SWY- 4

2265 Words
.Rian. Selama ini, aku kerap salah ketika hanya menilai dengan mataku. Tapi, aku punya keyakinan ketika kali ini menilaimu dengan hatiku. . . Lebih Hidupnya tak pernah merasa kekurangan apa pun, terlahir menjadi anak semata wayang dengan orang tua yang punya usaha menghasilkan harta lebih dari cukup. Sejak lahir semua hal bisa mudah di dapat tanpa perlu bersusah payah, hidup serba lebih dari berkecukupan. Ibaratnya mau apa saja hanya tinggal menunjuk, bahkan orang-orang yang kenal keluarganya sering mengatakan—Rian anak sultan sejak lahir, harta orang tuanya tujuh turunan tak akan habis—tapi, mereka lupa bahwa di balik dari semua yang lebih ini, ada yang tak dia punya. Yaitu, keluarga selalu ada untuknya. Orang tuanya terlalu sibuk terus mengumpulkan harta, Rian kecil hingga dewasa kerap merasa sepi. Di rumahnya hanya ada para pekerja, jika orang tuanya punya waktu itu pun akan habis membahas masalah bisnis. Hingga Rian merasa muak dengan semua hal tuduhan meremehkan bahwa dia tak perlu bersusah payah dengan kemampuannya. Rian terpancing untuk membuktikan, jika dia bisa hidup dengan hasil usahanya sendiri walau akhirnya ada retak diantara hubungannya dengan sang papa yang tak setuju dengan pilihan Rian menjadi Lawyer. Meski usahanya terlihat sia-sia dan tak di hargai di depan Papahnya, terlebih jika Rian baru menangani kasus sukarela untuk membantu sesama tanpa bayaran. Seperti Jumat ini, Rian sudah pergi dari rumah pagi-pagi sekali dan pilih breakfast di luar dibandingkan duduk di meja makan besar hanya ada dirinya. Sedangkan orang tuanya berada di Singapura, entahlah kapan mereka kembali ke Indonesia, Rian tak hafal jadwal mereka.  Rian baru selesai bertemu salah satu kliennya, kebetulan melewati tempat yang sudah satu minggu tak dia datangi. Rian sengaja melakukan itu, seperti sebuah strategi terlebih pasti wanita itu akan menghindar jika Rian terus gencar mendekati. Sejak awal Rian yakin jika Lia berbeda dari wanita-wanita yang pernah di dekati, pernah ada satu wanita yang juga sulit, Tyas, adik dari sahabat seperjuangan menjadi lawyer. Tapi, jelas itu soal perasaan tak bisa di paksakan dan Tyas sudah punya kekasih waktu itu. Mobilnya berhenti di depan toko, Rian mengerutkan kening dan menahan diri dalam mobil untuk memerhatikan tiga orang yang keluar dari toko kue tersebut. Mereka membawa kantung besar, lalu berbincang dan berpencar. Rian langsung keluar dari mobil, mengikuti langkah wanita berhijab warna salem tersebut, Rian tersenyum lebar begitu tahu jika yang dibawa adalah makanan untuk dibagikan. Cara wanita itu berbagi dengan tulus, menyentuh sesuatu yang dingin di hatinya menjadi hangat. Pertama kali bertemu, Rian yakin dirinya tak salah menilai Lia karena dia tak hanya menilai dengan mata tapi hatinya. Ini yang membuatnya nekat mendekati Lia. Rian semakin mendekat, Lia selesai membagikan makanan sampai yang terakhir. “Saya nggak kebagian?” suaranya membuat langkah Lia berhenti. Yulia berbalik, “Maaf—“ kalimatnya tertelan lagi begitu tahu pemilik suara tersebut adalah Rian. Rian tersenyum, “Kamu serius sekali, saya hanya bercanda, Lia.” Lia menghela napas, “Ka Rian di sini?” Tak butuh kemampuan khusus bisa baca pikiran orang lain untuk tahu jika Lia belum nyaman atas kehadirannya. “Mau ke toko kamu, kebetulan lihat kamu berjalan sampai sini.” Rian akan berkata jujur. Keningnya mengerut, tapi Lia bersikap sopan. “Jadi, sengaja ikuti saya?” Rian tertawa, “terdengar menakutkan untukmu? Saya nggak bermaksud untuk membuatmu nggak nyaman.” Lia tersenyum kecil, “Nggak apa-apa, Ka. Harusnya tadi kalau saya lihat lebih awal, pasti saya minta bantuan membagikan makanan ini.” Entah hanya basa-basi atau sungguhan, Rian tak peduli karena dia sudah terlalu senang dengan interaksi mereka. “Lain kali artinya saya boleh membantu kamu?” “Mengajak orang lain untuk berbuat baik juga salah satu ibadah yang mendatangkan pahala.” Lia adalah perempuan pertama yang punya penampilan berbeda dari perempuan-perempuan sebelumnya yang singgah di hidup Rian. Tidak hanya penampilan tapi juga karakter. Ini seperti jadi tantangan tersendiri untuk Rian. “Mau tetap di sini atau jadi ke toko saya?” “Oh, ayo kita kembali ke tokomu.” Lia mengangguk sambil mengambil jarak seperti biasa, mereka berjalan kembali ke toko, Rian tentu menghormati batasan yang wanita itu jaga. “Friday discount? Tokomu mengadakan itu, kan?” Lia mengangguk, “Iya. Ka Rian mau pesan sesuatu untuk take away? Pesan yang banyak, di sini lagi diskon.” Lia sedikit bergurau.  Rian tersenyum “Saya pesan untuk di sini.” Jawaban Rian membuat Lia terdiam, dia melirik jam tangannya namun tak berkomentar apa-apa. Rian langsung mengira jika hari Jumat tokonya tak menerima pesanan di tempat, namun di salah satu meja ada beberapa perempuan remaja yang duduk sambil menikmati kue di sini. “Oh, oke. Silakan pesan yang ka Rian inginkan.” Kata Lia. Lalu perhatiannya teralihkan saat ada dua karyawan yang tadi Rian lihat bersama Lia sudah kembali menghampiri, Rian tetap bergeming memerhatikan perbincangan mereka. “Sudah di bagikan semua?” tanya Lia. Karyawan bername tag Ridwan mengangguk sopan, “Sudah bu.” Lia mengangguk, “Terima kasih, hm kalian bersiap sana untuk salah Jumat. Jangan sampai melewati kutbah bagian wajib dari Shalat Jumat.” Kalimat Lia barusan membuat Rian menyambungkan dari pertanyaan heran Lia tadi. Sejujurnya, Rian seperti tertampar karena dia pribadi bahkan sudah lupa kapan terakhir kali melakukan Shalat Jumat. Lelaki sepertinya berharap bisa punya pendamping seperti Lia? Apakah pantas? Bisik hatinya mencemooh diri sendiri, saat itu juga kalau bisa Rian ingin menghilang dari hadapan Lia. “Ka Rian...” suara lembut Lia membuyarkan lamunannya. Rian menatap wajah adem wanita itu, dan baru sadar jika dua karyawan tadi yang berbicara dengan Lia sudah tak ada di sana. “Ya?” “Mau pesan apa? biar saya ambilkan.” Rian menghela napas, “Saya take away saja.” mengubah tujuannya di awal. Baru ambil start, Rian tak mau langsung buat wanita itu menilainya buruk. ***  Perubahan yang baik dilakukan bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain tentang dirinya, namun dilakukan karena memang ingin dan untuk diri sendiri. Rian sangat tahu soal itu, usianya bukan lagi anak remaja labil dengan karakter bisa berubah ikuti arah tujuan saat itu juga. Hanya saja Rian percaya bahwa pertemuan dan kenal dengan beberapa orang baik pasti akan bawa dampak baik juga untuk dirinya. Rian merasa damai, kakinya berpijak di tangga terakhir setelah selesai Shalat Jumat, keberadaan di sini awalnya memang karena malu dengan Lia tadi namun jika hanya malu dan Rian tak mengarahkan niat untuk melaksanakan salat Jumat, Lia tak akan tahu. Segenap hati Rian menuju masjid tanpa paksaan atau untuk menunjukkan untuk orang lain. Setelah itu, Rian kembali ke kantor Rashid dengan membawa beberapa kotak kue tradisional yang di belinya tadi. Rian memanggil salah satu Office boy, dan minta tolong untuk di bagikan. “Gue kenal banget rasa sama kemasan ini, dari pagi lo mengilang habis dari tempat Lia?” tegur Tara menghampiri di ruangan. Rian mengangkat kepala dari berkas-berkas perkara yang sedang di periksanya. “Kebetulan lewat sana.” Tara selesai mencoba kue sus, tatapan matanya mengintai Rian. “Kebetulan yang lo sengaja, Right? Perempuan seperti Lia—“ “Berbeda, dan gue nggak ada niatan untuk mempermainkan dia.” Potong Rian cepat. Tara sejak awal sudah peringati. Tara menghela napas, “Bagus kalau lo mengerti.” Rian meninggalkan berkas-berkas sepenuhnya, sekarang dia teralihkan butuh pendapat dari Tara. Rian bersandar di kursinya, lalu bergerak ke kanan-kiri demi mencari ketenangan. “menurut lo, gue harus apa untuk membuat Lia percaya.” “You want my opinion?”  Rian mengangguk mantap, “Ya.” “Ajak dia menikah, satu-satunya janji serius yang membuktikan lo nggak main-main sama dia.” Pendapat Tara dengan kalimatnya itu membuat Rian terdiam, bahkan berhenti menggerakkan kursi. Rian lalu mencerna dengan baik pendapat Tara. Usianya pun tak lagi muda, lalu dia mulai merasa hidupnya hampa dan monoton. Rian menerawang dalam bayangan, mungkin sepi yang dia rasakan saat ini akan berlalu jika dia memiliki istri dan anak. Dia akan merasa lengkap, punya satu hal penting yang tak di rasakan selama ini yaitu, keluarga selalu ada untuknya. Selain usia, secara finansial pun Rian sudah sangat matang dan siap. Hanya masalahnya, Lia, wanita satu-satunya yang terpikirkan untuk jadi pendampingnya, pasti tak mudah membuatnya setuju untuk menikah sedangkan mereka baru mengenal. *** Suara musik menusuk telinga, asap rokok yang mengepul di tambah keramaian dan lampu redup, biasanya Rian nyaman saja ada di sana sampai berjam-jam bahkan dini hari. Setelah satu bulan lebih tak datang ke tempat ini, dan malam ini terpaksa datang untuk menghadiri undangan teman, baru berada satu jam, Rian sudah sangat tak betah. Minuman di gelasnya bahkan masih utuh, Rian belum menyentuhnya sama sekali. “Tara...” panggil Rian, untung Tara pun ikut dengannya. “Hm.” Gumam lelaki itu, Tara fokus dengan ponselnya. Rian mengintip dan melihat Tara sedang Chat dengan tunangannya. “Balik sekarang yuk!” ajakan Rian membuat Tara langsung menoleh. Lelaki itu memberi tatapan horor. “Lo nggak enak badan?” Rian menggeleng, “capek aja.” “Besok Sabtu, biasanya juga sampai pagi tahan.” Cibir Tara yang heran juga, biasanya Rian sudah menghilang dan datang kembali membawa wanita yang baru dikenal. Malam ini, Rian memang terlihat gelisah dan tak nyaman. Rian menghela napas, dia menarik ponsel yang tergeletak di meja. “Kalau lo tetap mau di sini, gue balik duluan!” bangkit dari sofa, Rian pilih pamit dengan temannya dan benar-benar akan pulang. Tara mengejar, “sekarang gue baru percaya.” Katanya tiba-tiba saat mereka sudah berjalan keluar. Keduanya tak menghiraukan tatapan nakal dari para pengunjung wanita lain yang jelas mengenal mereka. “Apa?” Rian tak bisa menangkap maksud ucapan sahabatnya yang tiba-tiba. “Lo serius mendekati Lia, bukan mau main-main seperti biasa.” Langkah Rian berhenti, dia menatap Tara dan tertawa. “Astaga, lo masih mengira gue main-main!” Tara mengedikan bahu acuh, sedetik kemudian dia menyeringai “selama mengenal lo, baru dua kali gue lihat lo serius begini. Pertama pas lo ijin mau dekati Tyas, kedua saat ini lo serius sama sahabatnya Tyas.” “s**t!” umpat Rian pada sahabatnya itu, tepat sekali. Mereka memang sudah saling mengenal jauh hingga bisa tetap menjalin hubungan baik sampai detik ini. Keduanya membawa mobil masing-masing, lalu berpisah dengan arah tujuan pulang berbeda. Sepanjang jalan Rian sembari memikirkan hidupnya, dibandingkan Tara yang pernah menikah bahkan sebentar lagi akan menikah kembali, Rian pikir, dia akan baik-baik saja tetap jalani hidup santai dan sendiri seperti sekarang. Kini perasaan ingin punya keluarga lengkap, dan suasana hangat keluarga yang di rindukan membuat Rian mulai memikirkan pernikahan bersamaan dengan wajah Lia yang manis dan adem, terbayang menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Dalam bayangan sekalipun, rasanya sudah sempurna dan tekat Rian semakin kuat, dia akan kumpulkan keberanian untuk mendekati Lia dan menyampaikan tujuan seriusnya. Karena pikirannya juga Rian sampai tak sadar telah menyetir mobilnya lewati jalan yang bukan arah menuju rumahnya. Melainkan melewati tempat yang akrab dengannya akhir-akhir ini, tadi pagi dia baru saja dari sini. Rian mengerutkan kening saat lihat seseorang yang ada dalam pikirannya tepat di depan toko. Mobil berhenti, Rian langsung keluar dan menghampiri. “Assalamualaikum, Lia.” Lia langsung menyadari kehadirannya. Bola matanya yang indah membulat, terkejut. “Waalaikumsallam. Ka Rian bisa di sini? Hm, toko sudah tutup.” Rian terkekeh karena Lia mengiranya selalu muncul karena ingin beli kue. “Saya mau pulang.” “Terus bisa ke sini?” “Saya lihat kamu, kok belum pulang?” “Oh, besok kami alhamdulillah buat pesanan kue cukup banyak jadi persiapkan bahan-bahannya malam ini.” Rian tersenyum kecil, dia lihat sekeliling dan tak menemukan motor matic atau mobil sedan tua yang biasa dipakai Lia. “Kamu pulang naik apa?” “Menunggu adik laki-laki saya menjemput.” Dari informasi yang Rian dapat, Lia mempunyai adik kembar yang masih kuliah. “Sudah sampai mana?” “Ya?” “Adikmu, kalau masih jauh biar saya antar pulang.” tembak Rian langsung, Yulia mengerjap. “Terima kasih tawaran, Ka Rian. Sebentar lagi pasti sampai, Ka Rian kalau mau duluan. Silakan aja, Ka.” Rian tersenyum, “Kalau saya mau temani kamu sampai pastikan adikmu sampai, boleh?” “Hah?” Yulia terlihat canggung, tangannya bergerak merapikan ujung hijabnya. “Saya hanya mau pastikan kamu aman, ini sudah cukup malam dan sepi.” Bisa banget dirimu, Rian! Seseorang dalam hatinya mencibir akalnya menemukan waktu yang pas untuk tetap bersama Yulia. Ah, Rian tak menyesal menuruti dirinya yang ingin keluar cepat dari kelab malam dan tidak menyentuh vodka yang di pesankan temannya. Mereka sejak tadi sudah berpindah tempat, di sepanjang depan ruko ada beberapa makanan kaki lima yang berjajar. Rian akan mengajak Lia menunggu di resto siap saji tepat di seberang posisi tokonya, Lia sudah lebih dulu mengajaknya duduk dan pilih makanan kaki lima. Ini pertama kali seorang Rian Hermawan duduk di kursi panjang dari kayu yang sudah kusam, pinggir jalan. Namun, dia biasa saja, nyaman karena Lia pun merasa tenang di sana tak hanya ada mereka berdua. Lalu takdir seperti mendukung saat Rian menguping dari pembicaraan Lia di telepon, menangkap jika adiknya mengalami kendala hingga tak bisa menjemput. “Adik saya ban motornya kempes, kena paku. Butuh waktu lebih lama untuk sampai sini.” Beritahu Lia. Rian langsung berdiri, dengan siap siaga dia menawarkan diri. “Ayo, saya antar kamu pulang!” “Tapi, hm saya naik kendaraan umum saja.” “Ini sudah malam, saya nggak keberatan sama sekali.” Cekal Rian. Tanpa mau menunggu Lia berpikir dan kemungkinan di tolak lebih besar, Rian langsung menghampiri penjual untuk membayar minuman es jeruk yang mereka pesan. Saat membuka dompet dan menyerahkan uang seratus ribu. “Ambil saja kembaliannya!” kata Rian, di sambut senang penjual. Rian terlalu antusias bisa mengantar Lia pulang dan ke depan nanti, mungkin sekalian kenalan dengan keluarga Lia. Harapannya. [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD