauh tertinggal di belakang. Di depanku adalah jalan raya, sepertinya aku butuh waktu menyebrang jalan agar bisa lari dari mereka. "Nah, itu dia! Tangkap cepat!" Penagih hutang itu pun muncul kembali dan lebih dekat. Aku akan berlari. Tidaaaak! Sebuah truk mengklakson dengan keras. Namun aku tidak memiliki waktu untuk menepi, hingga sebuah benturan yang membuat aku terpental dan ... aku tidak ingat apa-apa lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD