Chapter 01

1642 Words
Setelah setengah jam berlalu, Evrard pun usai membersihkan diri di kamarnya. Tanpa membuang banyak waktunya untuk bersantai di kamarnya, kini Evrard telah menuruni satu per satu anak tangga menuju meja makan. Perutnya harus diisi terlebih dulu sebelum ia kembali berkutat dengan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawanya pulang. Ketika sudah berada lantai satu, ia spontan menghentikan langkah kakinya yang ingin menuju meja makan saat melihat seorang perempuan berjalan pelan sambil tangannya meraba-raba sesuatu. Evrard mengernyit ketika menyadari wajah perempuan tersebut sangat pucat dan kuyu. Penampilannya pun sedikit berantakan, seperti orang baru bangun tidur. “Wendy!” Evrard memanggil pengasuh yang khusus ia pekerjakan untuk melayani kebutuhan Lavender dengan nada cukup tinggi. Lavender kaget. Seketika ia menghentikan gerakan tangan dan langkah kakinya saat mendengar suara berat sekaligus tinggi milik laki-laki yang selama ini tidak pernah menganggap keberadaannya. “Ka-kamu sudah pulang?” tanyanya terbata. Di tengah keterkejutannya Lavender memaksakan bibirnya mengukir senyuman tipis ke sembarang arah, sebab ia tidak mengetahui keberadaan sang suami dengan pasti. “Hm,” Evrard hanya menanggapinya dengan gumaman enggan. Mendapat respons yang sangat jelas terdengar enggan, Lavender hanya mengangguk samar. Ia menggigit bibir bagian dalamnya untuk menyamarkan reaksinya, senyum tipis yang tadi tercipta pada bibirnya pun lambat laun memudar. “Iya, Tuan.” Wendy datang tergopoh-gopoh setelah mendengar panggilan tuannya. Setelah tiba di hadapan Evrard, ia melirik nyonya malangnya sedang berdiri canggung sekaligus kaku tidak jauh dari sang tuan yang dingin. “Saya menggajimu cukup tinggi untuk melayaninya, jadi lakukan pekerjaanmu dengan benar. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisinya, jadi jangan biarkan ia berkeliaran seorang diri baik di dalam atau di luar rumah,” ucap Evrard datar dan menatap Wendy yang kini menundukkan kepala. Mendengar perkataan datar Evrard, napas Lavender tercekat di tempat. Tubuhnya semakin menegang ketika merasakan pisau tak kasatmata menyayat perlahan dadanya sehingga menciptakan sembilu perih. Lavender mengepalkan dengan kuat kedua tangannya yang menggelantung di sisi pahanya untuk menahan air matanya. Lavender sangat menyadari keadaannya kini yang pastinya telah menyusahkan sekaligus menjadi beban untuk orang lain, tapi ia tidak pernah menghendaki kondisinya seperti sekarang. Setelah berhasil mengontrol diri serta menahan desakan air matanya, Lavender mencoba untuk bersuara walau nantinya akan terdengar parau dan lirih, “Jangan memarahi Wendy.” “Saya minta maaf, Tuan,” pinta Wendy dengan nada mencicit sekaligus takut. Selama bekerja menjadi pengasuh Lavender, Wendy juga jarang berinteraksi dengan tuannya tersebut. Bahkan, salam atau sapaannya pun sangat jarang mendapat tanggapan dari sang tuan yang wajahnya selalu tanpa ekspresi tersebut. Evrard mengabaikan ucapan Lavender. “Jika kamu tidak ingin saya pecat, maka jangan pernah mengulanginya lagi,” ancamnya penuh tekanan kepada Wendy. “Baik, Tuan. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Wendy mengangguk patuh tanpa berani mengangkat kepalanya. “Ini salahku, jadi marahi saja aku,” sela Lavender cepat. Lavender tidak tega mendengar Wendy dimarahi atau diintimidasi habis-habisan oleh Evrard karenanya. Walau tidak bisa melihat ekspresi wajah Evrard yang sedang memarahi Wendy, tapi ia dapat merasakan sekaligus membayangkannya dalam kegelapan. Tanpa melembutkan ekspresi wajahnya, Evrard langsung mengalihkan tatapannya ke arah Lavender yang masih bergeming di dekatnya. Matanya memindai penampilan sang istri dari atas ke bawah cukup lama. “Aku yang mengeluarkan uang untuk menggaji orang, jadi keputusan mutlak ada di tanganku. Termasuk dalam memecat orang yang tidak becus menjalankan pekerjaannya,” Evrard menanggapi selaan Lavender sambil mendekat ke arah sang istri. “Lagi pula aku hanya akan membuang energi dan waktu jika memarahi orang buta sepertimu yang ….” Kalimat yang diucapkan Evrard telanjur lepas dari mulutnya. Setetes cairan bening akhirnya jatuh dari pelupuk mata Lavender tanpa bisa ditahannya lebih lama. Ia terhuyung setelah mendengar kalimat yang terlalu menyakitkan terlontar dari mulut suaminya sendiri. “Wen, aku mau ke kamar. Tolong antar aku,” pintanya dengan suara tercekat kepada Wendy. “Baik, Nyonya,” Wendy menanggapi dengan cepat permintaan sang nyonya. “Saya permisi, Tuan,” pamitnya saat hendak membimbing langkah Lavender menuju kamar tidurnya yang berada di lantai satu. “Pelan-pelan, Nyonya,” pintanya pada Lavender yang melangkah dengan tergesa sambil bercucuran air mata. Evrard mengacak rambutnya yang masih setengah basah setelah melihat punggung Lavender mulai menjauh. Ia hanya mengendikkan bahu, kemudian kembali pada tujuannya semula ke lantai satu yaitu untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Lagi pula ia tidak menyesali ucapannya, mengingat semua yang terlontar dari mulutnya sesuai dengan kenyataan. *** Sambil mulai menikmati hidangan makan malam yang disiapkan oleh Leyna, pikiran Evrard melayang pada ingatannya sebelum mengucap janji suci dan menyematkan cincin pernikahan di jari manis Lavender di depan altar. “Ev, kamu harus menikahi Lavender,” ucap Jimmy tanpa basa-basi. Evrard tersentak mendengar ucapan laki-laki yang sangat dihormati sekaligus disegani di kediaman Pierre. Keningnya mengernyit dan menatap sang ayah yang duduk santai di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di ruang kerja ayahnya sesuai permintaan laki-laki paruh baya tersebut. “Bisa ulangi yang baru saja Papa ucapkan?” pinta Evrard dengan ekspresi dan nada antisipasi. “Papa ingin Lavender menjadi bagian dari keluarga kita, oleh karena itu kamu harus menikahinya,” Jimmy kembali berkata dengan santai sesuai permintaan Evrard. Jimmy menyadari permintaannya terlalu berlebihan kepada putra sulungnya, tapi ia mempunyai alasan kuat yang mendasarinya. Permintaannya tersebut juga sudah ia pikirkan secara matang dan tentunya dengan kepala dingin. Sebagai orang tua tunggal, ia hanya ingin mengupayakan agar anak-anaknya kelak bisa hidup bahagia bersama pasangan masing-masing. Walau umur ketiga anaknya sudah beranjak dewasa, tapi ia tidak ingin buah hatinya salah dalam memilih pasangan hidup. Evrard mendengkus mendengar permintaan konyol sang ayah. “Apakah Papa lupa jika aku telah mempunyai kekasih? Aku juga sudah pernah membawa Chelsea ke rumah ini dan mengenalkannya kepada Papa. Kami sudah mempunyai rencana untuk menikah dan membangun rumah tangga bersama, Pa,” beri tahunya sambil terkekeh dan menggelengkan kepala. Ia menganggap permintaan sang ayah hanyalah candaan semata. “Papa serius, Ev. Papa memintamu untuk menikahi Lavender.” Kini Jimmy mengubah ekspresi wajah santainya menjadi serius. Melihat ekspresi serius wajah ayahnya, senyum Evrard pun seketika luntur. “Bagaimana dengan Chelsea, Pa?” tanyanya datar. Sedatar ekspresi wajahnya. “Sudahi hubunganmu dengan Chelsea,” ucap Jimmy dengan tenang. Mata Evrard membeliak mendengar ucapan sang ayah yang sangat enteng. “Apa sebenarnya tujuan Papa? Kenapa Papa memaksaku melakukan tindakan yang sangat konyol dan di luar akal sehat?” tanyanya penuh selidik. Sebelum menjawab pertanyaan putra sulungnya, Jimmy menghela napasnya dalam. “Selain kecelakaan yang disebabkan oleh Flo membuat Lavender kehilangan penglihatannya, gadis malang tersebut juga harus berpisah dengan sang ibu selama-lamanya. Dengan keadaannya yang sekarang sangat mustahil ia bisa menjalani hidupnya seperti sebelumnya. Jika kamu menikahi Lavender, maka ia akan menjadi bagian dari keluarga kita dan tidak ada yang perlu Papa khawatirkan lagi menyangkut masa depan sekaligus hidupnya,” ungkapnya jujur. “Anggap saja pernikahanmu sebagai bentuk tanggung jawab keluarga kita terhadap Lavender atas kemalangan yang dialaminya,” imbuhnya. Evrard mengusap kasar wajahnya saat mendengar alasan sang ayah yang menurutnya sangat konyol. “Kenapa harus aku, Pa? Kenapa aku harus mengorbankan masa depan dan hidupku atas perbuatan yang tidak pernah aku lakukan?” tanyanya dengan nada yang mulai meninggi. “Jika bukan kamu, siapa lagi yang Papa minta untuk menikahi Lavender? Papa tidak mungkin meminta Ernest melakukannya. Kamu tahu sendiri adikmu itu masih berusaha keras menyembuhkan lukanya atas kehilangan yang dialaminya,” Jimmy tetap dengan tenang menanggapi reaksi anaknya yang mulai memperlihatkan emosinya. “Lagi pula Papa lihat Lavender merupakan gadis yang baik dan sopan. Papa yakin jika kamu bersanding dengannya, kalian akan menjadi pasangan yang sangat serasi,” imbuhnya. Evrard mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuannya. “Aku tidak akan pernah melakukannya. Jika ingin bertanggung jawab, cukup berikan saja perempuan itu uang untuk membiayai hidup dan pemulihan matanya. Jika nanti mendapat donor mata, Papa tinggal biayai saja operasinya. Tidak harus mengorbankan hidupku dengan menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban,” tolaknya tegas. “Menurutku perempuan yang paling tepat aku nikahi sekaligus menjadi pendamping hidupku adalah Chelsea, bukan perempuan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya itu,” sambungnya. Jimmy hanya menghela napas mendengar penolakan yang dilontarkan anak sulungnya. “Tadi Papa sudah sempat membicarakannya dengan Flo, dan ia sangat antusias mendengarnya. Bahkan, mendukung ide Papa tersebut. Flo berkata jika kamu menikahinya, maka ia merasa bebannya selama ini atas rasa bersalahnya akan sedikit terangkat,” beri tahunya. “Oh ya, Papa tidak membenci Chelsea, hanya saja Papa merasa ia kurang tepat menjadi pendamping hidupmu,” lanjutnya jujur. Setelah mendengar jika ternyata sang ayah telah membicarakan tentang rencananya kepada Florence terlebih dulu seketika membuat Evrard dilanda dilema. Di satu sisi ia sangat ingin melihat binar kebahagiaan di sorot mata sang adik yang sudah hampir setahun hilang karena kecelakaan yang dialaminya. Di sisi lain ia sungguh tidak tega mengatakan tentang rencana sang ayah kepada kekasih yang sangat dicintainya tersebut. Ia akan sangat menyakiti sekaligus melukai hati Chelsea jika menyampaikan rencana yang telah ayahnya susun dengan matang. Apalagi ia dan Chelsea sudah sepakat ingin membawa hubungan mereka pada jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Bahkan, ia juga telah menyiapkan sebuah hunian yang akan dijadikan tempat berteduh dengan Chelsea setelah mereka resmi menikah. Rencananya di rumah tersebut ia dan Chelsea akan hidup bahagia bersama anak-anak mereka nantinya. “Aku lelah, Pa,” ucap Evrard setelah menggeleng-gelengkan kepalanya yang tiba-tiba pening karena pembahasan sang ayah yang tak terduga. Jimmy mengangguk. “Istirahatlah, Ev,” ucapnya sebelum putra sulungnya berjalan menuju pintu kamar. Untuk saat ini Jimmy tidak akan mendesak atau memaksa Evrard agar langsung menuruti dan merealisasikan permintaannya. Ia akan memberikan waktu kepada Evrard untuk memikirkan dan menelaah permintaannya yang secara tiba-tiba. Walau nanti Evrard tetap menolak permintaannya, maka ia pun akan menggunakan jalan terakhir yaitu memaksanya. Evrard pasti menganggapnya egois sebagai orang tua, tapi demi kebaikan sang anak, ia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Di antara dua anak laki-laki yang dimilikinya, Jimmy menjadikan Evrard sebagai tangan kanannya dalam mengurus perusahaan. Selain berwajah dingin dan kaku, Evrard sangat disegani di kantor maupun oleh partner bisnisnya. Penyebabnya tidak lain karena Evrard mempunyai tingkat kedisplinan tinggi dan ketegasan yang memadai sebagai pemimpin perusahaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD