10. Drama Bu Salamah

1151 Words
"Saya, tidak melakukan apapun," ujar Affan, dia benar-benar masih bingung dengan apa yang terjadi. Affan sudah mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, sama sekali tak ada ingatan dirinya menyentuh Raihanah. Pria itu kemudian segera memakai pakaiannya kembali, tak peduli dengan Raihanah yang masih menangis di sudut kasur dengan tangan yang memeluk tubuhnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Affan panik, tapi dia benar-benar tidak merasa melakukan apapun pada asisten rumah tangganya. "Aku tidak menyentuhnya," ujar Affan. Selesai berpakaian, Affan segera berniat keluar dari dalam kamar sempit itu. Namun, tiba-tiba Bu Salamah menahan kakinya dengan memeluk kakinya itu. "Anda tidak bisa pergi Dokter, anda harus bertanggung jawab, nikahi putri saya," ujar Bu Salamah. "Saya tidak menyentuhnya!" ujar Affan dengan tegas. "Ada apa ini?" Affan, Raihanah menoleh ke arah pintu, ada Bu Tiwi dan beberapa tetangga datang di sana. "Astagfirullah," ucap Bu Tiwi. Sementara Bu Salamah menangis, begitupun Raihanah. Bu Tiwi langsung meminta seseorang untuk memanggilkan Pak RT. "Dia mau pergi setelah menodai putri saya," ujar Bu Salamah. "Tidak benar, saya tidak melakukan apapun," ujar Affan mengelak. "Apapun itu, jelaskan nanti di depan Pak RT," ujar Bu Tiwi, kemudian wanita itu mendatangi Raihanah dan membantunya berbenah diri. Sekitar 20 menit kemudian, semua sudah berkumpul di ruang tamu bersama Pak RT dan juga beberapa tetangga sebagai saksi. Raihanah duduk bersama dengan Bu Tiwi, dia masih terus menangis, ia pun juga tidak ingat apapun seperti pengakuan Affan, tetapi bagaimana kondisi dia bangun tadi sungguh telah membuat dia syok bukan main. Dia berada dalam keadaan nyaris tanpa busana dalam pelukan laki-laki yang haram baginya. Bagaimana nama baiknya juga telah ternodai terlepas dia dan Affan benar melakukannya atau tidak, dia tak ingat apapun. "Jika kalian tidak percaya dengan pengakuan saya, saya bisa buktikan," ujar Affan. Mendengar itu, Raihanah langsung menatap tak percaya pada Dokter Affan, benarkah laki-laki itu memiliki bukti jika mereka tak melakukan apapun semalam. Sementara Bu Salamah, hatinya mulai ketar ketir, jika dia sampai ketahuan berbohong, bahkan menjebak Dokter Affan, maka dia benar-benar akan merasa bersalah pada putrinya berkali-kali lipat. Tentu Bu Salamah sangat sadar caranya salah karena mempertaruhkan harga diri putrinya, tetapi pikirannya benar-benar buntu, merasa tak ada cara lain selain penjebakan ini. "Saya bisa memeriksa atau meminta dokter lain untuk melakukan pemeriksaan apakah Hanah masih gadis atau tidak, dan apakah ada jejak saya menggaulinya semalam, kita lakukan visum padanya-" Tiba-tiba pipi Dokter Affan tertoleh ke samping beriringan dengan suara tamparan cukup keras. "Bu," lirih Raihanah saat menyadari ibunya baru saja menampar pipi Dokter Affan. "Kami memang orang miskin, tetapi bukan berarti anda bisa menghina putri saya seperti ini, akui saja jika Dokter semalam telah merayu putri saya, saya jelas mendengar suara-suara kalian semalam," ujar Bu Salamah. Dokter Affan mengetatkan rahangnya, dia benar-benar tidak merasa apapun, bahkan kejadian terakhir kali ia ingat adalah saat Raihanah menumpahkan kopi padanya. "Apa anda menganggap saya berbohong? Atau Hanah yang berbohong?" tanya Bu Salamah. Kemudian Bu Salamah menatap pada Pak RT, Bu Tiwi yang memeluk Raihanah, dan juga lima orang tetangga di ruang tamunya. "Saya, seorang ibu yang mengajarkan nilai-nilai agama pada putri saya, dia saya pondokan supaya jadi wanita shalihah, kalian saksinya bagaimana putri saya selama ini, dia gadis baik-baik, bukan?" tanya Bu Salamah. "Ya, selama ini Hanah adalah gadis baik-baik, dia Ustadzah, tidak mungkin dia berzina dengan sengaja, anda pasti telah memaksanya Dokter!" ujar seorang tetangga. Mendengar itu, Affan yang masih diliput emosi, menatap pada Rainanah yang terus saja menangis dan diam tak mengelak kejadian semalam. Sejauh dia mengenal tiga hari Raihanah, jelas dia bisa melihat jika gadis itu benar-benar perempuan baik-baik. Tapi, Affan benar-benar tak mau mengakui apa yang tidak ia ingat sama sekali. "Jika Dokter tidak mau bertanggung jawab pada masa depan putri saya, saya akan laporkan ke polisi," ujar Bu Salamah, dia sedikit takut dengan ancamannya sendiri, bagaimana bila jebakannya terbukti, dia pasti akan kalah dan bukan hanya dia yang malu, tapi Raihanah, putrinya. Sementara Affan, mendengar ancaman dari Bu Salamah, dia pun bingung. Benarkah kejadian semalam benar-benar terjadi, Raihanah tidak mungkin berbohong, begitupun dengan ibunya, untuk apa mereka berbohong? Nyatanya tadi pagi dia terbangun di atas satu kasur bersama Raihanah dengan kondisi nyaris sama-sama tanpa busana. "Bu sudah Bu, kalau memang Mas Dokter tidak ingat, berarti memang tidak terjadi apa-apa Bu," ujar Raihanah. Affan masih terdiam menatap lekat pada Raihanah, dia seorang Ustadzah, lalu apa yang terjadi tadi pagi dan diketahui oleh beberapa warga, telah menjatuhkan harga dirinya, martabatnya sebagai wanita sholehah. Dirinya juga sudah menyentuhnya terlepas sudah sejauh mana ia lakukan. 'Apa sebenarnya yang terjadi, bagaimana bisa aku tidak ingat apapun, aku tidak datang datang keadaan mabuk semalam, obat? Apa aku minum obat yang ...?' Affan mencoba mengingat kejadian sebelum dia datang ke rumah ini, dia memang bertemu dengan teman-temannya di caffe, kadang temannya juga jahil padanya soal status dudanya, bukan satu atau dua kali temannya mencoba mengenalkan gadis padanya, atau sekedar mengajaknya sekedar one night stand. 'Apa mereka mencampur sesuatu pada minumanku?' batin Affan. Kalaupun benar dia telah meminum sesuatu sebelum datang ke mari, bagaimana bisa Raihanah tidak ingat apapun? 'Makanan,' batin Affan. Affan ingat, makanan yang dia makan bersama Raihanah adalah makanan yang ia pesan dari caffe tempat dia bertemu dengan teman-temannya semalam, juga pengakuan Bu Salamah jika wanita paruh baya itu mendengar apa yang terjadi di kamar Raihanah semalam. 'Apa benar, telah terjadi hal itu di antara aku dan Raihanah?' batin Affan. "Anda harus bertanggung jawab pada putri saya!" ujar Bu Salamah menyadarkan pemikiran Affan. "Tanggung jawab?" tanya Affan. "Ya, nikahi putri saya!" ujar Bu Salamah membuat Affan langsung membulatkan matanya. "Apa, menikah?" tanya Affan. "Ya, masa depan putri saya hancur gara-gara kejadian ini, apa anda mau putri saya berstatus gadis, tapi bukan lagi gadis?" tanya Bu Salamah. "Tapi-" "Ini solusi paling bijak Pak Dokter," ujar Pak RT. "bukan hanya nama baik Ustadzah Hanah yang terselamatkan, tetapi juga anda sebagai seorang dokter." Affan pun menunduk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak RT setempat. Kemudian isakan Raihanah menarik perhatiannya. Akhirnya, Affan pun telah membuat keputusannya, ia menarik napasnya panjang lalu berkata, "Baik, saya bersedia menikahi Raihanah, secara siri!" ujarnya. "Tidak!" ujar Bu Salamah tiba-tiba membuat Affan langsung menatap bingung padanya. "Pernikahan siri banyak merugikan wanita, bisa saja anda menikahi putri saya hanya untuk meredam masalah ini, nanti dengan gampang anda menceraikannya." "Tapi, saya-" Affan pun bingung, dia benar-benar belum ada rencana menikah lagi, dukanya dua tahun lalu masih membekas di hatinya, ia masih belum mau mengganti posisi mendiang istrinya, Selvy. "Dua hari, saya beri Dokter waktu dua hari untuk mengurus semuanya, jika tidak saya akan laporkan kasus ini, ke Polisi, atau ke Rumah Sakit tempat anda bekerja," ujar Bu Salamah, kemudian wanita itu tiba-tiba limbung ke belakang sambil memegang dadanya. "Bu!" teriak Raihanah begitu khawatir, ia langsung menolong ibunya yang luruh ke lantai. Melihat itu, Affan pun langsung bangkit dan memeriksa keadaan Bu Salamah. "Denyut nadinya lemah. Kita bawa ibumu ke rumah sakit," ujarnya. Namun, tiba-tiba Bu Salamah menahan tangan Affan. "Berjanjilah, nikahi putri saya dengan ... benar," ujarnya terbata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD