Part 3

1113 Words
Untuk kedua kalinya Leo terbangun karena kembali mempimpikan wanita yang menolongnya saat itu. Dia mengetahuinya bernama Selina. Nama yang cocok untuk wanita seperti dia. Leo mendengus lalu kembali mencoba untuk tidur lagi. Ketika Leo menutup matanya hal pertama kali yang dia lihat adalah senyum Selina.  "Pria kaya yang sombong!" Itu adalah kata yang keluar dari bibir yang tersenyum itu.  Leo kembali membuka matanya lalu duduk, dia tidak percaya bisa kembali memimpikan wanita itu dan kata-kata yang Leo tidak suka keluar dari mulut wanita itu. "Aku pria kaya yang sombong sementara kamu gadis miskin yang... yang.." Leo tidak mampu melanjutkannya. Bukan tidak mampu namun dia tidak menemukan kata selanjutnya yang cocok untuk wanita itu. Jelek? Tidak, Selina memiliki garis wajah yang tegas dan manis, tipe perempuan yang tidak membosankan saat dipandang. Leo bisa berlama-lama memandang wanita itu di dalam mimpinya tanpa rasa bosan. Leo menggelengkan kepalanya. Kenapa dia jadi memikirkan wanita miskin itu?  Leo tidak bisa tidur lagi, dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Menyeduh kopi lalu dia masuk ke ruang kerjanya. Dia membuka laptopnya memeriksa beberapa laporan yang belum sempat dia periksa saat di kantor siang tadi. Konsentrasi Leo hanya bertahan di tiga laporan. Yang keempat dia membaca laporan yang di berikan Arnold. Laporan berisi semua berkas tentang Selina. Mulai dari tanggal lahir, pendidikan terakhir wanita itu dan yang paling penting adalah status. Tunggu. Kenapa itu penting? Leo melemparkan berkas tentang Selina ke tempat sampah dengan kesal. Dia baru bertemu dengan wanita itu sekali lalu kenapa dia sangat mengganggu pikiran Leo? Benar-benar diluar logika. Apa mungkin karena Leo sudah lama tidak berkencan?  Leo mengambil ponselnya lalu menghubungi asistennya. Leo menunggu panggilannya diangkat seraya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja kerjanya. Hingga dering berakhir panggilannya tidak mendapat respon. Leo mencoba sekai lagi. "Yang benar saja! Ini jam dua." Nada suara itu terdengar kesal karena tidurnya terganggu.  "Kau ingin di pecat?" Leo bertanya datar. Tidak peduli jam berapapun dia selalu menghubungi Arnold. Hal itu sesuai dengan gaji yang laki-laki itu terima.  "Maaf, Pak. Tapi ini jam dua dini hari. Dimana semua orang sedang beristirahat." Arnold ingin sekali memaki bosnya itu. Namun dia masih ingin bekerja. Tidak ada perusahaan yang menggajinya dengan yang Leo berikan.  "Semua orang? Kau yakin?"  "Yeah, kecuali Anda, Pak," ucap Arnold setengah hati. Sudah bekerja dengan pria itu selama lima tahun, membuat Arnold hafal banyak kebiasaan Leo. Namun, ini adalah yang pertama kali pria itu menelepon di jam dua dini hari.  "Saya ingin kamu mencari teman kencan untuk saya!" Nada perintah terdengar jelas tanpa bisa dibantah. "Anda akan mendapatkannya, Pak. Tapi, sebelum itu, tolong biarkan saya istirahat, Pak." Arnold sudah pernah mengatakan hal yang sama pada Leo. Ini sudah yang kedua kalinya. Yang pertama saat hari libur, dan itu belum lama ini.   "Ingat! harus wanita yang manis, perpendidikan tinggi dan juga berasal dari keluarga yang kaya," tekan Leo menyatakan kriterianya. Arnold mengerutkan keningya di sebrang sana. Ada yang berbeda dengan kriteria yang bosnya sebutkan dari enam bulan yang lalu. Iya, Leo terakhir kali berkencan enam bulan yang lalu. Hubungannya hanya bertahan satu minggu karena wanita itu langsung menuntut untuk dinikahi.  Siapapun pasti akan melakukan yang sama jika bertemu dengan laki-laki mapan dan tampan seperti Leo. Tidak hanya itu, Leo selalu berlakuk lembut terhadap teman kencannya. Hubungan berakhir karena mereka para wanita, meminta lebih. Leo masih belum ingin menikah. Jadi, jika ingin berhubungan lama dengan Leo, mereka harus bisa menahan keinginan untuk memiliki laki-laki itu seutuhnya, maksdudnya dalam ikatan yang sah. Jangan menginginkan hal yang lebih daripada berkencan.  "Maaf, Pak, sepertinya ada yang keliru."  "Apa itu?" tanya Leo, dia sendiri tidak menyadari jika kriterianya sudah berubah.  "Bukankah Bapak hanya ingin wanita yang kaya? Soal penampilan dan pendidikan itu biasanya menyesuaikan, kan?" Arnold bukan satu atau dua kali mencari teman kencan untuk Leo. Dan selama bertahun-tahun kriteria itu tidak pernah berubah. Kecuali  hari ini.  Leo terdiam mendengar pertanyaan asistennya itu. "Carikan wanita yang kaya. Lupakan yang saya ucacpkan tadi." Leo langsung memutus panggilan telepon itu.  *** Jam kerja Selina baru saja berakhir. Hari ini pulang sore, tepatnya pukul lima sore. Selina melangkah keluar dari toko seraya menenteng paper bag berisi sepatu kerjanya. Saat bekerja mereka memang di tuntut untuk mengenakan sepatu hak tinggi. Jadi saat pulang Selina selalu menggantinya dengan sendal sederhana. Dulu saat awal-awal bekerja, dia selalu mengeluh pegal pada kakinya. Sekarang dia sudah terbiasa.  Sebelum pulang Selina menyempatkan diri untuk membeli makan malam. Hari ini adalah hari gajian, oh, Selina belum mengecek gajinya. Dia buru-buru membuka m-banking di ponselnya lalu mengecek gaji dan bonus yang masuk ke dalam rekeningnya. Selina membulatkan matanya saat melihat jumlah yang sangat banyak. Gaji yang paling tinggi yang pernah Selina terima adalah delapan juta, itu sudah termasuk bonus yang dia terima. Itu saat menjelang akhir tahun dan Selina beserta teman-teman kerjanya tidak mengambil libur selama dua minggu. Dan yang dia terima hari ini hampir dua kali lipat.  Selina mengecek slip gajinya dan dia menemukan double pada gaji dan juga bonus yang dia terima. Selina memasukkan ponselnya ke dalam tas. Biasanya dia akan dihubungi pihak kantor saat gaji mereka lebih. Selina bahkan pernah di telepon karena gajinya lebih dua ribu rupiah dan di minta untuk mengembalikannya ke kantor. Jadi dia memutuskan untuk menunggu di telepon saja.  Selina memasuki restoran pizza dia membeli satu loyang besar untuk cemilannya bersama Eva nanti. Saat sedang mengantri, Selina melihat keberadaan Leo bersama dengan seorang wanita yang sangat cantik. Tanpa sadar Selina mengucapkan kata 'wow' pelan. Wanita itu memiliki kulit putih bersih, wajahnya bersinar cerah. Hal pertama yang Selina pikirkan adalah, berapa biaya perawatan kulit wajah wanita itu? Selina tidak mampu membayangkannya, dia yang hanya beli skin care biasa saja cukup menguras kantong. Selina mengambil pesanannya dia ingin sekali mengabaikan dua orang itu. Namun godaan untuk membalas Leo sangat besar.  Bukankah seharusnya mereka berkencan di restoran bintang lima? Selina cukup terkejut melihat Leo berada di antar orang miskin. Mendengar pernyataan Leo beberapa hari lalu tentang dia yang tidak ingin berdekatan dengan orang miskin membuyarkan ekspektasi Selina.  "Wah, saya tidak menyangka. Orang kaya seperti Anda mau makan di tempat ini juga," kata Selina. Dia lalu memberikan senyum manisnya pada wanita yang duduk di hadapan Leo.  "Apa ada larangan kalau orang kaya tidak boleh makan di sini?" Leo juga tidak akan mau makan di sini kalau dia tidak ada janji dengan teman kencannya, wanita itu yang menentukan tempat ini sebagai tempat pertemuan mereka. Dan Leo bisa pastikan kalau dia tidak akan melangkah lebih jauh dengan wanita yang duduk di hadapannya itu. Seleranya sangat buruk dalam memilih tempat. "Tidak ada, sih." Selina mengangkat bahunya cuek. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, dia keluar dari sana untuk pulang.  Leo memandang punggung  wanita itu dengan pandangan datar. Akan lebih cocok kalau yang duduk di depannya saat ini adalah Selina, eh? Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD