Gadis Pembawa Petaka, Benarkah?

1125 Words
Bab 3. Gadis Pembawa Petaka Mau tidak mau, suka tidak suka, Fana harus menerima jalan takdir yang sudah digariskan Sang Pencipta untuk dirinya. Setelah benar-benar pulih, gadis itu diizinkan untuk pulang dan tante Claudia yang mengurusnya. Beliau begitu perhatian dan penuh kasih sayang terhadap Fana. Baginya, gadis ini adalah satu-satunya peninggalan sang kakak yang sudah mengurus dirinya sejak kedua orang tua mereka tiada. Tante Claudia ingin sekali membalas budi baik itu dan menjadikan Fana setara dengan putranya, Alex. "Fana, kamu tinggal di sini sama om dan Tante ya, Sayang!? Soal rumahmu di sana, akan Tante urus," ujar Claudia yang jarak rumah keduanya tidak terlalu jauh. Beliau sengaja langsung membawa Fana ke kediamannya agar tidak merasa sedih, kesepian, dan kembali terbayang akan anggota keluarga utama yang telah tiada. Fana pun berterima kasih kepada orang yang sudah begitu perduli kepada dirinya. Claudia menarik tangan Fana, "Ayo, Sayang! Kamar kamu ada di lantai dua, tepat di sisi ruangan Alex," jelasnya dalam senyum. Usia Fana dan Alex tidak terlalu jauh terpaut. Walau begitu, keduanya tidak terlalu akrab. Mungkin karena yang satu seorang perempuan dan yang lainnya adalah laki-laki. Selain itu, keduanya memiliki selera dan hobi yang berbeda. "Iya, Tante. Makasih banyak," ucap Fana dengan mata berkaca-kaca. Claudia merangkul Fana dan membawanya ke kamar, "Pokoknya, kamu jangan sungkan di rumah ini! Tante ingin kamu kembali ceria seperti dulu! Fana, si gadis cantik dan energik." "Makasih, Tante. Kalau nggak ada Tante, Fana pasti bingung." "Suuut! Jangan lagi mengatakan terima kasih secara berulang! Tante sudah dengar kok." Claudia menghela napas panjang. "Asal kamu tahu saja ya, Fana. Tante ini berhutang kehidupan kepada papa dan juga mamamu." "Kami tiga saudara, hidup dan dibesarkan oleh papamu. Di rumah kalian, kami menumpang hidup dan mamamu orang yang mengajarkan banyak hal. Bahkan beliau juga memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada Tante." "Tapi, sepertinya tante Mayang nggak suka sama Fana," kata gadis itu tanpa senyum. "Hem." Claudia menghela napas panjang. "Kalau dia itu ya, jangan kan sama kamu. Sama Tante aja nggak suka. Pokoknya yang paling bagus itu, ya dia aja. Jadi, jangan dipikirkan!" Fana menarik kedua sisi bibirnya sama rata. Lalu menganggukkan kepala demi menghargai tante Claudia. "Gitu dong. Ayo masuk ke kamarmu dan beristirahatlah!" "Iya, Tante." Baru meletakkan tas pakaian dan perlengkapan lainnya, suara Alex terdengar kuat. "Mama! Ada tante Mayang," panggilnya sambil berlari menuju ke kamarnya. Fana terpengaruh untuk memberi salam dan menyapa adik bungsu almarhum papanya tersebut. Dengan cepat, ia berdiri dan berniat untuk keluar. Baru tiba di anak tangga kelima, langkahnya terhenti. Ucapan tante Mayang, sudah memukul jiwanya yang masih lemah. "Kenapa dia diajak tinggal di sini sih, Mbak?" "Mayang, jaga bicara kamu!" bentak tante Claudia, terdengar jelas di telinga Fana. Mayang menarik tangan saudaranya itu dan keduanya menepi agar Fana tidak mendengar perbincangan mereka. "Dia itu pembawa sial, Mbak. Apa kamu mau, semua yang terjadi kepada mas Wira terulang padamu dan keluargamu?" Petir seakan menyambar, di dampingi kilat tajam yang membentuk gambaran pohon tanpa daun. Lalu tiba-tiba saja, kedua lutut Fana bergetar dengan sendirinya. "Ini semua bukan kesalahan Fana, Mayang. Dia itu hanya anak-anak." Tante Claudia terus saja mengatakan hal yang sama. "Mungkin, kamu lupa akan semua kebaikan dan budi mas Wira serta istrinya. Tapi tidak dengan aku." "Aku nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, Mbak. Itu makanya aku nggak mau kehilangan lagi." "Kalau begitu, stop menghakimi Fana dan mengatakan hal yang kejam!" ancamnya dengan suara tegas. "Atau kamu tidak akan pernah bisa lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Paham?" "Tapi, Mbak ... ." Menyadari bahwa tante Claudia akan segera kembali ke dalam kamar, Fana bergerak cepat meninggalkan tangga. Ia masuk ke dalam kamar dan pura-pura terlelap. Benar saja, tante yang baik hati itu, langsung masuk ke dalam kamar Fana. Ia mencium dahi keponakannya itu dengan penuh kasih sayang, sembari mengelus tangan yang terkena luka bakar empat bulan lalu. Tak lama, beberapa tetes air mata menetes di wajah gadis berambut pendek tersebut. Fana tidak lagi bisa berbohong. Ia pun membuka mata dan pura-pura terkejut, akan kehadiran tante Claudia. "Tante!?" Fana duduk sambil mengucek matanya. "Kenapa?" "Tante sangat menyayangi kamu, Fana. Berjanjilah! Kamu akan berjuang dan menjalani hidup dengan baik! Teruslah menjadi putri Wira yang kuat! Jangan biarkan apa pun membuatmu terbuang dan terhempas!" ucapnya dengan bibir bergetar. "Tante ... ." Fana baru menyadari bahwa wanita yang berada di hadapannya ini, begitu menyayangi dirinya. Dan kata-kata lembut yang ia dengarkan beberapa minggu terakhir ini, bukanlah isapan jempol semata. *** Kehidupan baru Fana pun dimulai dengan senyum kebahagiaan. Tante, om, dan sepupunya tampak membuka diri pada Fana. Bahkan, mereka kerap kali memberikan motivasi kepada gadis jelita itu. Bagi Fana, dengan adanya keluarga ini. Ia bisa sedikit bernapas lega. Sebab, ia seperti berada di antara papa, mama, dan juga adiknya. Walaupun tidak sama, namun ini lebih daripada cukup. "Fana, kamu kapan mulai sekolah?" tanya sepupunya sambil menikmati makan malam. "Mungkin minggu depan. Dan aku akan tinggal kelas," ejeknya pada diri sendiri. "Pindah ke sekolahku aja! Biar bisa barengan," saran Alex terdengar bagus menurut kedua orangtuanya. "Benar juga itu," sahut om dan tante sambil menganggukkan kepala mereka. "Nanti om belikan mobil untuk antar jemput kalian." Mendengar perkataan dari tiga orang yang berada di hadapannya, Fana terenyuh. Hidungnya terasa perih, wajahnya memerah, dan matanya mulai berair. Ia tidak menyangka bahwa Alex pun bersedia berteman dengannya. "Makasih banyak ya, Om, Tante, Alex. Kalian baik sekali. Padahal, aku hanya menumpang hidup dan ... ." Belum usai perkataan Fana, tante Claudia langsung berdiri dan mengusap kedua lengannya yang kecil. "Fana!" panggilnya pada keponakan yang manis itu. "Tante bilang apa tadi siang?" "Iya, Tante." Fana menghapus air matanya. "Maaf, bukan bermaksud untuk lupa." Tante Claudia tersenyum hangat, "Iya. Berusahalah untuk tegar!" pintanya, lalu kembali duduk di kursi. "Dulu, ketika almarhum papa dan mamamu masih ada. Beliau berdualah yang selalu membantu bisnis Om. Mulai dari semangat, kerja sama, hingga modal. Jadi, jangan merasa tidak enak hati, Fana! Kamu tinggal di atas pohon rindang hasil kebaikan orangtuamu sendiri." "Om ... makasih banyak," ucap Fana seraya menghapus air matanya. "Dan kamu Alex, jaga Fana baik-baik! Dia adalah saudaramu. Bukannya kamu sering meminta saudara? Tuhan memberikannya dengan cara seperti ini," ujar laki-laki baik hati itu dengan tegasnya. "Sip, Pa," jawab Alex sambil menunjukkan ibu jarinya. "Ayo, habiskan makanannya! Setelah itu, rehat ya!" "Iya," jawab semua orang kompak. Fana kian terpana pada hati orang-orang yang berada di sekeliling. Ia pun berharap, hal buruk tidak akan pernah terjadi lagi, begitu juga dengan gambarannya. Namun sayang, jalan takdirnya berbeda. Fana adalah anak pilihan yang harus kuat menahan beban dan rasa sakit terdalam. Bersambung. Bagaimana perjalanan hidup seorang gadis di dalam cobaan yang sulit untuk dipahami dan diterima oleh dirinya sendiri, serta orang lain? Yuk baca cerita menegangkan yang dibalut dengan romansa ini. Jangan lupa untuk tab love, tinggalkan komentar sepuasnya, dan follow aku ya. Makasih

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD