“Lo bukan kelompok gue!”
“Lo nyebelin ya. Gue kan sekelompok sama lo!” jawab Auryn mulai kehabisan kesabaran.
“Selamat pagi.”
Sapaan Bu Armin membuat para siswa yang sibuk mengobrol seketika menghentikan kegiatan mereka. Auryn buru-buru duduk di samping Virgo. “Pokok gue sekelompok sama lo. Kalau enggak gue nggak bisa praktikum,” bisiknya final.
“Kalian sudah membawa peralatan seperti yang Ibu pinta?”
Virgo mengangkat tangan. Membuat Bu Armin dan beberapa siswa menatap ke cowok pendiam itu. “Saya izin bekerja individu, Bu.”
Perkataan Virgo membuat Auryn mengangkat wajah. Gadis itu menarik lengan Virgo tapi cowok itu sama sekali tak menoleh, melirikpun tidak.
“Lo apaan sih,” bisik Auryn pelan.
Bu Armin menatap Virgo dan Auryn bergantian. “Kenapa kamu ingin bekerja individu, Virgo?”
Virgo menurunkan tangannya, barulah dia melirik Auryn. Setelah itu Virgo menatap Bu Armin seraya menjawab. “Auryn tidak membawa perlengkapan, Bu. Saya bisa bekerja sendiri.”
Bola mata Auryn berputar. Dia kesal dengan cowok tukang adu di sampingnya itu. Belagu banget nih cowok.
Bu Armin menatap Auryn menuntut jawaban. “Benar kamu tak membawa peralatan, Auryn?” tanyanya. “Meski ini tugas kelompok tetap membawa peralatan, sesuai yang tertera di catatan saya minggu lalu,” lanjutnya sambil membuka buku paket. Dan memperlihatkan peralatan yang harus dibawa.
Auryn melirik Virgo sebel. Setelah itu menjawab. “Saya lupa. Bu.”
Bu Armin membuang napas panjang. “Kamu tidak lupa kan jika ada siswa yang tak membawa bahan praktikum, maka konsekuensinya apa?”
“Nggak ikut praktikum,” jawab Virgo pelan, tapi mampu didengar Auryn.
Auryn mengepalkan tangannya. Baginya ini semua karena Virgo yang tukang adu itu. Dulu saat bersama Wiska, Auryn jarang membawa peralatan untuk praktikum. Namun Wiska diam saja, malah memberi bantuan. Nggak kayak cowok di samping Auryn itu.
“Jadi kamu tahu kan artinya apa, Auryn?” tanya Bu Armin saat tak ada respons berarti dari gadis yang bersalah itu.
Buru-buru Auryn berdiri. Dia merasa seluruh pasang mata menatapnya, membuatnya jengah. “Baik, Bu saya keluar,” katanya.
“Gue udah ingetin lo dari semalem,” suara Virgo samar-samar terdengar.
Auryn mendengus lalu berjalan keluar. Sampai di luar, Auryn mencak-mencak sambil mengepalkan tangan. Dia sangat kesal dengan cowok bernama Virgo itu. Auryn lalu mengambil ponselnya, membuka Line dan melihat chat yang tertimbun dari dua pacarnya.
Virgo Ansav: besok bawa alat sendiri. Kita nggak sekelompok.
Sontak Auryn menepuk keningnya. Kesalahan dia tak membaca chat itu. Kalau semalam sempat membuka chat itu mungkin sekarang dia sedang praktikum. Sialnya cowok Auryn tak bisa praktikum dan cowok tadi sama sekali tak membantu.
“Tunggu aja pembalasan gue!”
***
Tring!!
Bel istirahat berbunyi. Auryn memakai tasnya di punggung lalu keluar dari persembunyiannya—UKS. Setelah tadi keluar dari lab, gadis itu memilih berbaring di brankar UKS. Menurutnya tak ada gunanya menyesal terlalu dalam. Jadi dia memilih santai-santai sambil berselancar di dunia maya.
Auryn berjalan ke arah berlawanan dari arah kelasnya. Dia ingin mengisi perutnya yang keroncongan.
“Ryn!!”
Saat berbelok ke kantin Auryn mendengar suara Yohan. Gadis itu menoleh dan melihat pacar pertamanya itu berlari ke arahnya.
“Kok bawa tas? Habis praktikum?” tanya Yohan sambil menatap Auryn dari atas sampai bawah.
Auryn tak langsung menjawab. Dia menarik lengan Yohan dan berjalan masuk kantin. Mereka duduk di meja paling dekat, lalu Auryn menghempaskan tubuhnya di kursi berwarna orange itu.
“Gue sebel,” adunya.
Yohan memperhatikan wajah pacarnya yang memerah itu. “Sebel kenapa? Cerita sama gue.”
Tangan kiri Auryn menyangga dagu. Dia lalu menatap meja kantin dengan tajam. “Gue gagal paktikum. Kalau nilai gue jeblok gimana? Bisa kena marah papa.”
Yohan memutar tubuhnya, hingga duduk menghadap Auryn. Satu tangannya menyentuh pundak Auryn beberapa kali. “Emang kenapa kok sampe nggak bisa ikut paktikum?”
“Ya gara-gara Virgo itu! Tukang ngadu.”
Cerita Auryn yang sepotong-sepotong membuat Yohan bingung sendiri. “Ngadu gimana?”
Auryn mengangkat wajanya lalu menyibak tangan Yohan dari pundaknya. “Pesenin makanan dulu. Gue laper!!”
Tanpa banyak protes Yohan berdiri dan berjalan ke stan bakso.
Sambil menunggu Yohan, Auryn memilih mengedarkan pandangannya. Dia melihat adik kelasnya yang dulu pernah memintanya memberi bekal ke Virgo. Buru-buru Auryn mengalihkan tatapannya, sama sekali tak mau ingat hal-hal yang mengubungkannya dengan Virgo.
“Nih bakso pesenan lo,” kata Yohan sambil meletakkan bakso dengan kuah yang berubah menghitam karena kebanyakan kecap itu.
“Makasih.”
Auryn menyendok kuah hitam itu dan menyeruputnya pelan. Makan bakso tanpa kecap, rasanya kurang nikmat, begitu yang sering diucapkan Auryn.
“Jadi masalahnya apa?” tanya Yohan lalu menyantap bakso dengan kuah bening tanpa campuran saos, kecap maupun sambal.
“Gue boleh duduk sini?”
Pertanyaan itu membuat Auryn dan Yohan menoleh. Mereka melihat Redo duduk dengan mangkuk putih di hadapann lelaki itu. Merasa sedang di perhatikan, Redo menatap dua orang di depannya itu.
“Nggak ada meja lain. Jadi gue duduk sini,” kata Redo sambil mengedarkan pandangan. Tak terlihat meja lain kosong. Selalu penuh dengan siswa-siswa yang kelaparan.
Maksudnya apaan sih nih anak, batin Auryn kesal. Dia mengalihkan tatapannya dan kembali menatap Yohan dengan gelisah. Yohan sendiri sejak tadi hanya fokus ke Auryn. Cowok itu tak peduli dengan kehadiran Redo.
“Gue sekelompok sama dia, tapi gue nggak bawa kodok buat praktikum. Eh dia ngadu. Terus ya gitu, gue nggak bisa ikut praktikum,” cerita Auryn dengan kedua tangan terkepal.
Baik Yohan maupun Redo ikutan kesal mendengar cerita Auryn. Dua cowok itu tak terima ulah Virgo ke Auryn.
“Gue bakal bales!” kata Yohan dan Redo bersamaan.
Auryn yang sebelumnya menunduk sektika mengangkat wajah. Dia menatap Yohan yang sekarang menatap Redo.
“Ngapain lo ikut-ikut?” tanya Yohan tak suka.
Redo mengangkat bahu pelan. “Gue ikutan kesel aja. Masa ada cowok tukang ngadu kayak gitu.”
Yohan menatap Redo dengan pandangan menyelidik. Yohan lalu menggeleng pelan. Tak ingin terlalu membahas kalimat Redo.
Diam-diam Auryn menatap Redo tajam. Bagi gadis itu, pacar keduanya itu terlalu ikut campur dan menatang.
“Gue nggak terima sikap dia yang gitu ke lo. Gue bakal ngomong ke dia,” kata Yohan sambil melingkarkan lengannya ke pundak Auryn.
Auryn melihat Redo yang mendengus. Arah pandang Auryn lalu tertuju ke pacar pertamanya. Gadis itu mengangguk dengan seulas senyum.
“Nah gitu dong senyum. Kan jadi cantik,” kata Yohan sambil mengusap puncak kepala Auryn.
Brak!
Gebrakan itu membuat Auryn dan Yohan menoleh. Redo mendorong semangkuk bakso lalu memilih pergi.
“Aneh lo, Do!” gerutu Yohan.
Auryn memijit pelipisnya. “Tahu tuh temen lo aneh. Bikin makin pusing aja.”
Tangan Yohan terangkat, mengusap puncak kepala Auryn berkali-kali. “Jangan ngambek. Nanti gue beliin croissand sama flat white.”
Tawaran itu membuat Auryn mengangguk. “Thank you, Yohan. Lo pacar paling pengertian,” jawabnya. Nggak kayak Redo yang aneh itu.