Bag 2 - Memilih Pergi

1159 Words
Sebuah janji yang pernah sang Ayah katakan kepadanya, bahwa ayahnya akan bertanggung jawab atas hidup mereka. Ayahnya akan selalu mengutamakan mereka. Dan, ayahnya akan selalu bertanggung jawab atas nafkah yang memang harus ia berikan. Namun, janji itu hanyalah sebuah kata-kata yang tak pernah ditepati, janji yang dikeluarkan hanya karena sudah kepepet, beberapa kali Irene meminta ayahnya untuk berhenti berjudi, namun ayahnya itu tetap melakukannya. Apalagi yang bisa ayahnya lakukan selain berjudi, terkadang menang dan kebanyakan kalah pertarungan. Semua ini harusnya menjadi tugas ayahnya. Namun, ia harus menangggung semuanya. Irene tengah mengepak semua pakaiannya ke dalam tas bututnya, wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam karena harus berpisah dengan keluarganya, andai ia bisa memilih, ia ingin menjalani kehidupan yang biasa tanpa di tuntut menjadi sempurna oleh orangtuanya. Namun, hidupnya bergantung pada kedua orangtuanya, ia hanya bisa menahan segala hasrat dalam dadanya untuk menjalani hidup penuh dengan kebebasan. Sebagai anak, Irene tak pernah meminta hal lain, selain kebebasan memilih jalannya sendiri. Haruskah ia yang bertanggung jawab atas tugas ayahnya? Irene terkejut mendengar suara barang-barang pecah di luar sana, Irene memegang dadanya dan tidak berani keluar. Karena sudah pasti terjadi lagi pertengkaran antara Ibu dan ayahnya. “Sudah Bapak katakan, Bapak berjudi karena berusaha mendapatkan uang yang banyak,” kata Herman, ayah kandung Irene. "Kenapa sih kamu nggak pernah ngerti?" “Bapak berusaha? Kapan Bapak berusaha? Setiap hari yang Bapak lakukan adalah menghabiskan banyak uang dan tidak pernah memikirkan kami.” “Bu, kenapa harus mengirim Irene pergi? Kenapa Ibu menyuruh Irene menjadi TKW? Kenapa, Bu? Dengan Ibu seperti ini, sama saja Ibu menjual harga diri Irene,” tanya Herman. “Ibu tidak takut jika diluar sana Irene malah salah jalan? Di bunuh? Di perkosa dan terlantar? Ibu gak takut?” “Hanya Irene harapan kita satu-satunya, Pak. Bapak harusnya mendukung Ibu, bapak aja yang kepala rumah tangga gak mikirin kami, kenapa Bapak ngelarang Ibu mengirim Irene pergi? Bapak harusnya mendukung Ibu, apalagi Bapak sudah Ibu kasih uang 5juta untuk judi Bapak, pikirkan judi saja, Pak, gak usah mikirin apa pun, yang penting Bapak gak ikut campur.” “Bapak tiap hari memang main judi tapi bapak sayang sama anak-anak.” “Pak, hanya Irene harapan kita, kata Madam Luna kalau Irene bekerja dengannya, Irene akan mendapatkan uang yang banyak. Jadi, kita bisa pindah dari rumah busuk ini, Ibu udah gak sanggup tinggal di sini dan membayar kontrakkan setiap bulan.” Herman mengelus jidatnya, meskipun ia bukan kepala rumah tangga yang baik tapi Herman tidak ingin anak-anaknya salah jalan, ia ingin yang terbaik untuk anak-anaknya, meskipun anak-anaknya harus bercermin pada sikapnya yang gagal menjadi Ayah yang baik. “Bapak gak suka Ibu mengirim Irene pergi,” kata Herman lalu membanting semua yang ada didepannya, membuat Irene yang kini tengah mengepak barang-barangnya hanya bisa menelan ludah. “Kenapa Bapak kayak gini sih? Bapak bisa bayar rentenir 30 juta? Bapak bisa? Kalau Bapak bisa, Ibu akan mengembalikan uang Madam Luna.” Herman bingung dan terus mengelus jidatnya. Irene keluar dari kamarnya dan melihat pertengkaran itu didepannya, sementara kedua adiknya berkurung diri di kamar orangtuanya. “Kenapa Bapak sama Ibu bertengkar? Kenapa Bapak sama Ibu gak bisa tenang dikit? Lusa Irene akan pergi, Pak, Bu, jadi Irene ingin kedamaian dan ketenangan, bukan malah mendengar Ibu dan Bapak setiap hari bertengkar.” Irene menatap keduanya. Herman menitikkan airmata dan menghampiri putrinya, lalu memegang kedua tangan putrinya itu. “Nak, jangan pergi, kamu gak boleh pergi kemana-mana, Bapak gak rela kamu kerja menjadi seorang TKW di usiamu yang masih muda ini, Bapak akan mencari cara untuk mendapatkan banyak uang agar kamu gak pergi ninggalin Bapak.” “Pak, Irene udah mutusin buat pergi. Kan nanti Irene akan kasih kabar ke Bapak, ke Ibu. Jadi, Bapak sama Ibu gak usah khawatir. Doain Irene kalau Irene pergi dan melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, nasib kita akan berbeda.” “Tapi, tidak mengirim kamu ke luar negeri juga, Nak.” “Bapak gak usah khawatir, Irene bisa kok jaga diri sendiri, Irene kan udah dewasa.” “Kamu yakin, Nak?” “Mau gimana lagi dan bagaimana Irene gak yakin kalau kita banyak hutang.” Herman menangis di pelukan putrinya, wajahnya penuh dengan penyesalan, ia yang membuat keluarganya seperti ini. Ia tidak punya pilihan lain selain menyetujui keinginan Irene yang akan pergi mengadu nasib demi mereka semua. Irene benar-benar tidak pernah bahagia semenjak lahir, Irene di tuntut menjadi sempurna dan menjadi anak yang baik selama ini, sementara ia tidak pernah menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya. Setiap hari yang ia lakukan akan berjudi sampai utangnya di rentenir membukit dan menjadi gunung yang besar, jadi kepergian Irene lusa, semua itu karena salahnya. “Ibu jahat,” lirih Herman. “Ibu yang jahat? Bukannya Bapak yang jahat? Bapak main judi sampai berhutang pada rentenir, sungguh itu pukulan berat bagi keluarga kita. Untung saja hanya Irene yang pergi dan mau mengadu nasib demi kita, bagaimana kalau andaikan Ibu yang ninggalin bapak aja?” “Astagfirullahul adzim. Bu, istigfar,” kata Irene. “Kalau Ibu dan Bapak masih bertengkar, Irene akan pergi saja malam ini.” “Jangan, Nak, jangan pergi,” lirih Herman. “Bapak janji gak akan bertengkar lagi dengan ibumu.” Irene membuang napas halus dan berkata, “Irene pergi dulu, Pak, Bu, Irene mau bertemu dengan Dian,” kata Irene. “Jangan bertemu dengan Niko,” kata Santi membuat Irene menoleh. “Memangnya kenapa kalau Irene bertemu dengan Niko?” “Irene, Niko itu bisa menjadi penghalang dan memintamu untuk gak ninggalin tempat ini.” “Bu, Niko gak akan melakukan itu, Irene tahu betul bagaimana Niko. Niko pasti akan melakukan itu, tapi kalau itu udah keputusan Ibu dan Bapak, Niko gak akan pernah melarangku,” kata Irene. “Irene, Ibu gak pernah melarangmu mau menjalin hubungan dengan siapa, tapi jangan pernah mencintai laki-laki yang hanya modal omongan doang. Coba kalau kamu minta uang ke Niko, di kasih gak?” “Bu, jangan ngomong gitu, Irene gak akan pernah minta uang ke Niko.” “Bu, udah deh. Gak usah bertengkar lagi, Irene itu udah mau pergi lusa, jadi jangan ganggu dia, biarkan saja dia bertemu dengan Dian dan Niko.” Santi menghela napas panjang dan menganggukkan kepala. “Irene pergi dulu. Assalamu’alaikum,” ucap Irene. “Wa’alaikumssalam,” jawab Herman dan Santi secara bersamaan. Irene lalu ke kios Dian. Orangtua Dian punya kios besar di kampung ini, jadi Dian setiap hari akan menjaga kedai ibunya, kalau bukan Dian, pasti Niko. Irene tiba di kios Dian dan berucap, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumssalam.” Dian keluar dari kiosnya dan tersenyum melihat Irene. “Irene? Aku dan Kak Niko hampir saja ke rumahmu.” “Benarkah?” “Iya. Tapi kalau kamu udah di sini, aku sama Kak Niko gak jadi kemari. Bentar aku panggilin Kak Niko ya, kayaknya udah pulang dari masjid deh.” “Eh jangan, Dian, gak usah. Aku kemari mau bertemu dengan kamu.” “Kak Niko lagi di masjid belakang sih, tapi udah balik,” kata Dian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD