BAB 2

1415 Words
          Alena selalu menyukai baju warna hitam. Dia lebih sering mengenakan  turtleneck hitam dengan lengan panjang. Jeans hitam. Bola mata sehitam kegelapan. Rambut lurus hitam legam. Alena jarang menggerai rambutnya. Dia lebih senang menguncir rambutnya dengan asal atau mencepolnya natural hingga anakan rambutnya berantakan di tengkuk wajahnya.             “Aku akan membeli makanan untukmu, kamu jangan nakal dan tetap di dalam rumah. Jangan centil seperti Perry. Oke!”             Fle mengeong patuh pada Alena. Lalu dia naik ke atas sofa abu-abu tua. Dia menjilati kaki-kakinya yang mungil. Fle memiliki mata cokelat tua dengan bulu hitam sempurna. Awalnya Alena tidak menyukai Fle karena kucing itu termasuk kucing manja tapi lama kelamaan Alena merasa senang dan bahkan dia suka mengajak ngobrol Fle kala dirinya butuh teman mengobrol.             Alena mengeluarkan sepeda commuter warna hitam dengan keranjang di depan. Dia menaiki sepedanya dan mengayuhnya secara perlahan. Matanya memandang ke arah kebun anggur yang dipenuhi anggur-anggur berwarna hijau muda. Dia melihat Perry, pria berjas hitam dan seorang pria muda dengan topi koboi dan kemeja kotak-kotak. Perry melambaikan tangannya pada Alena dan pria berjas hitam itu menoleh pada sisi belakangnya di mana Alena sedang mengayuh sepedanya. Alena menatap sekilas pria berjas hitam itu, tersenyum tipis pada Perry dan mengarahkan kembali pandangannya ke depan.             “Itu Alena. Sahabatku. Rumahnya di sebelah sana. Tetangga kebun anggurmu.” Kata Perry dengan kesopanan dan sikap manis yang terkadang suka berlebihan di mata Alena tapi pas di mata semua orang yang berbincang dengannya.             Pria dengan mata cokelat cerah itu tersenyum tipis sekaligus misterius. Dia terlihat lebih tampan dari dekat dan Perry baru tahu kalau pria berbibir tipis menawan itu adalah pemilik kebun anggur seluas 80 hektar. Namanya—Ranne. Aura yang terpancar darinya tidak jauh berbeda dari aura Alena yang dingin, misterius dan sedikit suram dengan keeksentrikan sifatnya, namun Ranne jauh lebih menyenangkan daripada Alena. Dia lebih ramah meskipun tidak terlalu ramah.             Saat Ranne melirik pada rumah Alena, pandangannya fokus dan tertuju pada rumah itu. Rumah klasik bergaya victoria dengan warna kelabu. Dia agak terkesima ketika tahu kalau ada rumah yang lumayan besar dan indah di samping perkebunan anggurnya mengingat tidak ada pemukiman warga di sini. Dan rumah Alena adalah satu-satunya rumah yang dekat dengan hutan kecil nan gelap, kebun anggur dan ilalang-ilalang tak beraturan.             “Ada apa?” Perry melihat sesuatu di mata Ranne. Ketertarikan pada rumah Alena.             “Bolehkah aku main ke rumahnya?”             Perry menatap pria muda berkemeja kotak-kotak. Pria itu mengangkat bahu. “Tuanku, hanya ingin tahu. Sepertinya. Benarkan, Tuan?”             “Ada sesuatu yang menarikku untuk berkunjung ke sana.” Setiap kali Ranne berbicara suaranya dalam, tenang dan mengesankan. Seperti ada magnet dalam suaranya yang menarik besi murah meriah hingga besi termahal di seluruh penjuru kota ini. Dia sangat berkharisma. Ketampanan sempurna.             Perry tertawa kecil. “Boleh. Mungkin lebih baik lagi kalau kita menunggu Alena datang. Dia pergi ke kota untuk membeli makanan Fle.”             “Siapa Fle?”             “Kucingnya.”                                                                 “Tapi, Tuan, selama saya bekerja di sini saya tidak pernah berbincang dengan Alena. Dia juga jarang sekali keluar dari rumah. Bahkan penduduk di sekitar rumah saya bilang Alena seorang penyihir. Dia menyukai warna hitam apalagi dia punya kucing warna hitam—orang jaman dulu berkata kucing warna hitam adalah kucing penyihir. Ayahnya meninggal bunuh diri dengan selingkuhannya di kebun anggur kita, Tuan, pasti tahu berita lama itu kan. Kemudian disusul ibunya dan dia sebatang kara, Tuan. Saya selalu merinding setiap kali melewati rumah itu.” Dia menoleh pada rumah Alena kemudian pada Perry. “Bahkan saya baru pertama kali melihat Anda.”             Perry tercengang mendengar pernyataan pria berkemeja kotak-kotak ini. Dia memang tidak tinggal di pinggiran kota, dia tinggal di distrik barat. Mendengar orang-orang di pemukiman menilai sahabatnya sebagai penyihir tentulah membuat hatinya teriris. Dia mengenal Alena tidak hanya beberapa tahun, tapi nyaris belasan tahun.             “Itu omong kosong. Alena tidak seperti yang orang bicarakan. Anda hanya bersugesti saja—ma’af siapa nama Anda?” Perry lupa menanyakan nama pria berkemeja kotak-kotak itu.             “Kris. Saya tidak bersugesti. Dia tidak punya teman dan sangat apatis. Orang-orang seperti itu perlu diperiksa. Mana ada orang yang bisa hidup tanpa berosisalisasi selama tahunan?”             “Saya sahabatnya.” Dengan susah payah perry berusaha menetralisir suaranya.             “Ehm, sudahlah, Kris. Saya rasa tidak ada penyihir secantik Alena.” canda Ranne berusaha mencairkan suasana yang menegang di antara keduanya.             “Tapi, Tuan, saya khawatir—“             “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”             “Alena hanya merasa trauma dan terluka. Dia bukan penyihir, Kris. Dan kucing hitam itu adalah pemberian dari Tom—pengacara yang ditunjuk ayahnya untuk hak waris Alena atas tanah yang ditinggali orang-orang di pemukiman.” Dan Perry keceplosan soal tanah ilegal yang diduduki para penduduk. “Termasuk rumahmu.” Perry melipat kedua tangan di atas perut.             Dahi Kris mengernyit. “Maksudmu? Aku tidak mengerti.”             “Sebagian rumah yang ada di pemukiman berdiri di atas tanah milik Alena. Kau tahu, keadaan finansial Alena saat ini sedang buruk dan dia tahu kalau sebagian hartanya ada di pemukiman. Dia bisa saja mengambil haknya dan menjual tanah yang kalian gunakan sebagai tempat tinggal kalian. Tapi Alena tidak sepicik itu karena tahu bagaimana kondisi perekonomian penduduk sekitar.” Perry menjelaskannya dengan berapi-api. Matanya yang ramah berubah berkilat-kilat emosi. Sebenarnya Alena tak pernah menceritakan soal ini tapi Tom. Pengacara kota itu mengatakan semuanya. Percayalah sampai mati pun Alena tak kan pernah membicarakan kekayaannya pada siapa pun kecuali pada orang yang benar-benar tahu berapa jumlah kekayaannya seperti Tom.             Kris menatap Perry dengan tatapan tidak percaya dan tidak suka.             “Jadi dia tinggal sendiri? Apakah Alena punya adik?”             “Sendiri. Hanya tinggal dengan Fle.”             Ranne kembali menatap rumah klasik bergaya victoria itu. Dia tersenyum tipis. Senyum misterius. Ada sesuatu yang berbeda dari Alena. Apatis, penyihir, kematian ayahnya bersama selingkuhannya, kekayaan, pemilik rumah di samping kebun anggurnya. Semua itu terasa ganjil sekaligus mengesankan. Alena jelas berbeda dari wanita yang sering ditemuinya di kota. Semua yang dijelaskan Perry membuat Ranne penasaran pada sosok wanita yang baru saja dilihatnya. Dan kebun anggur miliknya adalah saksi kematian ayah Alena bersama selingkuhannya. Tragis.             “Ayolah kita ke rumah Alena. Aku tidak bisa berbicara tenang dengan seorang pembenci.” Perry melirik Kris ketika mengatakan ‘pembenci’.             “Ya, tapi kau duluan saja. Aku akan menyusul.”             “Baiklah.” Perry berjalan ke arah rumah Alena. Saat Perry benar-benar lenyap dari pandangan mata Ranne, dia mulai bertanya pada Kris lagi.             “Apa yang kauketahui tentang Alena lagi selain rumor kalau dia penyihir?” ada rasa penasaran di bola mata cokelat cerah Ranne. Dan Kris selalu antusias bercerita tentang sesuatu yang orang lain tidak ketahui.             “Kenapa, Tuan, bertanya seperti itu? Apa, Tuan—“             “Tidak, Kris. Aku hanya ingin tahu. Dia sangat misterius.”             “Hemm, baiklah, sepupuku Mandy adalah teman Alena sewaktu mereka sekolah saat kecil dulu. Mandy banyak cerita kepadaku tentang Alena. Dia bilang Alena—“ sebelum Kris menceritakan Alena, Mandy datang.             “Kris!” serunya semringah. Mandy mengenakan dress dengan motif polkadot. Wajahnya simetris dengan dagu yang membentuk segitiga. Bibirnya mungil dan alisnya tebal. Kulitnya semulus porselen. Sebelumnya, Kris sering cerita soal Ranne. Mandy tertarik dan Kris memberitahunya bahwa Ranne hari ini akan datang di kebun anggur.             “Hai, Ranne.” Sapa Mandy semanis mungkin.             “Oh, ini, Mandy. Sepupuku.”             Mandy mengulurkan tangannya. Ada gelang silver yang melingkari tangan kanannya. “Mandy, sepupu Kris.” Dia mengulang perkataan Kris seakan ada yang salah dengan pendengaran Ranne.             “Ya,” Ranne menjabat tangan Mandy dengan acuh tidak acuh. Lalu segera melepaskan jabatan Mandy. Sadar bahwa wanita di hadapannya itu adalah wanita centil yang berniat mendekatinya. Tentu berbeda dengan Perry. Perry memang mendekatinya tapi Perry tidak punya maksud dengan tanda kutip seperti Mandy.             “Mandy, ceritakanlah tentang Alena.” Mandy mengernyit heran. “Tuan ingin tahu tentang penyihir wanita itu.” Entah kenapa di d**a Ranne seakan ada penolakan ketika Kris menyebut Alena dengan kata penyihir.             “Oh, memangnya kenapa dengan Alena?” tanya Mandy pada Kris.             “Ceritakan saja apa yang kauketahui tentang dia.” Desak Kris.             Rasanya menyebalkan berlama-lama dengan sepupu Kris. Wanita ini seperti sengaja mengulur waktu karena dia lebih benyak menatap Ranne dan tersenyum centil.             “Alena teman masa kecilku dulu. Dia satu kelas denganku. Dia itu aneh. Dia selalu datang lebih pagi dari siapa pun yang ada di kelas. Dia selalu mengenakan sepatu dan tas hitam. Dia jarang berinteraksi dan kalau istirahat dia lebih sering di dalam kelas dan membaca buku sambil makan dari tupperware yang di isi makanan rumah.”             Ranne terdiam untuk membayangkan Alena kecil seperti yang diceritakan Mandy. “Tuan, apakah mau mencoba makanan buatanku? Aku membawakan waffle dengan selai apel. Ini sangat enak, Tuan.” Mandy menyodorkan tupperware berisi waffle selai apel.             “Tidak, terima kasih.” Tanpa senyum. Kemudian Ranne menatap Kris “Aku akan ke rumah Alena. Setelah bertemu Alena aku akan kembali.”             “Ya, Tuan.” ujar Kris sopan.             Mandy tampak kebingungan. Dia menatap Ranne dan Kris secara bergantian sampai Ranne lenyap seakan meminta jawaban pada Kris kenapa Ranne pergi ke rumah Alena. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD