Hujan baru saja reda ketika Alven mengetuk pintu apartemen itu. Suaranya gemetar, entah karena udara dingin atau karena rasa bersalah yang menumpuk di d**a. Thea membuka pintu dengan mata yang masih sembap, namun senyum tipisnya tetap memaksa hadir. “Kenapa datang ke sini?” suaranya bergetar, lembut tapi penuh luka pura-pura. Alven tak menjawab. Ia langsung memeluk Thea seolah pelukan itu bisa menghapus semua kesalahan yang baru saja ia buat. Bahunya kaku, napasnya berat di sisi leher Thea. “Maaf,” katanya lirih. “Aku nggak tahu harus gimana… tapi aku nggak bisa tenang kalau tahu kamu sendirian.” Thea diam. Tubuhnya sempat menegang, lalu perlahan melunak. “Kamu baru saja menikah, Alven,” bisiknya di antara desah napas yang hangat. “Seharusnya kamu di sana, sama dia.” “Aku nggak mencint

