Pengen Cakar Tembok

2018 Words
Abel menampilkan senyum di wajahnya, menanti apa yang akan dikatakan laki-laki berwajah tampan dengan hidung mancung, bulu mata lentik, alis tebal serta bibirnya yang berisi. Kesannya sangat sexy sekali. Namanya adalah Edgar Cahyadi. Ia dinobatkan menjadi dosen pembimbing skripsi Abel. "Jodoh memang nggak kemana," pikir Abel saat tahu dirinya dibimbing oleh Bapak Edgar. Tertawa bahagia sampai jungkir-jungkir balik pun Abel lakukan. Bahkan kata "Gila" sangat cocok untuknya. Tetapi kelakuan itu hanya Abel tunjukan kepada keempat teman setongkrongan nya saja. Mana berani ia berlaku gila kepada orang lain. Ingat, Abel masih punya wajah dan urat malu. Untungnya masih berfungsi. Perasaannya Abel menjadi dag dig dug dari tadi, entah perasaan jatuh cinta berulang-ulang kali atau malah karena takut. Oke diam saja, Abel harus menormalkan detak jantungnya. Jangan sampai orang lain mendengar detak jantungnya yang sudah berpesta heboh di dalam tubuhnya. "Kamu yakin kasih ini ke saya?" Abel yang awalnya menunduk langsung mengangkat wajahnya. Tatapan mereka berdua bertemu tetapi Abel langsung memutuskan kontak. Ia tidak akan sanggup melihat mata sang dosen, bisa-bisa Abel meleleh di tempat duduknya sekarang. Abel berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut dosen nya itu. Ya Abel tengah menjalankan proses bimbingan skripsi sekarang, ia berada pada semester sembilan. Diam saja, doakan agar ia selesai semester ini. "Ya-yakin Pak," jawab Abel terbata-bata. Peluh keringat mulai muncul satu persatu, padahal ruangan itu sudah ada fasilitas AC. Apalagi ditambah wajah sang dosen sangat dingin. Ternyata kedinginan suasana terkalahkan dengan kobaran cinta Abel yang memuncak. "Saya nggak bisa terima, kamu ingat bukan apa yang dikatakan Bu Ani?" Bu Ani adalah ketua penguji Abel. Abel tiba-tiba lupa, ia berusaha mencari di memori kepalanya.  Apa yang dikatakan Bu Ani sebenarnya, tolonglah otak untuk segera menemukannya. Bisa-bisa Abel di telan hidup-hidup di dalam ruangan ini. Lagi-lagi, Abel tidak bisa menemukannya. Apa yang salah dengan otaknya ini? Apakah sudah penuh dengan kebucinan akut sampai ia amnesia begini. "Saya bekerja bukan hanya untuk bimbing kamu Abel!" sentak Bapak Edgar tegas. Abel tahu, tanpa diberitahu pun ia tahu. Ampun, rasanya Abel ingin berhenti kuliah saja. Siapapun tolong, apakah ada yang mau menggantikan dirinya sejenak untuk berhadapan dengan dosen ganteng plus sexy di depannya ini. Kebucinan akut membuat ia kehilangan arah tujuan haha. "Ma-maaf Pak, saya akan perbaiki lagi," ujar Abel buru-buru. Ia mendengar dosennya menghela nafas panjang, rasanya tatapan sang dosen mampu menebas lehernya. Jika nanti Abel tidak keluar dari ruangan ini berarti lehernya sudah di tebas secara online. "Kamu harus tambah proses optimasi dalam penelitian yang kamu angkat biar ada perbedaan dengan penelitian yang lain, kalau bisa optimasinya 2" Optimasi apa? Abel benar-benar tidak mengerti. Otaknnya tidak mampu mencerna dengan baik. Abel memilih untuk diam. Sang dosen menjelaskan tentang optimasi yang diimplementasikan pada penelitian Abel. Sejauh penjelasan itu, telinga Abel masih tidak mampu mencernanya dengan baik. Ia harus ingat untuk membersihkan telinga nya nanti, tidak lucu jika indra pendengarannya bermasalah karena terlalu banyak kuman yang bersarang. "Kamu ngerti apa yang saya maksud?" Abel masih dia mematung. "Kamu melamun?" sentak sang dosen tegas. Abel langsung sadar, ia mengerjapkan matanya berulang-ulang kali. Buru-buru Abel menjawab, kenapa ia melamun saat yang tidak tepat begini. "E-enggak Pak." "Kamu ngerti yang saya maksud?" tanya Pak Edgar lagi. Ia menampilkan wajah datar, sebenarnya sang dosen selalu datar. Haruskah Abel membuat lelucon lucu agar sang Dosen bisa tertawa. Abel penasaran bagaimana rasa tawa itu. Abel menyiapkan mental untuk menjawab, "Ti-tidak Pak." "Kalau tidak kenapa kamu diam saja dari tadi, tanyakan kepada saya jika ada yang tidak kamu tahu. Kamu mau sampai empat belas semester di sini?" Wahhh, mana mau Abel sampai empat belas semester. Masa ia menjadi aib keluarga, omongan tetangga dan ghibahan teman-teman. Big no! Abel sudah bertekad akan menyelesaikan pada semester ini apapun yang terjadi. Begadang  pun ia sanggup, ya walaupun ia memang sudah terbiasa begadang. Anak TI memang suka sekali begadang, padahal mereka tahu itu tidak baik. Entahlah, berselancar mengerjakan tugas di malam hari lebih menantang. Mohon untuk tidak meniru adegan ini, karena bisa menyebabkan timbulnya penyakit berbahaya. "Enggak Pak," jawab Abel langsung. Matanya sudah memerah, ia mencoba kuat. Malu sekali jika menangis di depan dosen super dinginnya ini. Abel berusaha menahan dirinya sendiri. "Huft, kamu ngerti penelitian yang kamu angkat ini?" tanya Pak Edgar. Abel lumayan paham tentang penelitian yang ia angkat, walaupun tidak sepenuhnya. "Nger-ti Pak, " jawab Abel menunduk. Ia memainkan bagian bawah hijabnya untuk menghilangkan rasa gugup yang mengguncang. "Coba jelaskan kepada saya, menurut pemaparan kamu!" Abel menarik nafas panjang, ia meyakinkan diri bahwa bisa menjelaskan tentang penelitiannya itu. "Pe-penelitian saya ini tentang prediksi saham dengan menggunakan metode CNN. Data yang saya ambil dari yahoo finance. Saya mengolah data dengan bahasa Pemrograman python. Terus sa-" "Stop!" Abel terdiam. Ia kembali menunduk karena tidak mampu menatap mata dosennya itu. "Kamu cari tahu tentang proses optimasi, jam 10 tepat kamu datang ke sini lagi. Jelaskan kepada saya bagaimana penggunaan optimasi pada penelitian kamu ini.," lanjut Pak Edgar lagi. Wajah Abel menegang, sekarang sudah jam delapan dan Abel harus datang lagi pada pukul 10. Ia hanya memiliki waktu dua jam untuk belajar memahami tentang optimasi. Apakah dengan otak yang sudah lama tidak  digunakan ini akan mampu memahami dalam kurun waktu dua jam? Abel sama sekali tidak yakin. Edgar melihat jam tangannya, "Saya harus mengajar. Kamu mau di sini?" Abel buru-buru mengambil tumpukan kertas skripsinya, ia langsung pamit keluar dengan sopan. Pertanyaan "Kamu mau di sini" adalah kalimat sindiran agar Abel segera keluar. Jika Abel tidak waras mungkin ia akan menjawab "Iya saya mau Pak." Abel tidak bisa menolak ruangan sederhana dan klasik itu tetapi ada kesan nyaman. Ingat nyaman hanya saat sang dosen tidak ada, kalau pemilik ruangan ada maka beda cerita lagi. Kaki Abel melemah, rasanya sangat berat untuk melangkah apalagi teman segenknya sudah pada selesai sidang dan sudah wisuda. Miris sekali nasib Abel, selalu saja apa yang dia buat tidak ada benarnya di mata Bapak Edgar. Laki-laki gila kerja dan tidak ada senyumnya sama sekali. Abel benar-benar ingin melakukan santet online haha. Kasihan jika santet online, lebih baik pelet online. "Lama-lama gue pelet juga tu dosen, untung ganteng. Coba aja kagak,  gue doain disepertiga malam," omel Abel berani. Jelas saja ia berani karena tidak ada yang bisa mendengar dirinya. Suasana kampus masih sangat ramai, banyak mahasiswa yang mulai masuk ke dalam kelas. Bahkan ada yang bernasib sama seperti Abel, yaitu bimbingan. Dari mana Abel tahu? dari map kuning yang mereka bawa. Setiap bimbingan, mahasiswa harus membawa kartu bimbingan dan map berwarna kuning. Abel melebarkan senyumnya ketika melihat satu mahasiswa yang bernasib sama dengannya yaitu Ridho. "Woi do," panggil Abel sambil melambai-lambaikan tangan seperti anak kecil yang memanggil penjual es potong keliling. "Gue mau bimbingan bentar, Ibu udah nunggu. Bye!!!" Raut wajah Abel berubah seketika, awalnya saat melihat sang teman ia sedikit merasa senang karena bisa melampiaskan keluh kesah. Namun kenyataan memang pahit, Abel memilih untuk ke perpustakaan. Untung saja ia membawa laptop. Jika tahu begini, lebih baik Abel mengangkat judul berbaur aplikasi. Data mining sangat memuakkan, apalagi selama proses perkuliahan tidak terlalu ditekankan belajar data mining. Ini memang kesalahan Abel, ia mengangkat judul skripsi berdasarkan ikut-ikut teman bukan berdasarkan skill dan pemahaman yang ia punya. Lihat sekarang hasilnya? ia malah kelinglungan seperti anak ayam mencari induknya di hamparan padi. "Kapan tu dosen ganteng ngerti gue si? Perasaan Diba bimbingan adem ayem aja. Lah gue kok malah salah mulu perasaan," curhat Abel sendiri di ruang perpustakaan. Ia malah membayangkan wajah Pak Edgar tersenyum kepadanya. "Kalau suka sama gue, nggak gitu juga caranya. lama-lama gue lamar juga tu dosen," monolog Abel lagi. Ia menatap langit-langit dengan tangan kanan yang berada di pipi sebagai sanggahan. "Akh iya gimana kalau gue daftar aplikasi cari jodoh aja, mana tahu jodoh gue orang luar kan. Bisa kaya mendadak gue, terus nggak perlu ngurus skripsi lagi kan ya." Abel termakan keviralan orang yang menikah dengan laki-laki luar negeri. Ya, katanya mereka kenal dari salah satu aplikasi online. Bolehkan Abel mencobanya? Abel senyum-senyum sendiri, "Eh jangan deh, ntar Yayang Edgar patah hati hahaha." Siapapun yang melihat dan mendengarkan Abel sekarang pasti dianggap seperti orang gila. Jelas saja begitu, ia berbicara sendiri, kadang marah tidak jelas kadang senyum dan kadang tertawa sendiri. Seharian ini Abel sudah 2 kali masuk ke dalam ruang menyeramkan. Pertama saat jam masih menunjukan pukul tujuh pagi, yang kedua saat jam 10 pagi. Bayangkan saja Abel harus berangkat ke kampus jam 6 pagi karena jarak rumah dan kampusnya bisa memakan waktu empat puluh lima menit. Pada perjumpaan yang kedua kalinya di hari ini, Abel di semprot abis-abisan karena ia salah menjawab. Bayangkan saja Abel harus memahami satu pokok pembahasan yang luas dalam kurang dari dua  jam. Siapa yang bisa? Abel memilih mengangkat tangan pada kamera, tanda pasrah. Lihat Sekarang Abel sudah kembali menunggu di depan ruang menyeramkan itu lagi. Padahal waktu sudah hampir menunjukan pukul lima sore, tetapi tidak ada tanda-tanda penghuni ruangan itu kembali. Ruangan terkunci dengan rapat, beberapa ruang dosen juga sudah terkunci. Mungkin beberapa dosen ada yang sudah pulang atau masih mengajar. Abel sudah menunggu sekitar dua puluh tujuh menit. Rasanya ia ingin menghancurkan apapun untuk saat ini. Suasana kampus tidak pernah sepi, setidaknya selain hari libur karena kegiatan kampus sampai pada pukul 9 malam. Abel memilih untuk duduk di ruang tunggu daripada berdiri. Ia memeluk laporan penelitian  yang masih proses bimbingan. Sudah berkali-kali Abel melakukan bimbingan, kertas bimbingannya pun sudah beberapa lembar. Padahal mahasiswa normal hanya memerlukan satu sampai dua kertas bimbingan, sedangkan Abel sudah hampir 3 dan ia masih belum masuk ke dalam pembuatan program. "Is lowbat lagi,"desis Abel melihat smartphonenya. Niat hati ingin menghubungi dosen tercinta tetapi tidak bisa. Detik demi detik berlalu, beberapa dosen dan mahasiswa berlalu lalang. Sudah berkali-kali Abel menguap. Rasa kantuknya bermunculan. Seharian ini ia hanya berada di lingkungan kampus. Makan siang pun ia belum karena uang yang dibawa sudah dipergunakan untuk mencetak beberapa jurnal terkait proses optimasi pada yang digunakan dalam memprediksi saham. Abel tidak mungkin pulang, biaya bensin patut di perhitungkan. "Miris banget nasib gue," ujar Abel membolak-balik lembaran demi lembaran laporan penelitian. Banyak sekali coretan-coretan yang bisa saja membuat dia gila. Abel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ia tidak berminat untuk menikmati hidupnya lagi.  Jika saja ia tidak berada di ruang tunggu, pastilah Abel sudah berteriak keras menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. "Lo Abel!" Kesadaran Abel yang awalnya 40 persen mendadak naik drastis menjadi 80 persen. Dia bahkan langsung reflek berdiri. "Iya Pak," jawab Abel tersenyum. "Belum selesai juga ya?" "Belum Pak," jawab Abel malu. Pertanyaan yang selalu saja hadir di dalam hidupnya belakangan ini. Wajar saja Pak Aan bertanya kepadanya karena beliau merupakan dosen penasehat akademik Abel. Setiap mahasiswa mempunyai dosen penasehat akademik. Hal ini mempunyai banyak kegunaan, contohnya saja jika mahasiswa ada masalah dengan dosen lain atau dengan kampus maka dosen akademik menjadi tempat curhat mahasiswanya. "Apa kendalanya? Kamu boleh konsul sama Bapak kalau ada masalah ya," ujar Pak Aan meminta dokumen skripsi Abel. Abel memberikannya, malu sekali rasanya apalagi ada begitu banyak coret-coretan di sana. "Belum memahami dengan sempurna aja Pak, semoga semester ini selesai." "Kamu ambil data mining?" Abel mengangguk dengan ragu. "Belajar sama siapa nanti untuk buat program nya?" "Belajar sendiri pak, tapi nanti kalau ada kendala bakalan nanya sama senior." Pak Aan mengangguk. Abel berulang-ulang menahan agar tidak menguap. Bisa mati kutu dia jika menguap depan dosen PA nya. "Bagus kalau gitu,  oh ya ini kamu sudah selesai bimbingan?" "Belum Pak... Lagi nunggu Pak Edgar pak, beliau bisa bimbingan jam setengah lima." "Walah, Pak Edgar udah balik sejak tiga puluh menit yang lalu." Boom!!! Boleh kan Abel tertawa kuat sekarang ini? Tolong ingatkan Abel bahwa di depannya masih ada dosen, jangan sampai sifat gilanya keluar. "Oh gitu ya Pak," balas Abel tersenyum masam. "Iya, coba lihat di sistem absen." Abel langsung pamit untuk melihat di sistem Absen dosen di kampusnya. Abel mencari nama calon suaminya itu. Kok tidak ada? Ya jelas saja tidak ada karena ia belum punya calon suami. Edgar Cahyadi Masuk : 06.45 Pulang : 16.25 Tanpa sadar air mata Abel menggenang di pelupuk matanya. Ia langsung mengusapnya. Ia Memilih untuk pulang daripada menghancurkan kampus. Abel jalan ke parkiran dengan menunduk. Dokumen skripsi yang sudah tercoret-coret ia buang ke tempat sampah. Perasaannya hari ini kacau sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD