Salma turun di depan restoran tempat dia membuat janji temu dengan orang yang dijodohkan dengannya. Jam menunjukkan pukul 7 malam, waktu yang tepat untuk makan malam. Salma baru saja pulang dari kantor dan langsung menuju ke sini tanpa berganti baju. Dia membiarkan penampilannya yang terkesan hanya seadanya. Blazer merah dipadukan dengan rok hitam span selutut yang membungkus tubuh mungilnya.
Sepanjang perjalanan dari kantor menuju restoran, otak Salma tak bisa berhenti berpikir mengenai tindakan orang tuanya. Salma heran dengan pemikiran kedua orang tuanya. Kenapa mereka jadi separno ini memikirkan dirinya yang tak kunjung menikah di usianya yang hampir mencapai kepala tiga. Padahal selama ini orang tuanya tak pernah peduli dengan kehidupan Salma. Kenapa tiba-tiba mereka jadi sok peduli begini?
Oh, ayolah, bahkan semua orang disekitarnya mulai menyudutkannya perihal jodoh ketika usianya bertambah satu tahun tempo hari. Tidak di kantor, tidak di rumah, sama saja. Mereka akan menyangkut pautkan segala hal yang Salma lakukan dengan jodoh hingga membuat kuping Salma panas. Padahal Salma merasa hidupnya akan baik-baik saja tanpa menikah. Kenapa semua orang merepotkan hal yang tak penting seperti ini?
Menikah itu sesuatu yang merepotkan bagi Salma. Bagaimana tidak? Ketika menikah kita diharuskan untuk hidup bersama satu orang pria. Menghabiskan sisa hidup kita dengan orang yang sama setiap harinya. Are you kidding me? Dia adalah wanita bebas, yang setiap bulan dapat bergonta-ganti pasangan berbeda jika dia sudah bosan. Dan sekarang ketika umurnya semakin bertambah kenapa orang-orang seakan ingin merampas kebebasan yang dia jalani?
Yah, inilah alasan Salma berada di tempat ini. Apalagi kalau bukan untuk memenuhi permintaan orang tuanya soal perjodohan. Hah! Mendengarnya saja terasa geli di telinga Salma. Seumur hidup Salma tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini. Dulu dia sering menertawakan teman kantornya yang mau saja dijodohkan karena tak kunjung mendapatkan jodoh. Namun, ketika merasakannya sendiri, ini tidak terlihat seperti lelucon yang patut ditertawakan. Sekarang dia seperti termakan karmanya sendiri.
Salma membuka pintu kaca yang membentang di depannya. Matanya menyapu seluruh ruangan yang dipadati pengunjung restoran, mencari sosok pria yang ciri-cirinya mirip dengan yang disebutkan mamanya. Menyerah karena tak kunjung menemukan sosok pria itu, akhirnya Salma mengambil jalan terakhir yaitu menghubungi nomor pria itu.
Salma memandang lama deretan angka yang dikirimkan mamanya tempo hari. Lama dirinya bergelut dengan pikirannya sendiri, sampai akhirnya jarinya menyentuh ikon telepon yang berada di pojok kanan layar ponselnya. Salma enggan berbasa-basi dengan mengetikkan pesan di kolom chat yang masih kosong tersebut. Akan lebih baik urusan ini dapat diselesaikan secepatnya.
Satu detik.
Dua detik
Tiga detik.
"Halo?" sebuah suara yang tak asing menyapa telinga Salma. Tanpa sadar dirinya menelan ludah mendengar suara berat nan seksi yang menyapa gendang telinganya? Dia jadi teringat seseorang. Salma menggeleng, tidak mungkin dia. Itu tidak mungkin.
"Halo, saya Salma. Apa benar ini dengan Ardan?"
"Ya."
"Saya sudah sampai di restoran," tutur Salma menginformasi.
"Saya duduk di meja no 58. Arah kanan dari pintu masuk."
Salma mengarahkan pandangannya sesuai informasi dari pria itu. Matanya menemukan sosok pria berkacamata dengan setelan kemeja biru muda sedang duduk di antara ramainya pengunjung. Lengan kemejanya digulung sampai siku, memperlihatkan otot tangannya yang kekar.
Namun, tunggu dulu. Kenapa rasanya Salma tak asing dengan wajah pria itu. Dia merasa pernah bertemu dengan pria itu, tetapi dimana?
"Apa ini benar dengan Ardan?" ucap Salma memastikan.
Pria yang tadinya fokus dengan ponsel yang ada di tangannya mendongak ketika seseorang menginterupsinya.
Salma bisa melihat keterkejutan dari ekspresi wajah pria itu, begitu pula dengan dirinya. Namun, hanya seperkian detik, karena selanjutnya pria itu tersenyum lalu berdiri dan mengulurkan tangannya pada Salma yang masih terpaku di tempatnya.
"Hai, kita ketemu lagi."
Tunggu, jangan-jangan dia benar pria itu?
Oh, holy s**t! Kenapa Salma harus bertemu dengan pria itu sekarang?! Dan kebetulan macam apa ini? Jadi pria asing yang ditemuinya di bar kemarin adalah pria yang sama yang akan dijodohkan mama dengannya? Kenapa semesta sejahat ini padanya. Mau ditaruh di mana muka Salma sekarang?
Salma tersenyum canggung, kemudian membalas uluran tangan pria itu yang terlalu lama dianggurkan. "Hai."
"Ternyata dunia selucu itu ya mempertemukan kita berdua di situasi yang tidak terduga."
Salma tertawa kikuk menganggapi. "Ya begitulah."
"Oh iya, silakan duduk."
Salma duduk di depan pria itu. Dia berdeham pelan untuk mengusir suasana canggung yang tiba-tiba menyergap. Demi apapun seumur hidup ini adalah suasana paling awkward yang pernah Salma alami.
"Oh, iya kamu mau pesen makan apa?" tanya Ardan.
"Samain aja sama kamu."
Ardan membuka-buka buku menu yang ada ditangannya, kemudian memesan makanan yang paling recommended di restoran itu.
"Kamu makan daging kan?" tanya Ardan memastikan. Sepertinya dia memesan makanan yang bahan dasarnya adalah daging dan takut pilihannya salah kalau-kalau Salma vegan.
"Hm, gue pemakan segalanya kok. Hidup gue ngga sesehat itu."
"Gue?" Ardan memastikan pendengarannya.
"Hm? Kenapa?"
"Kamu tadi ngomong gue?"
Salma baru sadar dengan apa yang diucapkannya tadi. Menurutnya hubungannya dengan Ardan tidak akan berlanjut setelah ini, apalagi setelah insiden itu. Salma bahkan berniat menghindar jauh-jauh dari pria itu. Jadi, dia pikir tak perlu bersikap terlalu sopan dengan panggilan aku-kamu yang cenderung digunakan untuk hubungan yang intens.
"Oh, maaf, kita bisa bicara santai aja kan? Udah kebiasaan soalnya."
Ardan mengangguk maklum. "Tapi aku bakal tetep manggil aku-kamu."
"Hm, terserah."
Mereka mengobrol banyak setelah itu. Salma baru mengetahui bahwa Ardan adalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang otomotif. Perusahaannya termasuk dalam perusahaan baru dan sedang berkembang saat ini. Hanya itu yang Salma tau karena Ardan tak terlalu banyak menceritakan dirinya sendiri, pria itu lebih aktif bertanya tentang Salma dibanding menceritakan tentang kehidupannya.
First impression-nya terhadap Ardan cukup baik karena hal itu. Jarang sekali ada orang yang tidak sibuk membanggakan dirinya sendiri ketika bercerita dengan orang lain. Jujur saja jika Ardan berlaku seperti itu mungkin Salma akan langsung illfeel dan penilaiannya terhadap pria itu langsung menurun drastis. Sungguh Salma benci orang yang overproud dan sibuk menceritakan kelebihan diri sendiri.
"Mau aku anterin pulang ngga?" tanya Ardan ketika mereka selesai makan dan keluar dari restoran.
"Oh, ngga perlu, gue bawa mobil kok."
"Oke deh, see you next time. Hati-hati di jalan ya."
Salma tersenyum kikuk. "Oke gue balik duluan."
Dalam hati Salma menertawakan ucapan Ardan tadi. See you next time katanya? See you next time dari hongkong! Pria itu percaya diri mengira mereka akan bertemu lagi. Padahal Salma sudah punya rencana untuk menjauh dari pria itu. Ini yang terakhir dan tidak akan pernah ada pertemuan-pertemuan lain dengan Ardan, kecuali kalau semesta sedang bercanda pada dirinya dan membuat ketidakmungkinan itu menjadi kenyataan. Siapa yang tahu 'kan?
***