[5]~Terasa Pahit~

1354 Words
Tetaplah hidup walaupun kehidupan berusaha mematikanmu. -FitriYulita- Maira's POV Aku mengerjapkan mataku pelan. Mataku terasa sakit ketika cahaya yang menyilaukan langsung menyerang mataku. Samar-samar aku melihat sosok pria berpawakan menyerupai orang yang sangat aku rindukan berada di depan mataku. Aku mengucek mataku memastikan kebenaran yang aku lihat. Saat pengelihatanku sudah benar-benar jernih, aku pun dapat jelas melihat sosok itu. Tak terasa pipiku telah basah oleh air mata yang secara tiba-tiba meneteskan air. Aku mengucek mataku berulang kali untuk memastikan aku tidak salah melihat. Tapi tetap sama, sosok itu tetap berada di depanku dengan senyuman yang sangat aku sukai. "Ayah ... " ucapku lirih. Mataku semakin berbinar ketika senyuman sosok itu semakin melebar. "Ayahhhh ... " teriakku mengejar sosoknya yang sepertinya terasa jauh di depanku. Aku terus berlari mendekat ke arahnya dengan langkah terseok-seok. "Maira sayang ... " Suara lembut itu, aku sangat merindukannya. "Ayahhhh..." Aku memeluk sosok ayah yang sangat aku rindukan ini. Ia sekarang telah benar-benar ada di depanku. Ayah mengusap kepalaku lembut, aku rindu belaian ayah. Aku sangat senang bertemu lagi dengannya, hingga aku tak mampu berkata dan hanya mampu menangis tersedu-sedu untuk menuangkan perasaan merindu yang sangat menggebu-gebu. "Ayah, Maira merindukan ayah. Ayah jangan pergi lagi." Aku memeluk ayah semakin erat. Aku tidak mau berpisah dengan ayah lagi. "Maira, bagaimana kabarmu, nak?" tanya Ayah. Aku menangis mendengar suara ayah. Semua yang aku anggap halusinasi, kini aku baru tahu bahwa ini kenyataan. "Ayah, Maira tidak baik-baik saja. Semua orang jahat kepada Maira, yah. Maira nggak sanggup hidup tanpa ayah ... " aduku. Aku sangat tertekan hidup sendiri, hanya Ayah lah yang tahu perasaanku. "Shutt... Maira dengerin ayah. Kamu harus kuat menghadapi semua ini. Kamu harus bisa hidup tanpa ayah." Ayah menangkupkan wajahku. "Tapi Maira tidak bisa, Yah. Maira pengin ikut ayah saja. Maira pengin hidup sama ayah lagi. Ayo yah pulang bersama Maira. Maira cuma pengen ayah kembali. Hiks ... " Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin ikut dengan ayah, aku tak mau ditinggal sendirian lagi. Ayah memeluk tubuh kecilku lagi. “Belum saatnya kita tinggal bersama lagi, Sayang. Maira dengerin ayah, kamu harus tetap menjalani hidup kamu. Jangan sampai kamu menyesali semuanya. Maira pasti bisa sayang. " "Hiks ... Kapan ayah? Kalau ayah tidak bisa kembali, tolong bawa Maira bersama ayah. Maira nggak sanggup lagi ayah ... hiks ... " Tangis keputusasaanku pecah dan pasti akan terdengar memilukan bagi siapapun yang mendengarnya. "Saat kita telah berkumpul di syurga. Maira, ayah selalu bersamamu. Ayah akan selalu menemanimu. Kalau kau ingin bertemu ayah, ayah akan selalu ada di hatimu. Jangan merasa sendiri sayang. Banyak yang menyayangimu. Tetaplah hidup dan berjuanglah. Hidup di dunia hanya sekali, jangan sia-siakan kesempatan itu. Kau harus jalankan perintah Allah dan jauhilah larangan-Nya." "Ayah ... hiks ... hiks ... Tapi Maira udah nggak sanggup, apalagi Maira harus berhadapan dengan orang yang menyebabkan ayah meninggal. Maira nggak bisa yah. Dunia sudah membenci Maira." "Ayah boleh minta beberapa permintaan?" tanya Ayah. Dan aku menjawab dengan anggukan cepat. "Tetaplah hidup walaupun kehidupan berusaha mematikanmu. Tegakkan kebenaran jangan kebencian. Jadilah wanita kuat bagaimana pun kondisinya. Ingat ujian yang berat akan membuatmu semakin kuat. Hilangkan dendammu nak, biarkan Allah yang akan membalas semuanya. Jalani semuanya dengan ikhlas, Allah selalu bersamamu sayang. Allah akan selalu menolong hamba-Nya yang kesulitan. Teruslah berbuat kebaikan jangan meninggalkan Allah. Ayah menunggumu di Syurga kelak. Dan satu lagi, ingat bahwa Allah selalu bersamamu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Ayah yang membuatku tersadar akan sikapku tadi. "Waktu ayah sudah habis, ayah harus kembali. Baik-baik di sana ya sayang. Ayah sangat menyayangimu," tambah Ayah yang membuat tangisku pecah kembali. Aku belum siap untuk kehilangan Ayah lagi. Aku segera memeluk Ayah, berusaha mencegah ayah pergi karena aku tak mengizinkan ayah pergi. "Ayah nggak boleh pergi!!!" cegahku. "Ayah harus pergi Maira, jangan seperti ini, ayah tidak akan tenang kalau kamu tidak ikhlas melepaskan ayah. Selamat tinggal anakku sayang. Assalamualaikum," pamit Ayah dan tubuhnya perlahan lenyap entah kemana. "Tidak ayah...TIDAK!!!" Aku menjerit sekeras kerasnya menyadari yang aku peluk tinggallah angin saja. Aku menangis meraung-raung meminta Ayah kembali. "AYAHHH..." *** "AYAHHH..." Aku terbangun dan telah ada di sofa dengan dikelilingi oleh Ibu dan Kak Kaira. Ah, Cuma mimpi ... Kak Kaira menatapku tajam, sedangkan Ibu hanya melihatku dengan raut wajah biasa, tak ada raut khawatir sedikit pun. "Akhirnya lo sadar juga. Cuma di lempar vas aja langsung pingsan. Dasar lemah!" ucap Kaira sarkas. "Udahlah Kai, jangan terlalu kasar. Lagian sebentar lagi kan dia pergi. Jadi kau tidak ada penghalang untuk mendekati Umar lagi," kata Ibu dan itu membuatku sakit hati. Aku hanya bisa menunduk, aku tak mau menangis di hadapan mereka. Baru saja aku senang bertemu dengan Ayah tetapi sekarang hatiku telah tersakiti lagi oleh ucapan Ibuku yang tak menginginkan sama sekali aku tinggal disini. Aku tak boleh terlihat lemah. Aku wanita kuat. jika seperti ini terus, rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. "Maira mau ke kamar," ucapku bangkit dari sofa dan seketika kepalaku pening kembali. Saat aku memegang pelipisku. Ternyata pelipisku masih berdarah. Lihat bahkan tak ada yang bersedia mengobati lukaku. "Setelah kau obati lukamu, segera cuci piring. Sudah menumpuk itu di dapur," perintah Ibu yang tak mengerti keadaanku sama sekali. Ingin aku menangis sekarang juga. Tapi tak boleh, ini pesan ayah. Aku bangkit dan berjalan perlahan menuju kamarku. "Kalau kau masih berhubungan dengan Umar, gue tak segan-segan untuk benar-benar membunuhmu, Maira," teriak Kaira yang aku hiraukan. Aku segera memasuki kamarku dan segera mengambil kotak P3K uuntuk mengobati sendiri lukaku. Dalam diam aku menangis, aku masih saja lemah. Aku belum bisa untuk menerima semua ini. Ayah maafkan Maira yang belum bisa menjadi wanita yang kuat. Isakan kecil meluncur bebas dari bibirku. Sakit. Sangat sakit.  Menyadari bahwa aku hanyalah benalu di keluargaku sendiri. Kenapa takdir tak berpihak kepadaku. Apa salahku? "Ayah, Maira baik-baik saja kok. Maira menangis hanya karena lelah. Bolehkan yah Maira menangis karena lelah dengan keadaan?" *** Keesokan harinya, aku telah bersiap menunggu jemputan Tante Mawar. Walaupun awalanya aku menentang keras, tapi sekarang aku yakin pasti ini keputusan terbaik. Apalagi menyadari bahwa aku hanyalah benalu disini.  Baiklah lebih baik pergi bukan? Daripada menyiksa batin sendiri. Walaupun kini aku akan masuk ke kandang macan. Bismillah. Aku siap berperang dan siap bertarung melawan kejamnya kehidupan. Ayah aku akan selalu mengingat pesan ayah. "Maira, Tante Mawar sudah menunggumu di depan," teriak Ibu dari luar kamarku. Aku pun bangkit dan bersiap keluar untuk bergabung dengan keluarga Tante Mawar, orang yang menyebabkan Ayah meninggal. Aku harus kuat walaupun nantinya aku akan semakin tersiksa. Setidaknya siksaan itu tidak datang dari keluargaku sendiri yang akan semakin terasa sakit dalam batinku. Karena pesan ayah, hiduplah walaupun kehidupan berusaha mematikanmu. Aku keluar kamar dan melihat Ibu dan Kaira telah ada di depan kamarku. Tak ada raut sedih sedikitpun di wajah mereka, malah yang terlihat adalah wajah berbinar. "Ibu, Kak Kaira terimakasih sudah mau memberi Maira tumpangan. Tenang saja setelah ini Maira sudah tidak akan membebani kalian lagi," ucapku tersenyum getir. "Maira pamit. Assalamualaikum." Aku segera mendekat kepada sosok wanita berparas cantik dengan tubuh semampai yang telah duduk di sofa ruang tamu. Bukannya terpesona oleh kecantikan nya, aku malah membenci wajahnya itu. Kebanyakan orang melihat wajahnya seperti Dewi, tapi aku melihat itu adalah wajah iblis. Iblis berwajah malaikat itu lebih berbahaya. Jangan sampai tertipu oleh penampilan luarnya. "Mawar uangnya sudah kau transfer kan?" tanya ibu dari belakangku. "Tentu sudah, Kar. Tenang aja, sesuai kesepakatan. Aku membawa anak ini dan kau akan memperoleh uang sejumlah yang kau inginkan," jawabnya kepada Ibu dengan senyum penuh kemenangan. Mendengar uang yang telah dikirim, terdengar seruan senang di belakangku. Haha sangat bodoh kau Maira, mau-maunya kau dimanfaatkan. Aku hanya tersenyum miris mendapati kenyataan itu. "Hallo sayang. Nama tante, Tante Mawar. Adik dari ayahmu. Senang bisa melihatmu bergabung denganku."  Aku tak membalas sapaanya, aku hanya mengepalkan kedua tanganku kuat untuk meredam amarah yang sedari tadi membara di dadaku. Cih ... tak sudi aku menjadi bagian dari keluarganya. Keluarga manusia berhati iblis yang sangat memuakkan. Tak pantas orang seperti dia hidup di dunia ini, dia sangat pantas jika hidup di neraka jahannam. Menyadari pemikiran liarku, aku segera beristigfar. Astagfirullah, kau tak bisa menghakimi orang, Ra. Hanya Allah lah yang pantas! Pada kitab hadits Muslim, terdapat kisah wanita pendosa yang amal kecilnya diterima hingga membuatnya masuk surga. Sungguh sifat rahman dan rahim Allah lebih besar jauh melebihi besarnya dosa siapapun di dunia ini. “Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu menngelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut.” (HR. Muslim no. 2245). TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD