ESS - Chapt 3

1867 Words
Jakarta, Indonesia     Langit terserang hawa yang terasa panas mengulum kecemasan di setiap kerlingan mata indah itu menatap. Lalu lalang berapa orang di depan tidak mengurungkan niat ia mengakhiri dan memberlakukan buku di meja serta musik yang tertempel di telinga. Wajah bulat cantik dengan wajah yang tidak biasa itu tersenyum setiap beberapa siswa menyapanya. Atau bahkan sekedar bertanya warna apa yang pas memberi cahaya di kertas mereka.     Dengan senang hati tangan dan keyakinan itu menguatkan tekad anak sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan ketabahan serta ikhlas di hatinya ia berhasil mengubah beberapa anak terus maju saat mengikuti setiap materi darinya. Dan dengan senyum ramah dari bibir mungilnya itu bisa menghipnotis setiap tataran mata yang menemukannya.     Riuh suara di dalam kelas utama sejenak melupakan semua lamunan yang setia setiap harinya mengajak untuk mengulang waktu itu. Mengingatkan pada kejadian malam yang telah menghancurkan segala harap dan cita-cita pemilik nama Rosie Pricilia Luxembourg. Sedikit bangkit dari saat itu merupakan hal terberat karena Rosie telah mengurung diri dan hatinya untuk seseorang terutama laki-laki. Rosie selalu menjaga jarak dan ia tak tersentuh oleh tangan hangat pria mana pun.     "Bu guru," panggil salah seorang anak yang berjalan mengenakan alat bantu jalan.     Rosie terdiam menatap lurus dinding p****g di dalam ruangan taman kanak-kanak Patimura. Linangan air mata selalu menggenang setiap ia menatap kerinduan yang jauh di sana, tangan yang menyanding kasih sayang dan kecupan seorang ibu.     "Ibu guru Rosie?" Satu panggilan terulang kembali dari salah seorang teman namun Rosie terlalu asyik dengan dunianya.     "Ibu guru Rosie?"     Lamunan Rosie goyah dan ia seketika bangkit dari tempat duduk dan melepas earphone, Rosie pun melempar tangan yang menjamah lengan karena ia enggan mencerna sentuhan namun Rosie pun tersadar siapa yang tengah lancang menyentuhnya.     "Oh, ya maaf Bu. Nggak bermaksud bikin Ibu kaget kok," seorang guru mencoba menenangkan Rosie. "Maaf Bu."     "Tidak, tidak apa-apa kok. Maaf tadi saya melamun, nggak sadar kalau Ibu yang panggil. Ada apa ya Bu Tiara?" Tanya Rosie tersenyum kecut.     "Nggak apa-apa Bu, kebetulan tadi Bu kepala sekolah nawarin kita makan di luar soalnya ini ajakan Pak Rico." Jawab teman Rosie yang sesama menjabat sebagai guru di TK Patimura.     Sedikit berpikir saat terdengar nama Rico. Rosie pun kembali duduk karena ia tidak tahu bagaimana harus memberikan jawaban, ia ingin menolak tetapi jujur saja ia merasa tidak enak dengan kepala sekolah yang selalu membantunya.     "Duh, Ibu ini jago banget deh melamun. Gimana? Mau ya? Saya nggak enak kalau harus jawab Ibu Rosie nggak mau ikut seperti kemarin, kalau Ibu nggak ikut tolong jangan libatkan saya ya?" Kekeh Tiara seenaknya.     "Tapi gimana sama anak-anak? Mereka siapa yang jagain, Bu?" Rosie menatap ke sekeliling ruangan.     "Hari ini pulang lebih awal Bu," Tiara mengangguk saat ada anak yang tersenyum kepadanya. "Kan ini hari ulang tahun Dika Bu."     Rosie terlihat mengulum bibir. Ia mengingat tanggal lahir murid yang sudah lulus dan kini sudah pindah ke sekolah dasar. "Oh, Dika. Kok saya nggak ingat ya, Bu?"     "Makanya itu, Ibu Rosie ikut aja ya? Nanti Pak Rico bisa kecewa loh!" Goda Tiara mengerlingkan mata genit.     Jujur saja Rosie masih merasa risih jika berdekatan dengan sosok pria terutama Rico Rivaldi, duda anak satu Dika Rivaldi yang pernah melamar Rosie.     "Bu? Ya ampun, melamun lagi."     Rosie bimbang sekaligus tidak ingin membuat kecewa Dika yang selalu menginginkan ia datang di acara pesta ulang tahunnya.     "Iya, bantu mikir Bu. Ah, um... Maksud saya...,"     "Baik Bu, saya sampaikan ke kepala sekolah kalau Ibu ikut kita." Klaim Tiara mendahului Rosie.     Tanpa menunggu jawaban lain dari Rosie seorang Tiara pun pergi, meski Rosie berteriak enggan mengiyakan tapi kali ini Rosie tidak dapat bebas dengan seribu alasan setiap Rico mengajaknya pergi.     Di dalam kelas gadis berusia 24 tahun itu membantu beberapa anak yang mengalami kesulitan saat memberikan warna. Ia kembali bisa tersenyum melihat kelucuan mereka, sikap dan keramahannya terutama suara yang lembut itu berhasil membuat Rosie menjadi guru favorit semua siswa.     Sejenak ia bahagia tidak jarang di antara senyumnya Rosie merasa terkurung dengan kerinduan tetapi ia masih membenci sosok yang telah merugikan. Merindu tantang seseorang yang ia sendiri tidak mengerti apa yang ia rasakan, setiap malamnya Rosie selalu menatap langit dan bintang berharap dapat menyampaikan pesan dan kerinduan terhadap Bevan.     Rosie tahu jalan ini tidak benar. Suatu saat nanti ia harus berada dalam jalurnya, melupakan semua dan tentang cinta yang tidak terbayar karena bagi Rosie ini sebuah kesalahan menyangkut mereka berstatus genetika. [...]     Melihat apa yang sudah di depan mata merupakan hal paling indah karena Rico bisa menikmati dengan Jelas wajah cantik itu saat tersenyum. Usaha apapun telah dilakukan oleh pria tampan memiliki wajah Arab itu demi bisa menyertakan Rosie menjadi bagian keluarga, tetapi Rico tahu ini butuh proses, apalagi yang Rico dengar Rosie sama sekali tidak pernah berpacaran.     Sedikit sabar dan mungkin memang Rico tengah diuji dengan perasaan yang tidak menemukan ujung. Meski beberapa rekan dan keluarga telah berupaya mencari sosok wanita untuk ibu Dika tetapi entah Rico sama sekali tidak terbayang siapapun kecuali Rosie.     "Ibu guru kenapa nggak pesen makanan?" Tanya Rico saat melihat Rosie hanya tertunduk dengan memainkan ujung kuku.     Rosie terperanjat saat terdengar suara pria. Rosie yang masih menikmati kesendirian sambil menanti acara ulang tahun dimulai pun terkejut. Ia segera bangun karena takut jika Rico duduk di sebelahnya.     "Maaf, nggak bermaksud bikin kamu kaget!" Rico merasa menyesal. "Aku cuma mau bilang tempat pesta bukan di sini!"     Rosie tertunduk sambil menggeser tempatnya berdiri sedikit jauh dengan Rico. Perasaan yang ia derita di mana Rosie sangat takut berdekatan dengan seorang pria masih mendera di dalam pikiran. Trauma 10 tahun lalu melekat pada diri Rosie sampai sekarang.     "I--ya, nanti saya ke sana Pak." Jawab Rosie dnegan nada lemah yang bisa membuat telinga Rico ditiup kelembutan.     "Jangan panggil Pak, Rico aja!" Pinta Rico memberi jalan untuk Rosie.     Sedikit memasang waspada dengan prasangka jjka Rico akan menyentuhnya, Rosie pun terburu-buru saat akan menaiki anak tangga dan lalai jika ia memakai sepatu hak tinggi. Kakinya pun tidak dapat mengimbangi saat rumit menjejak, Rosie pun kehilangan keseimbangan namun karena Rico segera memberikan pertolongan Rosie tetap baik-baik saja. Tetapi tangan besar yang tidak sengaja menyentuh dadanya itu membuat Rosie segera melepaskan tangan Rico dengan kasar.     "Maaf, aku nggak bermaksud apapun! I--ni nggak sengaja, a--ku minta maaf Rosie." Rico mencoba memberikan penjelasan dan ia merasa gugup jika Rosie salah mengartikan ini semua.     Rosie menggeleng dan hanya menanggapi ucapan Rico dengan wajah pucat, keringat mulai bermunculan di pelipis serta bibir Rosie bergetar. Berjalan saja Rosie benar-benar memaksakan diri seakan terpasung kembali dalam memori itu, tapi karena Rosie tidak ingin mengecewakan Dika ia pun masuk ke dalam acara pesta kecil-kecilan.     Tapi di bibir pintu sebuah restoran Rosie kembali mengurungkan niat untuk masuk ketika melihat kerumunan pria berdasi yang sepertinya rekan Rico, Rosie mencoba tenang tapi satu langkahnya terjerat suara tawa liar yang selalu ada di kepala. Jantung Rosie berdebar saat menatap satu-persatu mata yang seakan mengintai ke arahnya padahal semua orang terutama di mata lelaki Rosie terlihat luar biasa, dengan mengenakan dress motif bunga yang serba tertutup tidak menutupi pesonanya.     Dari kejauhan Dika melambaikan tangan dan segera mengejar Rosie tapi saat itu justru Rosie enggan mengatur kekuatan lagi dan memilih berbalik arah, dan di sana Rosie tidak sadar Rico di belakangnya hingga menemukan sentuhan Rico di bagian pinggang. Rosie menyentakkan Rico dan berlari keluar dari area restoran.     Teriakan Rico tidak lagi Rosie hiraukan dan ia berlari hingga ke jalan raya. Tapi tiba saja rico berada tepat di depan Rosie, rupanya Rico berhasil lebih dulu dari Rosie.     "Kamu mau ke mana? Acaranya belum selesai Rosie," Rico mengamati wajah sembab entah itu hanya bulir keringat atau air mata sulit bagi Rico membedakan. "Kamu marah? M--aaf, aku sama sekali nggak bermaksud kurang ajar. Ah, a--ku..."     "Nggak Pak, saya baik-baik saja kok. Cuma nggak enak badan," sebuah alasan terlontar dari bibir merona Rosie. "Dan maaf kalau saya nggak bisa temenin Dika, tolong sampaikan kepadanya. Saya..."     "Aku antar ya?" Tawar Rico tetap menjaga jarak dengan Rosie yang menyilangkan tangan di d**a seoalah menahan sesuatu.     Rosie menggeleng. Ia tidak mengerti mengapa bersikap demikian padahal Rico pria yang baik, tidak pernah sedikit pun bersikap kurang ajar terhadapnya.     "Oke, kalau begitu biar aku pesan taksi buat kamu ya? Sebentar!" Ucap Rico melepaskan ponsel dari saku celana.     Saat Rico sibuk dengan melakukan panggilan dari sana Rosie memperhatikan pria berusia 30 tahun itu dengan tatapan iba. Rosie tahu betapa besar perjuangan Rico untuk memberi keyakinan tetapi sampai saat ini Rosie tidak memberikan jawaban, antara Rosie menaruh simpati dan ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri.     "Kamu yakin mau pulang sendiri?" Tanya Rico membuat Rosie tersentak lagi.     "I--ya, maaf merepotkan dan nggak sopan sama sekali Pak." Sesal Rosie menoleh ke arah restoran dan melihat Dika hanya menatpnya tidak mengerti.     Dari kaca terlihat Dika tengah menunggu Rosie berada di tengah-tengah pesta. Tapi Rosie hanya melambaikan tangan tidak sanggup melihat semua ini, Rosie pun tidak berani melawan rasa trauma saat melihat banyak laki-laki di mana pun termasuk tempat kuliahnya dulu.     "Tidak apa-apa Rosie, tapi aku cuma ingin tahu kenapa? Apa di dalam ada yang coba gangguin kamu hm?" Ucap Rico lembut ingin mengusap wajah dengan keringat yang bergulir di pipi.     "Tidak Pak, tidak ada kok. Saya cuma... Ingin pulang saja, maafkan saya kalau mengecewakan!" Jawab Rosie tertunduk dan masih saja engga menatap wajah Rico.     Memang Rico kecewa tapi ia harus tetap menjaga perasaan Rosie yang tidak biasa dengan seorang laki-laki dan tidak tersentuh oleh dunia luar kecuali saat kuliah dan mengajar. Kalau boleh jujur Rico semakin mencintai gadis di depannya, tapi untuk mendapatkan respon dari Rosie saja Rico tidak memiliki peluang. Tapi Rico akan terus memberi bukti jika ia tulus.     Tidak lama taksi yang dipesan Rico datang, Rosie pun segera berlalu dengan menoleh ke arah Dika dan Rico. Ada sebenarnya Rosie tidak tega dengan Dika yang kini menangis dipelukan neneknya saat melihat Rosie pergi. Dengan berakhir Rosie melihat Rico tetap tersenyum layaknya pria yang tidak ingin melukai wanita meski Rosie terus membuat ulah. [...]     Aroma dari cap cay tercium dari mulai Rosie berjalan di halaman depan sampai ke pintu masuk, berakhir ke ruang tengah yang lurus dengan dapur. Di sana Sabrina, nenek Rosie masih sibuk dengan olahan sayur di menu makan siang ini.     "Hai Oma."     Suara Rosie mengagetkan Sabrina. Lalu sebagai ganti rugi karena Rosie telah membuat Sabrina terkejut maka Rosie harus segera memberi hiburan. Tapi belum sampai Rosie membuat cerita lucu seperti biasa untuk neneknya itu, ponsel Rosie berdering. Ia pun cepat-cepat mengangkatnya saat terpampang nama Rico di sana.     "Rosie, kamu udah sampai 'kan? Kamu sekarang lagi ngapain? Nggak nangis lagi kan? Nggak...,"     Tiba saja keduanya tertegun. Kemudian Rosie memastikan jika Rico masih berada di sana.     "Saya udah sampai Pak, terima kasih." Jawab Rosie mengangguk pada Sabrina dan ia menyingkir karena suara minyak yang dipanaskan terdapat kadar air sangat mengganggu.     "Untuk apa? Justru aku yang meminta maaf Rosie, aku masih kepikiran. Ah, s**t! Maksud aku, jangan salah paham masalah tadi ya?" Jelas Rico meyakinkan Rosie.     "Sebagai gantinya biar kamu maafin aku, kamu minta apa dari aku?"     "Maaf maksud Bapak apa?" Rosie memang tidak mengerti dengan apa yang Rico bicarakan.     "Tidak ada maksud apa kok Rosie, dan aku cuma minta kamu jangan panggil Pak. Aku ini bukan bapak kamu Rosie!" Meski terkesan memaksakan kehendak, Rico tetap ingin menghibur perasaan Rosie.     "Um.... tapi...,"     "Nggak ada tapi!" Kecam Rico di akhiri dengan tawanya.     "Ya sudah, Pak. Um, Ri...co." Ucap Rosie mulai tersenyum dengan sikap Rico yang terkadang bisa menghibur.     "Kamu sudah makan?"     "Oma lagi masak."     "Ya sudah, aku cuma mau memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." Terdengar Rico menjawab suara seseorang. "Aku lanjut dulu pestanya. Nanti aku telepon lagi, I love you."     Kalimat itu. Selalu terdengar di telinga. Tapi entah bukan merupakan sumber mengagumkan di dalam hatinya, Rosie hanya merasa tidak sampai hati jika mengabaikan panggilan Rico. Bukan ada maksud atau mengartikan jika Rosie menerima perasaan Rico untuknya.     Bukan itu yang dipikirkan Rosie tentang pria baik seperti Rico, meski mencoba untuk menerima Rico dalam hatinya tetapi Rosie gagal dan lebih mengikuti perasaan yang terselubung mengenai Bevan sampai saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD