Part 2

980 Words
Liandra berlari kecil memasuki ruang loker Restoran berlantai dua itu dengan tubuh menggigil, mengutuk Gio yang tidak bisa meninggalkan bar setidaknya mengambil jaket atau mantel hangat untuknya. Apa dia ingin mati, huh? Liandra menghembuskan nafasnya lega saat menemukan benda yang memang tertinggal di lokernya, berharap menemukan apapun yang bisa menghangatkan tubuhnya namun yang tertinggal memang hanya setelan pelayan rok dan kemeja berwarna sampanye disana. Benar benar. Liandra bergegas keluar, kembali menutup pintu ruang loker dengan hati hati, berbalik cepat hingga membentur tubuh tegap yang membuatnya terhuyung. Nyaris menjerit keras saat ia mendongak dan menemukan sepasang mata tajam yang beberapa saat lalu ditemuinya sedang menatapnya curiga. Brengsek! "Apa yang sedang kau lakukan?" Liandra mengerjap, nyaris terbius aroma lemon memabukkan yang membuatnya diam diam menghirup udara dengan rakus. "Aku?" "Apa yang sedang kau lakukan, Nona?" Pria itu kembali bertanya dengan suara rendahnya, menatap yang Liandra membuka bibir ranumnya namun tak kunjung mengatakan apapun. "Nona?" "Bukankah aku yang harus bertanya? Apa yang-" Liandra terkesikap, menatap sebotol anggur ratusan dollar dalam genggaman pria tampan dihadapannya hingga kepalanya mulai dipenuhi ratusan kemungkinan gila yang membuatnya nyaris menjerit keras kalau kalau pria itu tidak mengeluarkan Keycard bergambar sulur emas dari sakunya. "Aku penghuni Penthouse diatas." "A-pa?" "Aku akan kembali mengulang pertanyaanku, apa yang sedang kau lakukan di malam selarut ini?" Pria itu kembali bertanya dengan suara rendah yang kini mulai terdengar penuh penekanan. "Aku melupakan dompetku?" Pria itu meruntuhkan sikap tenangnya, menatap Liandra dengan dingin membuatnya diam diam beringsut menjauh hingga punggungnya menyentuh pintu ruang loker. Mengutuk jawaban yang sialnya terdengar seperti pertanyaan meragukan. "Apa aku terlihat seperti bermain main saat ini?" "Tidak." "Maka jawab aku dengan benar." Liandra mengangkat wajahnya, kali ini menatap sepasang mata tajam yang masih menatapnya dengan dingin. "Aku memang melupakan dompetku." Sahut Liandra bersungguh sungguh namun yang ia temukan hanya alis tegas yang mulai terangkat dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. "Apa itu terdengar masuk akal setelah melihatmu di club dengan.." Pria itu mendekat dengan tiba tiba, menunduk dan menghirup udara disekitar mulut Liandra yang kembali terksikap menahan nafasnya. ".. aroma sampanye?" Liandra benar benar tidak memperhitungkan apapun yang akan dilakukan pria yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Tunggu tunggu. Liandra mendorong d**a bidang itu dengan kuat hingga membuatnya mundur selangkah, berkacak pinggang sebelah tangan seraya membalas tatapan pria dihadapannya dengan berani. "Maaf, Tuan. Meskipun kau penghuni Penthouse diatas, kau sama sekali tidak berhak mengambil apapun dari Restoran ini!" "Kau belum menjawabku." "Aku mungkin hanya pelayan di Restoran ini, tapi aku sama sekali tidak bisa membiarkanmu masuk begitu saja dan mengambil anggur di-" Tunggu. Bagaimana bisa pria itu tahu tempat penyimpanan anggur? "Bagaimana-" "Kau ingin pergi atau menghubungi Reyhan dan mendengar jawabanmu?" "Tidak!" Liandra memekik pelan, mengutuk dalam diam saat mendengar nama pemilik Restoran sekaligus head chef yang akan berpotensi memecatnya. Reyhan? Apa mereka sedekat itu? Brengsek! Apa kau masih mabuk, Liandra? "Tidak untuk apa?" "Aku akan pergi." Sahut Liandra nyaris menggumam, pria itu mengangguk pelan melirik arlogi yang melingkar di lengan kokohnya sebelum kembali menatap Liandra. Kali ini benar benar menatapnya, gadis bermata indah dengan celana pendek berkaus tipis, rambut yang diikat asal, dompet mungil dalam genggamannya dan.. ..alas kaki rumah? Ah, sepertinya gadis itu tidak hanya melupakan dompetnya. Pria itu menggeleng pelan tidak habis pikir, meletakkan botol anggurnya diatas meja hias dibawah lukisan sederhana didekatnya dan melepas mantel hangatnya. "Apa yang kau lakukan?" Liandra mengerjap, menangkap dengan sigap mantel hangat yang di lemparkan pria yang kini menyembunyikan tangannya kedalam saku celananya dengan tatapan tenang. Tampak lelah atau mungkin menyerah terhadap Liandra. Tentu saja, bodoh. Kau pikir pukul berapa sekarang? "Pergilah." "Tapi-" "Apa kau ingin melanjutkan ini nanti atau menunggu Reyhan dan memecatmu?" "Tidak!" "Bagus, sekarang pergilah." "Terimakasih." Gumam Liandra, tidak ingin membuat pria dihadapannya kembali berubah pikiran dan bergegas beranjak sebelum suara rendah menyesatkan itu kembali mengalun memenuhi indra pendengarannya. "Siapa namamu?" Liandra menghentikan langkahnya, menoleh, saling melemparkan tatapan perhitungan lalu memilih membuka suara. "Liandra." "Aliandra Melvada." ** Penthouse tepat diatas Restouran itu masih tampak gelap, tirai tirai bergerak pelan, menari bersama angin yang berhembus dari kaca jendela yang terbuka. Ketukan sepatu dan lantai bahkan tidak mampu meredam kesunyian yang selama ini bersemayam disana, sesuatu yang tidak asing lagi bagi sosok jangkung yang berdiri diantara kegelapan. Lengan liat itu terangkat manyibak tirai yang menahan cahaya tamaram yang mulai berlomba lomba memenuhi sisi ruangan, menggeser kaca penghubung dan melangkahkan kaki panjangnya tanpa keraguan. Langit tampak senduh, angin dingin bahkan masih tak mampu bersahabat merengkuh tubuh kokoh yang terbalut kemeja itu. 10 tahun berlalu. Dan Seorang Naetra hanya mampu berdiri disini menyaksikan gedung raksasa dihadapannya terus tumbuh tanpa dirinya. "Liandra?" Liandra? Teriakan suara berat itu membuat Naetra menghela nafasnya, menghamburkan isi pikirannya hingga ia perlahan mendekat kesisi pembatas. Gadis yang sedang berdiri disisi pintu Restoran itu menoleh mentap pria dengan hoodie abu abu yang melangkah mendekat kearahnya. "Aku lapar." "Bukankah kau harus menyapaku lebih dulu? Menanyakan keadaanku dan mencemaskanku sebelum mengatakan isi kepalamu yang selalu memikirkan makanan?" "Apa kau mabuk? atau mungkin kau sudah tidak waras? ah, yah. Kau memang tidak waras." "Kau ingin mati!?" "Kau yang akan mati kedinginan." Pria itu membentangkan mantel hangat ditangannya, membungkus tubuh gadis yang masih mengenakan mantel yang ia berikan pada gadis itu beberapa saat yang lalu. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" "Aku ke club-" "Club!?" "Liandra." "Bukankah aku sudah memperingatimu, Athar?" Pria itu tampak melemaskan bahunya menyerah, mengancing mantel pertama gadis itu lalu mengeratkan mantel terluar dengan tenang. "Kau melarang semua orang ke club, tapi kau sendiri selalu saja ke tempat itu." "Itu karna-" "Ayo pulang." Keduanya menghilang di belokan gang, meskipun suara teriakan mereka masih terdengar samar ditelinga Naetra yang diam diam menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Dimana Reyhan menemukan gadis pelupa mencurigakan itu? Getaran di sakunya membuat Naetra mengalihkan perhatiannya pada benda persegi dalam genggamannya, membaca pesan singkat yang seketika membuatnya kehilangan akal. Aku merindukanmu. Katakan. Bagaimana bisa Naetra mengabaikan satu satunya manusia yang akan selalu merindukannya? **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD