3. Kilas Balik

1553 Words
*Dua tahun yang lalu* Karinka baru saja mendapati hasil pengumuman SNMPTN-nya yang menyatakan bahwa dirinya lolos. Gadis itu benar-benar puas dengan hasilnya karena diterima di pilihan pertama. Tidak sia-sia Karinka belajar dengan giat selama tiga tahun terakhir agar bisa masuk ke perguruan tinggi negeri favorit di kotanya. Semua sepadan dengan kerja keras dan usaha gadis itu. "Selamat, ya, Karin. Ibu bangga banget sama kamu," kata Bu Puspa--pengurus panti asuhan tempat Karinka tinggal selama ini sembari mengusap puncak kepala gadis itu. Karinka lantas menganggukkan kepala lalu membalas, "Iya, Bu. Karin juga mau berterima kasih sama Ibu karena udah ngurusin Karin dengan baik selama di sini." "Itu memang udah kewajiban Ibu sebagai pengurus panti, Nak." Sekali lagi Karinka menganggukkan kepalanya. "Karin nanti pasti sedih kalau udah keluar dari panti ini," gumam gadis itu dengan ekspresi wajah yang berubah murung. Ya, memang itulah peraturan di panti asuhan ini. Jika ada anak yang sudah berusia delapan belas tahun, maka mereka diwajibkan untuk keluar dan bukan menjadi tanggung jawab panti asuhan itu lagi. Meskipun saat ini usia Karinka baru akan menginjak tujuh belas tahun beberapa bulan lagi, tetapi dia juga harus keluar dari panti asuhan untuk melanjutkan pendidikannya. "Udah bilang sama Mbak Iin?" tanya Bu Puspa. "Belum, Bu. Rencananya habis ini baru mau bilang sama Mbak Iin," jawab Karinka. "Oh ... baguslah kalau begitu," balas Bu Puspa. Setelahnya, Karinka pun berpamitan pada wanita setengah baya itu . Dia sudah tidak sabar untuk memberitahu kabar yang membahagiakan itu pada Karinna, sang kakak angkat yang sudah dianggap seperti saudara kandungnya sendiri. Meskipun Karinna sudah tidak tinggal di panti asuhan sejak dua tahun yang lalu, tetapi gadis itu masih rutin datang ke panti. Entah itu sekadar bertemu dengan Bu Puspa atau menemani Karinka mengobrol panjang lebar. Walaupun sudah tidak tinggal satu atap dengan Karinna, tetapi Karinka tidak pernah merasa hubungannya dengan Karinna merenggang. Sang kakak angkat bahkan tidak jarang membawakannya barang-barang untuk Karinka. Gadis itu sudah menolak beberapa kali, tetapi Karinna menghiraukan ucapannya dan tetap membelikan barang-barang untuk Karinka, padahal gadis itu tidak pernah memintanya. Karinka bersiul senang sembari melangkahkan kedua tungkainya menuju sebuah kursi yang berada di taman panti asuhan. Namun, belum sempat gadis itu mencapai tempat tujuannya, tubuhnya tiba-tiba terhuyung karena ada sosok yang baru saja menubruknya dari arah yang berlawanan. Karinka hampir saja jatuh terjerembab ke atas tanah jika tidak ada sebuah tangan yang menahan lengannya. Gadis itu menipiskan bibir ketika pandangannya bertemu dengan rupa sosok yang menubruk sekaligus menolongnya. Ya, Tuhan ... ini manusia atau Dewa Yunani? Ganteng banget, batin Karinka memuji sosok pria berwajah tampan yang ada di hadapannya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya pria itu dengan suara baritone-nya. Karinka berdeham lalu segera menjauh dari pria itu dan menegakkan tubuhnya. "Hmn ... nggak apa-apa, Mas," jawab gadis itu dengan nada suara yang sedikit bergetar. Entah karena dia takut pada sosok pria bertubuh tinggi dan tegap di hadapannya atau karena gugup akan ketampanan wajah pria itu. Pria itu tidak membalas ucapan Karinka, melainkan hanya memberikan anggukan singkat. Setelahnya, pria itu kemudian berlalu dari hadapan Karinka tanpa mengatakan apapun. Karinka baru saja hendak membuka mulutnya untuk bertanya nama pria itu, tetapi sayang sosok itu sudah lebih dulu berbelok ke salah satu bagian sayap panti dan menghilang dari pandangannya karena tertutupi oleh dinding. "Yah ... padahal belum juga ditanya namanya, udah main pergi aja," gumam Karinka pada dirinya sendiri dengan nada kecewa lalu berjalan pelan ke tempat tujuannya semula. Kursi taman. Mengabaikan perasaan kecewanya, Karinka memilih untuk mengeluarkan ponsel usangnya dari dalam saku celana. Gadis itu sudah tidak sabar untuk segera menghubungi Karinna dan memberitahu kabar bahagia pada sang kakak angkat. Karinka mencari nomor Karinna di dalam buku kontak ponselnya lalu menekan ikon gagang telepon berwarna hijau untuk menyambungkan panggilan tersebut. Tak sampai lima menit kemudian, panggilan itu sudah dijawab oleh Karinna dari seberang sana. "Ya, halo ... kenapa, Dek?" tanya Karinna langsung pada inti pembicaraan setelah menyapa Karinka. "Halo, Mbak ... aku punya kabar bahagia nih," balas Karinka. "Apa tuh?" tanya Karinna tanpa bisa menutupi nada penasaran di dalam suaranya. Belum sempat Karinka itu membalas pertanyaan Karinna, atensinya teralihkan pada sosok yang menolongnya tadi. Pria asing yang Karinka tidak ketahui namanya, tetapi mampu membuat gadis itu merasakan desir di dalam d**a. "Dek?" tegur Karinna karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Karinka. "E--eh ... i--iya. Ada tadi, Mbak?" tanya Karinka tergagap. Namun, indra penglihatan gadis itu masih tetap setia menyorot pada sosok pria berkemeja biru muda yang mondar-mandir di halaman panti asuhan bersama seorang pria setengah baya yang sedang menurunkan beberapa bingkisan dari dalam mobil. Selain ganteng, ternyata pria itu juga dermawan, batin Karinka di dalam hati tanpa menyadari bahwa kekagumannya pada pria itu langsung meningkat signifikan. "Tadi katanya ada kabar baik," ujar Karinna menjawab. "Kok tiba-tiba diam?" tanya gadis itu menambahkan. "Kabar baiknya ...." Karinka menjeda sejenak sebelum melanjutkan, "Aku keterima SNMPTN, Mbak." "Beneran, Dek? Kamu nggak bohong, 'kan?" tanya Karinna memberondong sang adik tanpa bisa menutupi nada antusias di dalam suaranya. Mendengar pertanyaan yang Karinna tujukan padanya seolah-olah meragukan kredibilitasnya lantas membuat Karinka mencebik. "Ih, Mbak kok meragukan aku, sih? Nggak mungkinlah aku bohong. Nggak ada faedah-nya juga," dengus gadis itu. Terdengar kekehan Karinna di seberang sana. "Nggak meragukan, Dek. Mbak cuma terlalu senang, makanya sampai nanya begitu," elak gadis itu, berharap Karinka tidak tersinggung atas pertanyaannya. "Jadi, kamu mau minta hadiah apa?" Karinna mengalihkan pembicaraan ke topik lain. "Ih, nggak usah, Mbak. Jangan repot-repot," sergah Karinka menjawab dengan cepat. "Nggak repot kok. Adik pintar Mbak 'kan harus diapresiasi," balas Karinna. Hadiahnya dikenalin sama cowok yang sebelas dua belas kayak Mas tadi yang tadi nabrak aku aja, Mbak, batin Karinka tanpa menyuarakannya. Tidak mungkin gadis itu meminta hal konyol seperti itu. Bisa-bisa bukannya dikenalkan, ia malah diledek habis-habisan oleh Karinna nanti. "Ya, udah ... kamu pikirin aja dulu mau hadiah apa. Nanti baru bilang sama Mbak, ya," putus Karinna karena Karinka tak kunjung menyebutkan hadiah yang ia inginkan. "Mbak mau lanjut kerja dulu. Mbak tutup dulu, ya ... udah dipanggil sama atasan Mbak," lanjut Karinna menambahkan. Tanpa menunggu balasan dari Karinka, gadis itu kemudian mematikan sambungan panggilan itu secara sepihak. * Karinka mengetuk pintu ruangan Bu Puspa. Beberapa menit yang lalu, seorang bocah laki-laki bernama Fernando datang menemui gadis itu dan memberitahu bahwa ia dipanggil untuk datang menemui Bu Puspa di ruangannya. Di sinilah Karinka sekarang. Di depan pintu ruangan Bu Puspa dan sedang menunggu jawaban dari dalam sana setelah memberikan ketukan beberapa kali. "Masuk," titah Bu Puspa dari dalam sana. Setelah mendengar titah tersebut, Karinka memutar kenop dan mendorong pintu berbahan kayu di hadapannya. Gadis itu terkesiap kecil ketika menemukan sosok pria yang menolongnya saat di halaman panti asuhan tadi. Karinka menetralkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering sebelum berbicara. "Ibu manggil Karin?" tanya Karinka memastikan Fernando tidak berbohong karena bocah itu terkadang suka jahil dan mengerjainya. "Iya, Fernando yang bilang 'kan tadi?" tanya Bu Puspa setelah membenarkan pertanyaan Karinka tadi. "Ayo, masuk. Ibu kenalin dulu sama salah satu donatur tetap di panti kita," ajak Bu Puspa melanjutkan. Tanpa menunggu jawaban Karinka, wanita setengah bata itu langsung menarik pelan pergelangan tangan Karinka untuk mengikuti langkahnya. Jantung Karinka berdegub semakin kencang, terlebih lagi ketika gadis itu tahu kalau sosok pria yang menolongnya tadi sedang menatap ke arahnya saat ini. "Nak Ravel ... kenalin ini namanya Karinka," kata Bu Puspa pada Ravel, sosok pria berkemeja biru dan dermawan tadi. Sebagai bentuk kesopanan, Ravel lantas bangkit dari posisi duduknya. "Karin, ini Nak Ravel. Donatur tetap di panti ini." Kini giliran Bu Puspa yang mengenalkan Ravel pada Karinka. Kedua anak manusia itu kompak menganggukan kepalanya bersamaan. Setelahnya, Ravel kemudian mengulurkan tangan ke arah Karinka dan langsung dibalas oleh gadis itu dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya. "Ravelio." "Karinka." Ketika kulitnya bersentuhan dengan milik Ravel, Karinka sontak merasa tersengat kecil, seperti ada aliran listrik yang menyetrum ke dalam raga dan menembus sampai ke dasar tulang-tulangnya. Namun, gadis itu tidak ingin mempermalukan diri sendiri sehingga ia pun segera melepaskan jabatan tangan itu. "Karinka umur berapa?" tanya Ravel yang merasa heran karena sepertinya ia tidak pernah mendapati anak panti asuhan yang sudah se-tua Karinka. "Tahun ini tujuh belas, ya, Rin?" tanya Bu Puspa pada Karinka karena ia sendiri lupa-lupa ingat dengan ulang tahun gadis itu. "Iya," balas Karinka singkat. "Oh, saya nggak pernah lihat Karinka sebelumnya," kata Ravel jujur. Meskipun sudah beberapa kali menginjakkan kakinya di panti asuhan itu, tetapi Ravel belum pernah melihat rupa Karinka sebelumnya sampai insiden ketika ia tidak sengaja menubruk tubuh Karinka saat di halaman tadi. "Anak ini memang pemalu dan lebih sering sembunyi di kamar untuk belajar," balas Bu Puspa dengan nada seloroh. Sementara itu, Ravel hanya membalas dengan anggukan kepala dan tidak melanjutkan topik pembicaraan itu lagi. "Karin tolong bagikan bingkisan yang diantar Nak Ravel tadi. Adik-adiknya disuruh baris aja di halaman biar rata dan kebagian semua," pesan Bu Puspa yang akhirnya memberitahu tujuan memanggil Karinka ke dalam ruangannya. "Iya, Bu," balas Karinka patuh sembari menganggukkan kepalanya. Setelahnya, gadis itu pun berpamitan pada Bu Puspa dan Ravel sebelum melangkah keluar dari ruangan tersebut. Karinka tidak langsung berjalan menjauhi ruangan Bu Puspa, melainkan berdiri membelakangi pintu ruangan wanita setengah baya itu sembari menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari mulut. Sementara itu, tangannya terangkat untuk menyentuh permukaan d**a dan merasakan debaran yang menggila di sana. Jantungnya bertalu-talu di dalam d**a seperti hendak melompat keluar. Ini bukan pertanda awal yang baik, Karinka, bisik gadis itu pada dirinya sendiri di dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD