Bab 1

1140 Words
“Kau harus belajar dengan giat agar nanti bisa masuk ke universitas favorit.” Seorang pria paruh baya memberikan beberapa buku paket pada putrinya yang sedari tadi duduk di meja belajar dengan beberapa buku terbuka. “Hari ini guru lesmu sedang berhalangan, jadi Papa harap kau bisa belajar sendiri.” Riana membuang napas pelan sepeninggal papanya. Gadis itu menatap buku-buku di hadapannya dengan perasaan lelah yang sudah berkumpul di atas kepala. Pandangannya lalu teralih pada sebuah benda pipih berwarna hitam yang tergeletak di atas meja. Sudah lama rasanya benda itu tidak mendapatkan banyak notifikasi seperti sebelum ia masuk ke SMA. Riana beruntung karena ia mendapat lingkungan sekolah yang menyenangkan, namun justru dirinya sendirilah yang menjadi masalah. Riana yang sudah terlanjur menarik diri dari publik pun berubah menjadi lebih pendiam dan bahkan cenderung berbicara seperlunya. Hidupnya menjadi semakin monoton bahkan sebelum ia mendaftarkan dirinya ke salah satu SMA yang dia inginkan. Khawatir putrinya diremehkan orang lain, kedua orang tua Riana memutuskan untuk mendaftarkan agar mengikuti les dan menambah jam belajar Riana saat di rumah. “Entah kapan terakhir kali aku bisa sebebas ini,” lirih Riana. Ia menatap salah satu foto yang terdapat di galeri ponselnya. Foto itu diambil tepat setahun lalu saat liburan akhir semester setelah ia menyelesaikan ujian nasional kelas Sembilan. Kini ia dan teman-temannya terpisah dan menjadi jarang komunikasi, bahkan beberapa di antaranya menjadi hilang kontak. Riana kembali membuang napasnya kasar dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamar. Besok adalah waktunya pembagian kelas. Entah akan satu kelas bersama siapa dan satu bangku dengan siapa dia, yang jelas Riana tidak mempedulikannya. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang membosankan dan sudah seperti tidak berminat memiliki teman meskipun itu hanyalah satu orang. Siapapun yang akan menjadi teman sebangkunya nanti, pasti orang itu adalah orang yang malang karena harus duduk dengan manusia membosankan seperti Riana. *** Riana menatap ke sekelilingnya yang ramai. Orang-orang saling berkumpul di depan mading dan membaca pengumuman yang menempel di sana. Dengan adanya sedikit paksaan, Riana mencoba menerobos kerumunan itu untuk ikut melihat pengumuman di sana. Ia ingin tahu di kelas manakah ia ditempatkan. “X IPA 4,” lirihnya begitu berhasil menemukan namanya. Ia melirik ke sekitarnya sebentar lalu menjauh dari kerumunan. Tak ada satu pun orang di sana yang ia kenal, membuatnya ragu kalau awal kehidupannya di sana akan terasa menyenangkan, terlebih lagi ia tidak tahu akan satu bangku dengan siapa. Riana berjalan menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua dan mencari kelasnya. Begitu menemukannya, ia melihat satu per satu meja yang sudah terisi, lalu pandangannya tertuju pada meja yang berada di barisan belakang. Riana pun berjalan ke sana, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Bangku di sebelahnya masih kosong, membuat Riana berekpetasi sekaligus berharap tidak akan ada yang duduk di sana, karena sejujurnya ia sendiri memang ingin duduk sendirian. Ia mengeluarkan ponsel dan membuka beberapa aplikasi media sosial yang ia miliki. Namun tidak lama kemudian seseorang datang menghampiri mejanya, membuat Riana mau tidak mau mengangkat wajah untuk melihatnya. “Ini masih kosong, kan?” tanya seorang gadis yang berdiri di sebelah meja milik Riana. Riana menganggukkan kepalanya walau dalam hati ia merasa enggan. “Hm,” gumamnya pelan sebagai jawaban. “Aku boleh duduk di sini?” gadis itu kembali bertanya. Riana terdiam sejenak seraya melirik kursi kosong di sebelahnya. Gadis itu lantas menjawab, “silakan.” Gadis yang tadi bertanya itu pun tampak senang dan langsung mendudukkan tubuhnya di sebelah Riana. Ia lalu mengulurkan tangannya dan berkata, “namaku Alana. Kamu?” Ia berujar dengan seulas senyuman yang mengembang di bibirnya. “Riana.” “Salam kenal, ya.” Gadis itu kembali berujar. Ia lalu memulai pembicaraan dengan Riana, yang mau tidak mau harus Riana tanggapi. *** Biasanya hari pertama masuk di kelas baru hanya berisi perkenalan dan basa-basi. Materi pelajaran belum dimulai dengan begitu efektif seperti biasa. Riana hanya bisa menghela napas setiap kali ia menoleh pada Alana, yang tidak lain adalah gadis yang duduk di sebelahnya. Gadis yang bernama Alana itu jauh lebih pandai beradaptasi dengan lingkungan barunya, mengajak orang-orang kenalan dan mengobrol basa-basi. Berbanding terbalik dengan Riana yang justru seperti tak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang-orang baru di sana. Gadis itu hanya akan merespons saat ada yang mengajaknya mengobrol atau meskipun hanya berupa perkenalan singkat. Riana memilih untuk menyibukkan diri, membaca buku atau menonton video yang ada di ponselnya. Namun fokus Riana tampaknya agak buyar saat sesuatu terdengar dari dalam perutnya. Ia merasa lapar. “Mau ke kantin?” tawar seseorang. Riana menoleh dan mendapati Alana yang entah kapan sudah kembali ke tempatnya. “Hm?” “Mau ke kantin?” ulang Alana. “Kamu lapar, kan? Perut kamu bunyi.” Ia terkikih pelan, membuat Riana berkedip dua kali dan refleks memegang perutnya, “Yuk, ke kantin. Aku juga lapar kok.” Alana lalu berdiri terlebih dahulu. Riana pun perlahan berdiri dan ia bersama Alana pergi ke kantin untuk membeli sesuatu sebagai ganjal perut mereka yang lapar. “Kamu asli orang Bandung?” tanya Alana di perjalanan. “Iya, aku orang Citarum juga. Kalau kamu?” “Hm. Aku juga kok. Kupikir awalnya kamu bukan orang Bandung karena diem aja, hihi. Soalnya kamu kelihatan gak banyak ngomong sama yang lain, jadi kupikir kamu ini pindahan dari kota lain.” Alana kembali terkikih. “Enggak kok, aku asli sini,” ujar Riana. Tidak lama kemudian mereka berdua sampai di kantin dan memesan sesuatu. Keduanya duduk di salah satu meja yang masih kosong. “Temen kamu gak ada yang ke sini juga?” Alana kembali bertanya. “Enggak, mereka ke sekolah lain.” Alana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia bermain ponsel seraya menunggu makanannya datang, gadis itu terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di sana. “Kalo kamu sendiri? Temen-temenmu ada di sini?” Kini Riana yang memberanikan diri bertanya. “Ah, ada kok beberapa.Cuma beberapa sih, itu pun gak begitu kenal,” jawab Alana. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dan pergi mengambil minuman. “Kamu mau gak? Sekalian kuambilin.” Riana menatap Alana yang sudah membuka salah satu lemari pendingin di sana. Ia menggelengkan kepala. “Enggak usah.” Bersamaan dengan itu, pesanannya dan Alana sudah siap. Riana menggumamkan terima kasih dan mengambil sendok. Namun di saat itu juga, ponsel milik Alana bergetar. Riana tidak sengaja melihat nama kontak pemanggil yang tertera di sana. “Wah, kayaknya enak.” Alana langsung menggeser tombol merah yang ada di ponselnya dan mendudukkan dirinya kembali. “Ada telepon masuk,” ujar Riana. “Hm. Biarin ajalah, gak penting.” Alana mengambil sepasang sumpit dan mulai melahap mie ayamnya. Riana terdiam selama beberapa saat lalu berkata, “tapi itu dari papamu.” “Ah, biasalah. Palingan hape mama gak bisa dihubungi, jadi papa nelepon aku.” Alana tertawa. Kedua pipinya mulai penuh karena mie. Sementara Riana sendiri mulai memakan nasi goreng miliknya, dengan sesekali merespons ucapan Alana setiap kali gadis itu mengajaknya bicara.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD