4. Cuma Aku Yang Cinta

1572 Words
"Pagi mbak Fawnia, wah tumben pagi-pagi banget udah disini mbak?" sapa pak Heri, salah satu security yang bertugas menjaga kompleks ruko tempat salon Fawnia berada. "Iya pak, nanti ada tukang yang mau renovasi lantai dua, mau siap-siap dulu." Fawnia hanya sedikit berbohong, ia memang akan menemui beberapa tukang yang merenovasi salonnya agar bisa memberi pengarahan. Namun tak sepagi ini juga. Ia sengaja berangkat pagi-pagi sekali demi meredam emosinya setiap kali melihat Dimitri. Pria yang belum dua puluh empat jam menalak cerai dirinya dengan alasan yang menurutnya sangat mengada-ada. Tak punya rasa cinta. Ckk… Fawnia berdecih miris setiap kali mengingat alasan tak masuk akal dari mantan suaminya itu. Bukankah banyak pernikahan yang baik-baik saja bahkan sangat bahagia meski dimulai dengan perjodohan tanpa cinta sama sekali. “Sini mbak saya bantuin.” suara pak Heri menyadarkan Fawnia dari pikirannya yang tak tentu arah. Lelaki paruh baya itu mendekat ketika melihat Fawnia kesulitan saat hendak membuka rolling door di depan rukonya. “Makasih pak.” “Iya mbak, kalau buka pintu seberat ini harusnya mbak minta tolong mas Adam biar datang lebih pagi.” Adam yang dimaksud adalah pemuda yang bekerja di salon Fawnia sebagai office boy. Pemuda yatim piatu yang dikenal Fawnia dari tetangganya lamanya. Biasanya setiap pagi memang Adam yang bertugas membuka salon dan membersihkan semua area hingga Fawnia dan karyawan yang lain datang pukul delapan. “Iya pak, tadi pagi sudah saya hubungi juga, mungkin memang sayanya yang kepagian.” Fawnia tersenyum menerima kembali kunci ruko yang digunakan pak Heri. “terima kasih banyak nggih pak.” lanjutnya sedikit mengangguk. “Nggih mbak, saya kembali ke pos dulu nggih, nanti kalau butuh bantuan bisa panggil saya lagi.” ucap pria paruh baya tersebut. “Hmm … nanti kalau ada tukang bubur yang biasanya suruh berhenti di depan salon ya pak. Bilang aja Fawnia mau beli yang biasanya.” “Nggih siap mbak.” Meskipun tadi saat di rumah ia sudah sarapan dengan satu tangkup sandwich gandum dan segelas s**u coklat, entah kenapa Fawnia masih merasa lapar pagi ini. Mungkin karena ia terlalu lelah menangis hingga energinya terkuras habis. Memasuki salon, Fawnia segera menuju ruangannya di lantai dua. Ruangan kecil di balik pintu kaca yang menjadi tempatnya menyelesaikan semua laporan terkait pemasukan salon, atau sekedar mengatur strategi pemasaran salonnya yang kini semakin berkembang berkat bantuan dengan social media. “Pagi mbak Fawnia, aduh maaf saya telat. Mbak jadi yang buka rolling door.” Adam datang dengan tergopoh-gopoh menuju ruangannya dengan membawa satu kresek di tangannya. Fawnia yang baru saja menyalakan laptop jadi mengangkat wajah dan tersenyum pada pegawainya tersebut. “Nggak apa-apa Dam, memang saya yang kepagian kok salah lihat jam tadi.” kilahnya. “Oiya ini bubur kacang hijau pesanan mbak Nia, orangnya dibawah tadi.” pemuda tersebut mengulurkan kresek hitam, serta mangkuk dan sendok untuk atasannya itu. “Oh udah datang ya?” Fawnia segera mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dan menyerahkannya pada Adam. “Ini minta tolong bayarkan ya Dam.” “Udah saya bayar tadi mbak.” “Ya sudah, berarti ini untuk ganti uang kamu.” “Nggih mbak, saya carikan kembaliannya dulu ya.” “Kembaliannya nanti tolong beliin strawberry di seberang jalan itu aja ya Dam.” Belum selesai menyantap bubur kacang hijaunya, tiba-tiba saja benak Fawnia terusik karena membayangkan segarnya strawberry yang biasanya ia lihat di toko buah di seberang rukonya. “Nggih mbak, kalau gitu saya bersih-bersih dibawah dulu ya.” pamit pemuda itu yang langsung diangguki Fawnia. Tak berselang lama, para pegawai di salon Fawnia sudah mulai berdatangan semua. Dan semuanya sama-sama keheranan dengan Fawnia yang datang sangat pagi hari itu. Ruangan karyawan yang dijadikan satu di lantai dua membuat semua pegawai salon mengenal dekat Fawnia sebagai pemilik sekaligus atasan mereka. *** “Nia, kamu sakit?” tanya Nanda, sahabat dekat yang juga bekerja di salon milik Fawnia sebagai staff administrasi. “Hah? Nggak tuh, kenapa?” Fawnia yang sedang mengarahkan kedua pekerja yang sedang mengganti wallpaper di ruangan sebelah sontak menoleh saat mendengar suara Nanda. “Muka kamu beda aja Ni, gak heboh kayak biasanya.” seru Nanda lagi. “Gak ada apa-apa kok, kecapek’an aja kali.” “Makanya bilang Bang Dim, kalau capek gak usah olah raga malam terus.” goda Nanda sambil memberi kerlingan nakal pada sahabatnya. “Ckk.. olah raga apaan sih?” Fawnia berdecak sebal. “Siniin laporannya.“ Fawnia mengulurkan tangan setelah melihat beberapa kertas di tangan Nanda, yang ia yakini adalah laporan pajak yang dimintanya kemarin. “Nih nyonya boss, masalah pajak tahunan, juga tagihan-tagihan bulan ini sudah beres semua. Dikau tinggal tanda tangan disini… disini… juga disini.” Nanda yang hari itu berpenampilan manis dengan kerudung biru muda, menjelaskan dengan semangat. Mengenal Nanda sejak awal dirinya menempuh pendidikan di perguruan tinggi, membuat Fawnia mengenal watak ceria dari sahabatnya itu. “Udeh, mana lagi?” pinta Fawnia. “Done untuk hari ini.” “Washbak sama bed facial massage yang kita pesan gimana?” Dimaya salon yang semakin terkenal dan maju pesat membuat Fawnia memutuskan untuk memperluas area di lantai satu. Serta menambahkan beberapa perlengkapan untuk facial dan massage di ruangan baru yang sudah disiapkan. “Aman, aku udah minta mereka untuk kirim tepat waktu besok lusa sebelum jam sepuluh.” “Good.” Jawab Fawnia singkat lantas berbalik menuju ruangannya. “Kamu yakin gak pengen cerita sesuatu?” desak Nanda mengikuti langkah Fawnia. Dia yakin ada yang tak beres dengan sahabatnya ini. Fawnia yang biasanya baru tiba di salon sekitar pukul sebelas, hari ini muncul sangat pagi bahkan sebelum jam tujuh. Belum lagi wajahnya yang sembab dan sedikit pucat, membuat Nanda semakin yakin ada yang tak beres dengan perempuan cantik itu. “Customer terakhir mbak Dwi nanti siapa sih? Bu Sastro bukan?” Fawnia mengalihkan topik pembicaraan. Dwi yang dimaksud Fawnia adalah salah satu dari tiga beauty therapist yang bekerja di salonnya. Biasanya di saat-saat tertentu Fawnia akan menggunakan jasanya untuk sekedar facial atau massage. “Kebiasaan deh, ditanya malah balik tanya.” cibir Nanda. “Siapa ih…” rengek Fawnia yang bersandar pada sandaran kursi putarnya. “Iya bu Sastro, kan beliau sendiri yang telpon kamu buat dibikinin janji.” “Kan lupa Nda.” Fawnia mengerucutkan bibirnya. “Belom nenek-nenek juga udah pikun.” “Lagi banyak pikiran sista.” lirih Fawnia sambil mengunyah strawberry yang tadi ia pesan lewat adam. “Ya makanya cerita dong bebebb.” desak Nanda lagi. “Iya… iyaa… ih berisik. Nanti habis bu Sastro perawatan aku mau facial dulu sama mbak Dwi, biar agak seger. Habis itu baru kita ngobrol gimana? kamu gak sibuk kan nanti sore?” tanya Fawnia. Fawnia paham posisi Nanda yang kini sebagai istri sekaligus ibu dari balita berusia dua tahun, tentu kesibukannya lebih padat darinya. “Aman.” “Athala gimana?” Fawnia menanyakan putra dari Nanda. Nanda mengibaskan sebelah tangannya. “Aman tenang aja, Athala kan lagi jadi rebutan di rumah eyangnya sampe sabtu nanti.” Fawnia mengangguk pelan. Tak mengherankan jika Athalla menjadi rebutan di keluarga Nanda, mengingat balita menggemaskan itu memang menjadi cucu pertama di keluarga sang ibu. “Oke, habis aku facial nanti kita cari tempat rumpi yuk.” “Beres bu boss, aku yang carikan tempat oke?” Nanda mengerlingkan sebelah matanya lantas keluar dari ruangan Fawnia. "Siip." Fawnia mengangkat ibu jarinya sebagai kode setuju. *** Tepat pukul setengah tujuh malam, Fawnia dan Nanda meninggalkan salon yang tersisa tiga pengunjung yang sudah ditangani oleh pegawai yang lain. Fawnia pun sudah memastikan dua pekerja yang bertugas mengganti wallpaper dan lampu gantung di lantai dua sudah menyelesaikan pekerjaannya hingga tuntas. Sedangkan untuk menutup salon, semuanya sudah dititipkan pada Adam seperti biasanya. Restoran sushi cepat saji di daerah Tunjungan plaza Surabaya menjadi pilihan untuk kedua sahabat itu melepas penat setelah seharian beraktivitas. "Nda.." panggil Fawnia setelah menandaskan salmon croquette pesanannya. "Hmm..." Nanda yang duduk di hadapannya hanya berdehem singkat. "Menurut kamu, cinta dalam pernikahan itu penting banget gak sih?" tanya Fawnia membuat Nanda mengerutkan kening. "Pentinglah, kalau gak penting biasanya sudah juga bertahan lama. Tapi... menurut aku rasa sayang lebih penting sih, lebih long last dari pada cinta-cintaan atau apalah itu." Melihat Fawnia hanya diam mengaduk strawberry frozz tea, Nanda ikut menghentikan kegiatannya menyuap tuna salad crispy favoritnya. "Kenapa? Wajah kamu jadi mendung gitu." "Pantesan Bang Dim gak tahan sama aku ya, ternyata rasa cinta sepenting itu dalam pernikahan." gumam Fawnia lirih. "Maksud please?" "Aku pisah sama bang Dim, karena dia gak bisa bertahan di rumah tangga yang hambar tanpa cinta." "Bullshit, pisah ranjang maksudnya? Atau pisah rumah?" maki Nanda hingga menurunkan sumpitnya dengan kasar. Melihat Fawnia hanya bergeming, Nanda semakin penasaran dengan permasalahan yang tengah dihadapi oleh sahabatnya itu. "Fawnia Afsheen ... pisah gimana maksudnya? Kan kamu sendiri yang bilang kalau kamu cinta banget sama bang Dim?" Fawnia mengangguk tak bersemangat. "Cuma aku yang cinta Nda, dianya enggak." perempuan itu mendongakkan kepalanya demi menghalau air mata yang sudah mendesak meminta turun. "Aku masih gak paham arah pembicaraan ini Fawnia." desah Nanda kelimpungan mengambilkan tissue untuk sahabatnya. "Kami bercerai Nda, benar-benar bercerai." Fawnia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Badannya bergetar tanda ia tak mampu lagi menahan laju air mata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD