Kyaaa Manisnya

1085 Words
Kegiatan demo tiga hari ini sangat menguras tenaga, waktu dan pikiran. Semua kulakukan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang terkena tindakan sewenang wenang Finansial Grup. Walau sempat bermimpi buruk tetapi pada akhirnya aku tidur nyenyak. Mungkin karena lelah berdemo, kasur ini terasa lebih empuk dan nyaman. Aku lapar, rasanya tidak punya tenaga. Mataku mengerjab. Mencoba mengumpulkan kesadaran. Tetapi ... Kenapa ketika aku membuka mata ada pria tampan tidur pulas di depanku? Apakah aku berhalusinasi karena terlalu lelah? Ah, aku terlalu banyak menonton drama Korea sehingga berhalusinasi seperti ini. Aku mencoba menyentuh pipinya dengan jadi telunjuk, dia menggeliat. Kemudian kepalanya semakin menempel di bahuku. Aroma mint dari rambutnya tercium sempurna. Ini bukan mimpi! Kyaaa ..... Dia nyata!! Aku berteriak kencang dengan sepenuh jiwa raga. "Si ... Siapa kamu? Kenapa ada di sini? Ini di mana? Apa yang kamu lakukan padaku?" Aku bertanya tanpa jeda. "Kau lupa? Saya ini suami kamu." Dengan imutnya dia mengucek kedua matanya. Wajah yang tak asing itu .... Oh tidak! Kini aku ingat semuanya. Ya Allah ternyata aku tidak bermimpi, ini kenyataan yang buruk! Hal terburuk dari yang paling buruk kini sedang terjadi. Ternyata aku sungguh menikah dengan manusia pisang yang kini seperti anak ayam. Apa yang akan terjadi padaku setelah ingatannya kembali? Lebih baik aku segera memesan tanah kuburan yang mungkin sebentar lagi akan kutempati. Tiba-tiba para pengawal masuk ke kamar dan menodongkan pistol ke sekitar tempat tidur, memindai setiap sudut kamar. Menakutkan. "Ada apa nyonya? Apakah ada penyusup?" Tanya pria tua yang rambutnya mulai memutih. "Ehh.. Nggak ada kok, tapi ini di mana ya ...?" Ruangan mirip hotel bintang lima yang berada di Italia. Apa mungkin aku dibawa keluar negeri? Aku tidak ingat pernah membuat paspor. Pria tua itu memberi isyarat kepada pengawal untuk menurunkan pistol. "Anda sekarang berada di kamar tuan Ravin, lebih tepatnya di kediaman keluarga Surya Diningrat," jawab pria tua itu. Mana mungkin kamar mewah ini adalah ... Ah tentu saja, presdir Ravinio memang mahluk kaya raya. Bagaimana aku bisa lupa. Kasur lebar nan empuk, lampu kristal, Egg Chair di samping jendela, TV berukuran 98 inci yang tertempel di dinding. Cat warna pastel yang mewah, ruangan kamar ini sungguh seperti istana. Aku tidak suka. Aku benci orang kaya yang menghambur hamburkan uang seperti ini. Beralih kepada pria tua di depanku, wajah keriput dan rambut mulai memutih, tak habis pikir bagaimana dia bisa bertahan hidup dengan majikan kasar seperti Ravinio. "Tapi Bapak ini siapa ya?" Tanyaku sembari turun dari tempat tidur. Masih sedikit pusing, aku lapar. "Maaf saya lupa memperkenalkan diri, saya Sabihis asisten pribadi sekaligus tangan kanan almarhum tuan Mahesa dan sekarang menjadi asisten pribadi tuan Ravin. Jika nyonya ada perlu apa-apa maka bisa panggil saya," jawab Pak Sabihis ramah. "Iya, terima kasih Pak, tapi saya mau solat subuh dulu. Kalau boleh saya minta makan?" "Tentu nyonya, saya akan menyiapkannya. Kalau begitu kami permisi." Pak Sabihis dan para pengawal meninggalkan kamar, aku pun bergegas wudhu dan mengambil mukena yang selalu kubawa di tas. Ravin mengamatiku yang mulai menggelar sajadah dan memakai mukena. Tatapan matanya bingung. Tak kupedulikan, sekarang sudah hampir setengah enam. Waktu solat subuh akan segera habis. "Kamu tadi ngapain?" Tanyanya ketika aku sudah selesai solat dan melipat mukena. "Solat subuh, kamu mau solat juga? Mau aku bantu wudhu?." "Wudhu itu apa? Terus solat itu gunanya untuk apa?" Dia bertanya seperti anak kecil. Kyaaa..... Manis banget sih dia. Wajah tampan dengan ekspresi polos itu membuat jantungku lupa diri. Tidak seharusnya aku deg deg kan seperti ini, aku tidak boleh lupa bahwa dia adalah mahluk kejam yang membunuh orang dengan gampang. Kenapa dia tercipta sangat tampan? Ini sangat curang! Astagfirullahlazim, bagaimana pun dia adalah pria, tidak seharusnya aku memandangnya dan terkagum dengan ketampanan yang luar biasa itu, dosa. Eh, tunggu. Sekarang 'kan dia berstatus suamiku. Halal dong. Berarti aku boleh aku memandangnya, menyentuhnya, merabanya, melihat perut kotaknya. Otakku semakin liar! Hentikan aku mohon! Aku ingin wudhu ulang untuk melunturkan pikiran yang sekotor sungai Ciliwung ini. Setelah solat aku merapikan tempat tidur, Ravin masih mengamatiku. Dia belum bisa kemana-mana karena kakinya digips. "Nanti aku ajarin kamu solat ya," ucapku, dia mengangguk lagi dengan polos. Jantung aku mohon, bertahanlah dari serangan tampan yang mematikan ini! Tiba-tiba ponselku berdering, mencari sumber suara. Ada di atas nakas. "Assalamualaikum Vi." "Waalaikumsalam, Rim, nanti langsung ketemu di depan gedung Finansial Grup ya. Soalnya motorku rusak, aku nggak bisa jemput kamu." "Oh iya, langsung ketemu di sana aja." "Hari ini kita ketambahan sekitar dua ratus orang dari Bogor, katanya mereka akan ikut berdemo karena tanah nenek moyang mereka digusur." "Oo .. Gitu, yaudah gabung aja nggak papa." "Oh ya anak STM katanya mau juga ikut." "Eh ngapain anak STM?" "Nggak tahu, katanya ingin ikut aja." Kebiasaan! Dasar para bocah itu, akan aku beri pelajaran nanti. Tetapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya jujur kepada para pendemo soal aku, sang pemimpin dan pelapor demo yang malah menikahi orang yang kita demo. "Rim, udah dulu ya aku mau mandi." "Eh .. Iya." Matilah aku.... Mereka pasti sangat marah, sebelum mati di tangan Presdir Ravin sepertinya aku akan mati lebih dulu di tangan para pendomo dan teman-temanku sendiri. Gimana ini, aku panik dan mataku menjadi panas. Rasanya kok malah ingin nangis sih. Tiba-tiba Ravin menarik dan mendekapku ke dalam pelukannya, rasa terkejut ini tidak bisa dihindari. Jantungku berdetak tak karun, d**a bidangnya yang lebar sangat hangat dan nyaman. Membuatku merasa bahwa mati sekarang pun tak apa, setidaknya aku sudah pernah dipeluk orang tampan dengan cara yang halal. "Aku tidak tau apa yang terjadi padamu, tapi kumohon tepatilah janjimu untuk terus bersamaku sampai akhir hayat. Dan aku tidak ingin melihatmu terluka, karena itu juga akan melukai diriku." ucap Ravin lembut, sisi dia yang seperti ini malah membuatku semakin merinding. Perlahan aku melepaskan pelukannya. Kutatap kedua bola mata bening itu, hanya ada tatapan memelas. Dia benar, aku sudah berjanji untuk terus bersamanya. Walaupun aku tahu bahwa jika ingatan dan mentalnya kembali kita akan berpisah. Kini aku harus berpikir jernih seperti minum sprite, yang harus kulakukan pertama adalah membantu Ravin sembuh secepatnya, lalu urus para pendemo, ambil jalan tengah supaya pendemo dan Ravin bisa berdamai. Ayo selesaikan permasalahan ini satu persatu. Aku bertanya banyak hal kepada Pak Sabihis selama sarapan. Ternyata rumah sebesar ini hanya ditempati Ravin dan adik laki-lakinya yang bernama Okisena. Ravin diculik selama seminggu lebih dan selama itu pula Okisena tidak pulang. Dua tahun yang lalu ayah Ravin meninggal, sementara ibunya sudah meninggalkan rumah ini sejak lima belas tahun yang lalu, ketika itu Okisena masih berumur enam bulan dan Ravin berumur sebelas tahun. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD