SWY-1

1670 Words
.Lia. *** Apa pun yang menjadi takdirmu pasti akan mencari jalanya sendiri untuk menemukanmu. ~Ali bin Abi Thalib. *** Pagi ini matahari mengintip malu-malu, bahkan sisa-sisa hujan semalam masih menyelimuti. Sementara kota Bandung masih setia dengan lalu lintas super padat bukan di hari Weekdays namun di Sabtu pagi. Tentu, kota kembang selalu memesona dengan berbagai destinasi yang ada di sini hingga jadi tujuan wisata dari luar daerah. Mobil berbaris dan mengular, motor saling berjajar berusaha mencari celah di antaranya dan Lia terjebak di sana "Hai... Hai pendengar setia apa kabar di Sabtu pagi ini dengan cuaca agak berubah-berubah ya, awas lho jangan sampai sakit jaga kesehatan selalu. But anyway gue Arie yang pagi ini bakal opening pagi lo dengan sebuah lagu...." Suara khas penyiar di radio temani kesendiriannya di dalam mobil sedan tua miliknya, lalu lagu ruang sendiri dari tulus terdengar mengalun dari sana. Lia menarik rem tangan ketika mobil benar-benar terjebak macet. Memanfaatkan untuk mengecek pesan masuk. Dia tersenyum lihat satu-satunya grup persahabatan sudah ramai. Dari lima sahabat yang bertemu di hotel Brian Mahendra, hanya tinggal Santi bertahan di sana. Sisanya mengambil jalan masing-masing, termasuk Lia yang sudah merangkai mimpi sederhana dengan sebuah toko kue tradisional. Nonna Recipes. Nama toko kue miliknya, punya arti resep nenek. Sesuai dengan kue yang ada di tokonya, bukan roti-roti modern tapi berbagai kue tradisional. Lia tersenyum melihat nama salah satu sahabatnya tertera di layar, Sita. "Assalamualaikum." Sapa Lia dengan salam. "Waalaikumsallam." Sita menjawab. "Ta, gue ke jebak macet. Kalau memang buru-buru, nggak usah menunggu gue." Tadi saat Lia sedang di luar, sahabatnya beri kabar sedang di tokonya. Sita datang bersama anak-anaknya dan sebelumnya tidak kabari pada Lia. "Masih jauh, Li?" "Lumayan, bukan soal jarak sih. Kalau macet begini jarak tinggal satu meter juga pasti rasanya jadi panjang." Guraunya. Sita terkekeh, "gue tunggu saja." "Kalau begitu pesan lunch sekalian. Azmi dan Anara nggak rewel?" "Nggak, Anara juga tidur kok." Semua karyawan toko sudah mengenal sahabat-sahabat Lia yang sudah seperti saudara baginya. Jika mereka datang akan menunggu di ruangan Lia, sengaja di buat nyaman ada sofa bed juga pasti Anara tidur di sana. Mereka terlibat obrolan kecil untuk menentukan makanan yang akan di pesan, lalu panggilan berakhir. "Alhamdulillah." Perlahan mobil di depannya mulai melaju, dia bisa bernapas lega setidaknya Sita dan anak-anaknya tidak perlu menunggu lebih lama. Diantara semua sahabatnya, satu per satu sudah berumah tangga dan punya anak. Tinggal Lia yang di usia tiga puluh belum temukan pasangan hidup. Hidupnya memang terlihat santai, tidak jadikan itu beban meski pertanyaan—kapan menikah—selalu saja ada untuknya. Dulu Lia akan merasa kesal dengan orang-orang yang selalu pertanyakan takdir manusia lain. Seperti kelahiran dan kematian, jodoh pun hanya Allah yang punya rencana indah dan tepat. Memangnya mau dia belum bertemu jodoh sampai usianya ini? Rasa khawatir berlebih pun dulu sempat hadir, tapi perjalanan yang sudah Lia lalui membuatnya sadar seberapa besar khawatir mengendap di pikirannya, hanya akan munculkan pikiran buruk pada setiap ketetapan dari Allah. Lia buang jauh-jauh rasa itu, karena dia yakin semua sudah ada waktunya. Sebagai manusia, setelah berdoa dan berusaha kita hanya di minta untuk bersabar. Maka sekarang jika ada pertanyaan seperti itu, Lia dengan senyum yang adem lalu menjawab... Doakan saja. Mendoakan sesama akan jadi ibadah di banding hanya bertanya dengan tujuan meraba masa depan orang lain. Ini memang hidup seorang Yulia Romeesa sekarang, setiap orang pasti akan temukan caranya untuk tahu siapa dirinya, apa maunya. Seperti Lia mulai meyakini diri untuk jauh lebih baik lagi, mulai berhijab semenjak putuskan keluar dari pekerjaan dan mulai mimpinya. Kesulitan dalam hidup yang telah berani di hadapi, memproses pola pikir juga kehidupan dirinya. Lia tidak perlu mampir membeli makanan, Sita sendiri yang sudah pesan. Lia percaya pada pilihan sahabatnya itu, sudah pasti tahu selera dalam soal makanan. Persahabatan mereka mungkin 99,9% cocok bersama karena sama-sama hobi kuliner. Dulu saat masih bekerja di BM Hotel, satu atau dua kali dalam sebulan mereka akan pergi untuk wisata kuliner di setiap akhir pekan. Lia keluar setelah pastikan mobil terparkir rapi di depan tokonya, dia tersenyum pada beberapa pembeli yang cukup familier karena sudah sering datang. Namun, langkah Yulia perlahan meragu dan berhenti tersenyum begitu lihat seseorang dengan tampilan rapi—kemeja batik dan celana licin, sepatu mengkilap—keluar dari tokonya. Seperti sudah perhitungkan kedatangan Lia ke toko, lelaki itu tersenyum lebar begitu melihatnya. "Assalamualaikum, Lia." Seberapa kesal dirinya pada orang tersebut, Menjawab salam itu wajib hukumnya. "Waalaikumsallam, Ka Rian." Rian Hermawan, salah satu Lawyer muda yang terkenal. Sahabat dari Artara Rashid, kakak Tyas Larasati. Sama-sama seorang Lawyer. Lia yakin tidak lakukan apa pun di pertemuan pertama mereka yang tak sengaja, lelaki ini sejak saat itu sering muncul di hadapannya hingga berani perkenalkan diri dan Rian pun tidak pernah bersikap tak sopan padanya. Namun, Tetap saja sikap Yulia agak defensif setiap kali bertemu. Sejujurnya, Yulia bisa membaca tujuan Rian. Di usianya, Lia tidak ingin beri kesempatan pada orang yang hanya mau singgah dan bermain dengan tidak pasti.  "Baru datang? Pantas saya nggak lihat kamu di toko." Ujar Rian santai. Mereka sudah masuk kembali ke toko. "Ada urusan di luar." Lia tidak perlu membagi detail kegiatannya pada lelaki ini, kan? "Ka Rian sudah lama?" Ada bekas cangkir sudah kosong di meja yang Rian bilang dia duduk di sana dari tadi, toko cukup ramai sehingga belum ada pegawai yang ambil cangkirnya. Konsep toko memang sederhana, tapi Lia sengaja ingin ada beberapa kursi, tidak banyak untuk pembeli yang mau nikmati kue di sini. Lalu suasana di buat santai dan nyaman. Rian tersenyum, menatap Lia. "Lumayan sepuluh menit." Lia mengangguk saja, lalu bingung harus bicara apa lagi. Dia kadang iri dengan para sahabatnya yang mudah temukan bahan obrolan, sedangkan Lia memang jika tidak penting tak terlalu suka bicara apalagi harus basa-basi. Dia pun berdiri, "Ka Rian sorry, ada teman saya di dalam yang sudah menunggu. Saya tinggal nggak apa, kan?"  Rian terlihat agak kecewa, tapi dia mengangguk. "Saya juga sudah selesai." Dia juga ikut berdiri. Kalau sudah selesai mengapa dia kembali ikut masuk ke toko? Pikir Lia. Dia tidak mau terlalu memikirkan, Lia siap melangkah. "Lia." Panggil Rian hentikan langkahnya. Lia pun langsung menoleh. "Saya tahu, kamu kurang nyaman dengan kehadiran saya. Tapi, sepertinya kamu harus mulai terbiasa." Ucapnya serius, Lia mengerutkan kening. Dia menghela napas, berusaha bersikap sopan. "Ka Rian akan jadi pengunjung tetap toko? Tentu saja kami senang." Jawab Lia polos dan menekan kalimatnya. Kata kami yang di maksud, wakili toko. Sebenarnya Lia tahu maksud Rian. Rian tertawa kecil dengar jawabannya, "kamu pasti paham maksud kalimat saya." Lia tersenyum kecil saja, lalu benar-benar berlalu dari hadapan lelaki itu yang Lia rasakan tatapan matanya terus mengawasi. Lia menggeleng kecil, lelaki yang berusaha mendekatinya bukan baru di lakukan oleh Rian. Tapi, semua hanya terlihat main-main. *** Senyum kembali terbit di wajah cantiknya saat melihat Sita lalu pada anak-anaknya. Azmi dan Anara meringkuk nyaman di sofa bed. Sita menyadari kehadiran Lia langsung berdiri, mereka cipika-cipiki dan berpelukan. "Kangen banget!" Kata Sita. Wajar sudah lama tidak bertemu. Terakhir saat ulang tahun Anara. "Sama! Lagi lo betah banget di Jerman." Sita tertawa, "cuman sepuluh hari, sisanya di Jakarta."  Suami sita merupakan mantan atasan Lia saat di kitchen BM hotel. Saat Lia jadi Chef. Keluarganya ada yang tinggal di Jerman, mereka membawa anak-anak ke sana saat liburan sekolah yang cukup panjang. Lia menatap wajah berseri Sita yang agak berbeda. "Ada kabar baik yang mau di bagi?" Tebaknya. "Duduk lagi, ta." Ajaknya, mereka kembali duduk di karpet bulu berwarna purple, berada tepat dekat sofa bed. Sita tersenyum, mengusap perutnya. "Akhirnya, Gue hamil lagi." "Wah Alhamdulillah! Jadi, waktu di Jerman tahunya?" "Pas sudah di Jakarta. Gue nggak merasa apa-apa, mual dan pusing seperti di kehamilan Azmi atau Anara nggak ada. Makanya di sana enjoy saja." "Tapi, lo sudah cek ke dokter kan? Katanya di awal kehamilan naik pesawat apalagi jauh, berisiko." "Iya, itu yang buat Arsya uring-uringan. Dia langsung bawa ke rumah sakit." Sita selalu terlihat bahagia setiap cerita tentang keluarganya. Lia dan para sahabatnya tahu bagaimana proses mereka hingga bisa bersama. "Chef Arsya pasti ke pikiran." "Iya dan setelah dokter pastikan calon anak kami baik-baik saja, dia baru bisa bernapas lega." Lia ikut bersyukur akan hal itu. "Lo belum kabari yang lain." Ingatkan Lia. Sita tertawa, "gampang itu, nanti gue kabari berita baik ini."  Lalu sahabatnya itu menatap Lia. "Di depan tadi gue lihat Rian Hermawan, lo tahu dia, lelaki yang tadinya mau di jodohkan sama Tyas? Sedang apa dia di sini?" Lia membulatkan matanya, lalu tangannya bergerak merapikan kain yang menutupi kepalanya. "Oh itu, dia memang sering ke sini." Sita menatap curiga. "Jangan salah paham, maksud gue beli kue dan minum kopi." Dia benarkan maksud ucapannya. "Sendiri?" Sita tidak menyerah cari tahu. Lia mengangguk, dia tidak akan berbohong pada sahabatnya. "Ya." "Wah itu sih ada maksud lain sama lo." Sita begitu yakin. Lia mengedikan bahu, "gue nggak akan beri dia kesempatan untuk itu. Lagi pula gue nggak mau berurusan sama lelaki yang beda sosial. Ribet, ta." Sita terlihat hendak protes atas ucapan Lia. "Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah itu punya derajat yang sama di mata Allah, tidak ada pembedaan kasta sosial. Tapi, perbedaan itu justru di ciptakan oleh manusia sendiri dan kalau bisa menghindar dari masalah, lebih baik gue lakukan itu." Lanjutnya lagi. Dia cukup tahu siapa Rian Hermawan, status sosialnya sekelas dengan keluarga Rashid mau pun keluarga dari suami Sita. Jika pun Allah sedang persiapkan jodoh untuknya, Lia ingin lelaki beriman dan dari keluarga sederhana. Sita masih menatap sahabatnya yang mulai perlahan berhijrah ini, masalah adalah bagian dari perjalanan hidup manusia termasuk Lia. Dulu Sita tahu bagaimana Lia berjuang, menjadi tulang punggung untuk pengobatan ayahnya yang cuci darah karena penyakit diabetes berujung kerusakan fungsi ginjal. Lia punya adik kembar yang terpaut usia sepuluh tahun darinya, bahkan, sekarang masih selesaikan kuliah akhirnya. Dia bertanggung jawab pada semua keluarganya apalagi setelah ayahnya meninggal. Sita mengulurkan tangan, menggenggam tangan Lia. "Lia, lo hebat sudah lakukan banyak hal untuk keluarga. Tapi, jangan sampai lupa untuk perhatikan diri sendiri." Wanita ini terlalu keras pada diri sendiri, Sita bisa melihat Lia tetap sama. [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD