Part 5

1156 Words
Keinginan Brenda untuk menyeret nama Selina dalam masalah keuangan toko tidak berhasil karena dia tidak meiliki bukti yang kuat. Terlebih saat pihat pusat memeriksa cctv. Brenda kehilangan pekerjaan saat itu dan langsung di tendang dari perusahaan. Tidak cukup hanya di situ. Brenda juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan selama enam bulan karena blacklist yang di keluarkan Sadewa Group.   Selina merasa kasihan kepada Brenda namun, dia tidak bisa membantu wanita itu. Selina sendiri sedang terancam karena Leo. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi kenapa dia harus merasa terancam karena pria itu. Oke, Leo memang pemilik The Fashion House, tapi dalam pekerjaan Selina tidak melakukan kesalahan apapun. Jadi, Leo seharusnya tidak memiliki alasan untuk memecatnya, kan? Selina menarik napasnya dalam lalu menghembuskannya panjang. Dia tidak bisa tidur sejak semalam, memimikirkan nasib pekerjaannya. "Ada apa, Dek? Muka mu enggak enak kutengok," kata Eva melihat wajah kusut adik sepupunya itu.  "Aku ... " Selina meragu. "Cerita aja, Dek," kata Eva lagi. Dia meletakkan ponselnya bersiap mendengar cerita Selina. Sejak dulu Eva sudah dekat dengan Selina, perbedaan usia mereka yang tidak terlalu jauh membuat keduanya cepat akrab.  "Manager toko di tempatku di pecat, Kak." Selina memulai ceritanya. Dia juga menjelaskan semua kesalahan Brenda yang menyebabkannya di keluarkan dari perusahaan.  "Lalu apa yang membuat kau gelisah?"  "Aku juga terancam di pecat, Kak," kata Selina dengan wajah lesu. Mencari pekerjaan di jaman sekarang sangatlah susah. Terlebih Selina hanya memiliki ijazah SMA.  "Kau juga berbuat salah seperti yang managermu lakukan, hah?" "Bukan, aku tidak melakukan itu, Kak." Buru-buru Selina meluruskan.  "Pemilik The Fashion House adalah pria yang aku ceritakan, Kak." Selina memang menceritakan tentang pertemuannya dengan Leo. Bagaimana dia juga pernah meledek pria itu.  "Dia bilang, aku tidak akan di pecat kalau aku mampu memuaskannya, Kak."  "Apa?!" Eva melotot geram, "lalu apa yang kau katakan padanya?" tanya Eva lagi.  "Ya, tentu saja aku mampu memuaskannya." Tangan Eva langusung melayang, menjitak kepala adiknya. Selina memegangi kepalanya bekas tangan Eva.  "Haish ... kenapa aku di jitak?" Seliana merasa tidak ada yang salah dari ucapannya. Dia memang mampu memuskan Leo dengan seluruh pekerjaannya yang selalu mencapai target. Bahkan tidak jarang, penjualannya melebihi target. Karena itu bonusnya selalu mengalir setiap bulan.  "Kau mau jadi apa, hah? Kenapa pula kau menyanggupi untuk memuaskannya?" Eva memiliki tanggung jawab yang besar terhadap adiknya itu. Dia berjanji untuk menjaga Selina dari pergaulan bebas Jakarta kepada orangtua Selina. Lalu sekarang, Selina malah melemparkan dirinya sendiri pada pergaulan itu.  "Aku sudah melakukan pekerjaan ku dengan baik selama tiga tahun ini, Kak. Bahkan hampir selalu melebihi target. Apa itu tidak memuaskan?" Eva mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Selina.  "Itu artinya, kau memuaskannya dalam pekerjaan?"  "Iya, tentu saja. Memangnya ada hal lain yang perlu dipuaskan?" Eva menepuk keningnya sendiri. Dia yakin laki-laki yang menjadi atasan Selina itu meminta di puaskan di luar pekerjaan. Dalam hal ini, dia bersyukur Selina memiliki pemikiran yang polos.   "Aku rasa yang pria itu maksud adalah, kau memuaskannya dengan hal lain."  "Contohnya?" tanya Selina tidak mengerti. Eva mengangkat bahunya. Sebaiknya memang Selina tidak perlu tahu maksud dari pria itu.  "Oh, iya. Kalau nanti kau di pecat dari pekerjaanmu. Aku akan membantumu mencari pekerjaan lain. Jadi, jangan putus asa, iya." Selina mengangguk seraya tersenyum manis.  *** Leo memutar-mutar pulpen diantara jari-jarinya. Dia memandangi lama nomor ponsel Selina lama. Dia sedang merangkai kata yang pas untuk dia sampaikan pada Selina. Bagaimana cara mengatakannya agar wanita itu langsung menerima tawarannya.  Leo mengambil ponselnya dan memutuskan mengirim pesan pada wanita itu. Leo Sadewa Selina, ini nomor saya Leo kembali memutar-mutar pulpen di jarinya sembari menunggu balasan dari Selina. Setelah menunggu hingga sepuluh menit dan balasan dari Selina tidak kunjung muncul. Leo mengambil ponselnya lalu memasukkannya ke dalam saku celananya. Dia memutuskan untuk menemui Selina langsung.  Sebelum melajukan mobilnya, dia kembali mengirim pesan pada Selina untuk menemuinya di restoran Jepang yang berada di lantai tiga mall tempat selina bekerja. Leo kemudian mengemudikan mobilnya menuju mall itu. Leo tahu kalau Selina masuk siang hari ini, dia tahu jadwal shift wanita itu dari manager sementara yang di pekerjakan Leo di toko itu. Orang itu tidak lain tidak bukan adalah staf khusus Leo. Selain bekerja di sana, dia juga di tugaskan untuk mengawasi Selina.  Satu jam kemudian Leo sudah tiba di restoran Jepang. Selina datang lima menit setelahnya. Leo mengamati penampilan Selina yang terlihat rapi. Rambut panjangnya di gulung rapi menggunakan jepit harnet. Polesan make up tipis membuatnya semakin terlihat segar di mata Leo. Rasanya Leo ingin sekali melihat Selina dalam keadaan acak-acakan. Tentunya karena ulah Leo sendiri.  Selina duduk di hadapan dengan menahan gugup. "Apa saya akan di pecat, Pak?" Selina langsung bertanya ke intinya.  Dia tidak akan menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia.  "Saya punya penawaran yang bagus untuk kamu, daripada di pecat." Leo mengangkat tangannya memanggil waiters.  "Penawaran apa, Pak?" Selina bertanya dengan penasaran.  "Pesan makan dulu. Kita bicara setelah makan." Leo menyodorkan menu ke hadapan Selina. Selina tidak pernah masuk ke dalam restoran itu. Hanya sekali melihat saja dia yakin kalau dia tidak akan mampu membayar makanan di sana. Dan benar saja setelah melihat menunya, Selina semakin yakin untuk tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi.  "Saya sudah makan, Pak." Selina tidak berbohong. Lagi pula sekarang jam tiga menjelang sore. Selina sudah makan siang jam satu siang tadi.  "Apa salahnya kalau makan lagi? Pesan saja, saya yang bayar." Sangat mudah membaca pikiran Selina saat wanita itu melihat menunya tadi. Meski memiliki gaji yang cukup untuk makan di sana, Selina tetap berpikir puluhan kali untuk menghabiskan lima ratus ribu untuk sekali makan. Lima ratus ribu sudah cukup untuk makannya selama seminggu bisa lebih ketika dia sedang berhemat.  "Tidak, Pak. Saya masih kenyang." Selina tetap menolak. Leo mengangguk tidak memakasa, dia kemudian menyebutkan pesanannya pada waiters.  "Habiskan!" perintah Leo setelah meletakkan makanan di hadapan Selina. Leo ternyata memilihkan sendiri menu makan untuk Selina.  "Tapi, Pak-" Leo mengangkat tangannya menghentikan kata yang hendak keluar dari mulut Selina. Mau tidak mau, Selina akhirnya memasukkan makan itu satu persatu ke dalam mulutnya.  *** Sudah lima menit berlalu sejak mereka sama-sama menghabiskan makanan masing-masing. "Pak, saya masih harus kembali bekerja," kata Selina mengingatkan pria itu agar segera berbicara.  "Kamu ingin jadi manager menggantikan manager kalian yang di pecat?" tanya Leo seraya menyatukan tangannya dan menatap intens pada wajah Selina. Wajah perempuan itu memang sangat enak untuk di pandang, sangat manis dan Leo penasaran bagaimana rasanya bibir merah muda jika beradu dengan bibirnya.  "Setiap orang pasti ingin naik jabatan, Pak," jawab Selina bijak.  "Kamu hanya perlu menemani saya satu malam. Maka kamu akan mendapatkan jabatan itu serta bonus lima ratus juta dari saya. Bagaimana?" Tawaran yang sangat menggiurkan. Leo yakin Selina pasti berpikir ratusan kali untuk menolak.  "Lima rastu juta bisa membuatku pulang kampung  dan membeli rumah serta lahan untuk di olah." Selina bergumam pelan.  "Hanya menemani, kan, Pak? Tidak melakukan hal-hal lainnya, kan?" Leo tersenyum tipis.  "Hal lainnya  akan kita bicarakan setelah kamu setuju untuk menemani saya satu malam." Seringai licik terpatri di bibir Leo saat Selina mengangguk ragu-ragu. "Baiklah, mari kita tentukan waktunya."  Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD