2. Permintaan Mami

1452 Words
“Enak ya, tinggal minta duit, shopping deh, sepuasnya!” seruku lantang, begitu melihat Kak Rika datang membawa tas belanjaan banyak sekali. “Kalau pengen ya tinggal shopping, nyinyir mulu!” sahutnya sambil mencibir. “Ya nyinyir lah, orang bisanya cuma ngabisin duit Papi sama Mami—“ “Dean!” “Apa? Tersinggung? Emang itu yang aku mau, Kak! Mau sampai kapan kaya gitu?” Kak Rika hanya menggeram kesal, lalu berlari ke kamarnya. “Dasar parasit enggak tahu malu!” Ini nih, alasan aku malas pulang. Setiap hari aku harus melihat wajah tak tahu diuntung itu. Dia kira aku takut dengannya? Oh, sama sekali tidak! Oke, sekarang mari kuperkenalkan siapa sebenarnya Kak Rika. Dia adalah Rika Ulvia, kakak angkatku. Dia diadopsi Papi dan Mami sebelum aku dilahirkan. Dulu, Papi dan Mami bertahun-tahun tidak punya anak, setelah sebelumnya sempat hamil, tetapi keguguran sampai dua kali. Mereka yang frustasi mendambakan seorang anak, akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke panti asuhan. Kebetulan, waktu itu Kak Rika baru saja ditemukan oleh pemilik panti, dan sudah diberi nama oleh orang tua yang tega menelantarkannya. Papi dan Mami yang langsung merasa cocok begitu melihat Kak Rika, memutuskan untuk mengadopsinya. Dan ternyata, hanya selisih beberapa bulan setelah Kak Rika diadopsi, Mami hamil lagi. Dan ya, lahir-lah aku. Jadilah, selisih umurku dengan Kak Rika hanya satu tahun lebih sedikit. Oh iya, meski Mami merawat Kak Rika dari bayi, tetapi kami bukan saudara sepersusuan. Bagiku, dia tetap orang asing. Ya, meskipun Papi dan Mami mengadopsinya secara legal. Sejujurnya, waktu kami masih sama-sama kecil, hubungan kami cukup dekat. Aku tidak merasa keberatan memiliki kakak angkat. Kami bahkan main bersama, saling pinjam meminjam baju. Sayangnya, hal itu berakhir ketika aku kelas tiga SMA, dan Kak Rika sudah kuliah. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Dia berubah menjadi orang yang tak aku kenal. Dia bahkan sampai di-DO dari kampus karena IPK-nya tidak mencukupi. Aku dengar, dia jarang masuk. Makanya, nilai yang keluar banyak yang buruk. Tidak hanya itu, uang yang Papi transfer ke rekeningnya selalu habis lebih cepat, padahal Papi itu orangnya sangat loyal. Banyangkan saja, satu bulan dikasih sepuluh juta, tetapi masih kurang. Menurutku, uang sepuluh juta untuk satu bulan, sudah lebih dari cukup. Apalagi, posisi Kak Rika waktu itu masih mahasiswa baru. Itu hanya uang jajan loh ya, belum kalau beli barang-barang, Papi masih transfer lagi. Jujur, aku sangat kecewa dengan Kak Rika sejak dia berubah jadi seperti itu. Papi dan Mami mau melepas dia, sudah terlanjur tidak tega. Bagaimanapun juga, mereka sudah merawat Kak Rika sejak dia masih bayi. Kalau aku jadi Kak Rika, aku akan berusaha keras untuk membalas kebaikan Papi dan Mami yang sudah merawat dengan baik, padahal bukan darah daging sendiri. Tapi apa? Yang dia lakukan justru sebaliknya. Dia malah mempermalukan Papi dan Mami lewat surat DO dari kampus. Papi dan Mami jelas marah besar, dan itu sempat membuatnya kembali berubah seperti dulu, tetapi hanya sebentar. Dia kembali semaunya sendiri, meski Papi sudah berbaik hati menguliahkannya lagi. Dan ternyata, IPK Kak RIka kembali memprihatinkan, padahal kampus barunya tergolong kampus yang biasa-biasa saja. Papi yang akhirnya pasrah, hanya berharap Kak Rika bisa lulus, tidak peduli lagi dengan hasil yang ada. Miris sekali, kan? “Dean, Dean! Mami udah pilihin tiga gaun cantik. Kamu mau pakai yang mana?” Tiba-tiba saja, Mami datang dari halaman belakang dan berlari ke arahku. “Gaun apa, sih, Mi?” tanyaku tak paham. “Buat ketemu calon suami, dong!” “Ogah!” tolakku mentah-mentah. “Oke, berarti malam ini juga, Papi kamu tanda tangan surat warisan. Deana Sylva Anjani, S.T. diganti jadi Rika Ulvia, S. Pd.. mau?” “Basi banget, ih, Mi!” “Basi, basi! Kami lakuin ini demi kamu, Dean... ngerti?” kali ini Mami sudah duduk di sebelahku, dan ekspresi beliau mulai melunak, lebih tepatnya semi serius. “Apa aku ini keliatan enggak laku, Mi, sampai harus dijodohin?” “Bukan gitu, sayang. Sama sekali bukan itu. Papi sama Mami cari yang sudah jelas bibit, bebet, bobotnya. Papi sama Mami sudah lihat langsung calon suami kamu. Anaknya tinggi, lebih ganteng dari yang di foto. Dia lulusan Jepang, dan dia baru nyelesaiin proyek gedung di sana. Design-nya banyak dipuji orang sana, loh!” Aku hanya diam, membiarkan Mami terus membicarakan orang yang akan dia jodohkan denganku. Mau lulusan Jepang, kek, Korea, kek, atau Negri Konoha sekalipun, aku enggak peduli! “Dia anaknya sopan, dan kalau senyum ganteng banget. Ada lesung pipinya!” lanjut Mami sambil tersenyum lebar. “Kalau Mami suka, Mami aja gih, yang nikah sama dia— argh! Mi, sakit!“ aku langsung meringis ketika Mami mencubit lenganku cukup keras. “Mami ini serius, Dean!” “Papi sama Mami pasti cari yang kaya, kan? Yang kalian anggap pantas besanan sama kita?” Mami buru-buru menggeleng. “Enggak, kekayaan itu nomor kesekian. Maksud Mami gini, oke, orang tua dia memang berada. Sudah punya banyak pabrik furniture di mana-mana. Tapi, bukan itu yang jadi pertimbangan utama kami. Kalau hanya lihat dari segi kekayaan, mereka masih di bawah kita. Bukan merendahkan, tapi Mami hanya bicara fakta.” “Terus apa?” “Calonmu itu keturunan orang baik. Ayahnya sangat jujur dan bertanggung jawab.” “Kok pede banget, Papi sama Mami bisa nilai orang kaya gitu?” alisku bertaut heran. “Ya jelas, orang Papi udah ngerasain sendiri terlibat langsung dengan Ayahnya.” “Maksudnya?” “Mami enggak bisa cerita detailnya, tapi kalau kamu penasaran, lain kali tanya Papi langsung. Yang jelas, Papi kamu pernah terlibat urusan bisnis dengan Ayahnya. Nah, entah bagaimana ceritanya, proyek mereka ini ada kelebihan laba hampir satu Milyar. Papi kamu sengaja enggak nanyain, karena uang itu sebenarnya sah-sah saja, misal diambil sana semua. Tapi kamu tahu? Dalam jarak semingguan, Papi dihubungi, diberitahu tentang uang itu beserta rinciannya. Sana enggak mau ambil semuanya, akhirnya dibagi dua, meski dengan presentase berbeda.” “Beneran gitu?” “Iya, Dean. Jaman sekarang, masih ada orang sejujur itu, di saat sebenarnya sana bisa saja tidak bilang. Dengar ya, De, sejak Papi sama Mami masuk dunia bisnis, kami ini bertemu banyak sekali tipe orang. Dari pengalaman baik sampai yang buruk, pernah kami rasakan. Kamu harus tahu satu hal, orang itu, akan ketahuan sifat aslinya kalau sudah berurusan dengan uang.” “Aku juga pernah dengar itu dari dosenku, Mi. Dan aku juga udah ngerasain sendiri,” sahutku yang langsung mendapat anggukan dari Mami. “Nah! Makanya, Papi kamu langsung bisa menilai calon mertuamu ini orang baik dan sangat jujur.” “Bentar, bentar... kok mendadak nyebutnya calon mertua, sih?” Mami tertawa pelan. “Ya kan, dia Ayah dari calonmu. Buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya. Iya, kan?” “Enggak, Mi. Enggak semua gitu. Ada kok, buah jatuh langsung menggelinding ke sungai, eh, kebawa arus ribuan meter— argh, Mi! Kok dicubit lagi, sih?” Mami ini kebiasaan. Kalau lagi kesal, beliau akan mencubit, atau memukul lawan bicaranya. Mana keras, bikin sakit! “Kamu itu ngelawan terus kalau dibilangin! Pokoknya harus mau! Tinggal pilih, menikah sama pilihan Mami, atau fasilitas kamu dicabut plus warisan pindah tangan. Sana, kalau mau di Jepang sampai tua—” “Mulai, deh, mulai! Iya, iya... kenalan dulu, tapinya...” “Oke, sayang. Mama yakin, kalian pasti cocok satu sama lain.” Aku hanya mendengus kesal, sementara Mami mulai merecokiku dengan memilih gaun. “Jadi mau yang mana? Hitam kelihatan sexy, abu-abu kelihatan elegan, kalau yang cream, baru kalem.” “Enggak mau semuanya. Aku mau kenalan, tapi aku enggak mau pakai gaun-gaunan. Aku mau pakai baju yang bikin aku nyaman.” “Asal jangan celana longgar sama kaos oblong. Mami cincang kamu, kalau ketemu keluarga sana pakai baju kaya gitu!” aku reflek menggeser duduk, ketika Mami sudah bersiap akan mencubitku lagi. “Enggak, Mi. Aku pakai yang sopan, kok, tapi enggak gaun juga.” “Oke, pokoknya awas aja kalau malu-maluin Papi sama Mami!” “Enggak, Mi. Khawatir banget, sih!” “Gimana enggak khawatir, punya anak cewek cuma satu, tapi semi jadi-jadian kaya kamu—“ “Mami!” Kali ini Mami tersenyum, sambil meraih tanganku. “Bercanda, sayang. Kamu anak Mami yang paling cantik.” “Emang ketemunya kapan sih, Mi?” “Minggu depan.” Mami menyahut cepat. “Si Masnya beda berapa tahun sama aku, Mi?” Mami terdiam sejenak, tampak berpikir. “Berapa, ya? Empat tahunan kayaknya. Hampir kepala tiga, tapi belum.” “Udah Om-Om, dong?” “Sembarangan! Kalau dia Om-Om, berarti kamu Tante-Tante.” “Dan Mami Nenek-Nenek?” “Ya ide bagus, De. Emang Mami udah siap punya cucu. Pesen ya, yang ganteng sama cantik!” Mendengar itu, aku langsung memutar bola mata malas, sementara Mami justru mulai senyum-senyum tidak jelas. Oh, ya ampun! Cobaan apa lagi, ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD