Rasa Penasaran

2029 Words
"Bunda …," panggilnya sesaat sampai di dapur dan melihat Bunda sibuk. "Ya, Dik. Kenapa Nak?" "Masak apa? Adik bantuin boleh?" "Sudah hampir selesai, Nak. Adik Mita duduk manis saja di kursi ya, atau boleh Bunda minta tolong, Nak?" Mita mengangguk cepat, Bunda tersenyum. "Panggilkan Kak Anjani untuk makan siang ya, Nak. Kita semua makan siang bareng, tolong ya sayangnya Bunda." Mita mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju kamar Kak Anjani. Ia mengetuk pintu kamar dan dipersilahkan masuk. "Kakak, lagi apa?" tanyanya saat melongok masuk. "Baca buku, masuk, Dik." Mita mendekat ke arah kakaknya, duduk bersimpuh di lantai dan mulai mengelus perut Kakaknya itu. Rasanya bahagia sekali akan memiliki ponakan. "Adik bayi, lagi apa di dalam?" tanya Mita mendekatkan telinganya ke perut, seakan mendengar apa yang sedang dilakukan jabang bayi di dalam perut. "Kak, masya Allah Adik bayi nendang," ujarnya histeris sangat bahagia. Ia selalu bersikap seperti itu saat menerima balasan tendangan dari ponakannya. Kak Anjani terkekeh melihat kebahagiaan sang adik. "Adik bayi tau lagi di ajak ngobrol sama auntynya hehe," balasnya terkekeh. Ia mengelus kepala adiknya yang tertutup hijab. "Kak, bahagia engga?" tanyanya yang membuat Kak Anjani menaikkan satu alisnya dan menatap heran. "Kenapa bertanya seperti itu, Dik?" "Engga pa-pa hehe. Aku hanya ingin tahu saja, apakah menikah dan punya anak itu bahagia?" "Alhamdulillah Kakak bahagia, Dik. Bahagia atau tidaknya itu tergantung yang menjalaninya, Dik. Pernikahan akan bahagia jika sepasang suami istri selalu berusaha membahagiakan satu sama lainnya, dan pernikahan akan seperti di neraka jika sepasang suami istri selalu bertengkar di setiap keadaan yang berbeda. Pertengkaran dalam rumah itu wajar Dik, sebab itu adalah bumbunya namun balik lagi bagaimana cara pasangan tersebut menyelesaikan masalahnya." "Kakak dan Mas juga seringkali berbeda pendapat, namun kami berdua selalu berusaha untuk tidak memperdebatkan sesuatu hal yang sudah jelas tak harus diperdebatkan. Jika bisa diselesaikan dengan lembut dan penuh kasih sayang, mengapa harus dengan amarh, bukan begitu? Ciptakanlah keharmonisan dalam hubungan pernikahan, niscaya kehidupan pernikahan tersebut akan tenang, nyaman dan adem seperti di surga." "Kakak ini memang sudah tau surga seperti apa?" tanya Mita terkekeh menimpali perkataan Kak Anjani. "Kamu ini ya --," balasnya mencubit pipi Mita. "Aw, sakit, Kak," protesnya. Ia meringis karena pipinya terasa panas setelah dicubit oleh Kak Anjani. "Biarin, soalnya kamu nakal!" "Eh btw, ngapain kamu ke sini?" "Disuruh Bunda, panggil kakak untuk makan siang bersama," balasnya nyengir. Senyumnya luar biasa indah dengan lesung pipi yang menghiasi wajah ayunya. "Ya sudah ayo, Kakak juga sudah lapar," ajaknya. Kak Anjani beranjak dari duduknya dan mulai berjalan keluar ke arah dapur. Mita memperhatikan Kakaknya dari belakang, tanpa terasa ia terkekeh dan tersenyum melihat pemandangan indah juga lucu. Melihat kakaknya berjalan saja ia merasa itu lucu, ya lucu karena melihat kakaknya kesusahan jalan hehe. *** "Kok lama, Dik?" "Biasa Bunda, ada yang ngajak Kakak ngobrol." "Memang kalian ngobrol apa?" "Kepo," ucap kakak adik itu serempak. Bunda terlihat keki setelah mendengar jawaban mereka. Mbok terkekeh saja melihat para wanita luar biasa itu bercanda. "Kalian ini! Menyebalkan! Bunda bete ah!" rajuk Bunda yang terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Mereka tertawa terbahak-bahak dan tawanya menggelegar ke seluruh ruangan. Mereka makan siang bersama, sesekali bercanda, jika tak ada Ayah, mereka semua aman dan tidak merasa ada yang mengawasi. Sebab, bisa ngobrol dan bercanda sambil makan hehe. Walaupun, memang sebenarnya tak baik jika makan sambil berbicara. Setelah selesai makan, mereka bertiga berjalan beriringan menuju ruang keluarga untuk menonton tv dan menghilangkan penat di siang hari. Mbok datang membawakan banyak cemilan untuk para majikannya itu. "Kak, tadi adikmu tanya apa?" "Bunda ih, masih kepo aja, kesal deh Adik Mita sama Bunda." "Ya engga pa-pa dong sayang, 'kan Bunda kepo obrolan kalian apa. Memang engga boleh?" "Ya engga boleh dong, Bunda. Masa Bunda kepo-kepo urusan anak muda, heran Mita sama Bunda." "Boleh saja dong, Nak. Boleh ya," ucap Bunda memohon pada anak bungsunya itu. Kak Anjani terkekeh melihat drama anak dan Bunda itu. "Ya sudah kalau Bunda maksa, Kak Anjani ceritakan saja. Bunda terlalu kepo, Kak." "Nah, gitu dong anak baik. Ayo Kak, ceritakan," pinta Bunda. "Tadi, Adik hanya bertanya apakah menikah itu bahagia." "Memang kenapa, Dik? Adik mau menikah?" tanya Bunda skakmat, Mita menghembuskan nafasnya kasar. "Kan Adik nanya, memang engga boleh, Bun? Ya Adik mau dong menikah, masa engga mau. Bunda ada-ada saja," balasnya santai menggelengkan kepalanya. "Maksud Bunda, emang Adik berencana menikah dalam waktu dekat?" "Menikah sama siapa Bunda? Semut? Pacar aja engga punya, dan engga mau pacaran, sih. Tapi kalau ada yang meminta Adik jadi seorang istri juga belum siap sih …," ucapnya lirih. "Kenapa Nak? Apa yang membuat Adik belum siap untuk menikah?" "Adik masih mau menyelesaikan kuliah, Bun. Mau kerja dan juga punya uang untuk membahagiakan Ayah, Bunda, Kak Anjani dan Mas Rizky." "Dik, Kakak engga minta di bahagiakan--," "Tapi, Adik mau, Kak. Adik mau membahagiakan kalian sebelum menikah," potongnya cepat. Ia tau, kakaknya itu akan menolak apapun usaha Mita untuk membahagiakannya. "Adik, Kakak sudah sangat bahagia jika melihatmu bahagia. Itu semua sudah cukup untuk Kakak. Jadi, jangan pernah berbicara seperti itu lagi." "Betul itu, Nak. Kami semua akan sangat bahagia jika melihat kau juga bahagia. Maka dari itu, bahagia selalu ya anak-anakku." "Dik, lalu apalagi yang menyebabkan Adik takut menikah cepat?" "Takut jauh dari Ayah dan Bunda," ucapnya menerawang jauh kedepan, rasa sesak di d**a seakan mendera dan mendesak. Entah perasaan apa itu, yang jelas Mita merasa sangat takut jika harus berpisah dengan Ayah dan Bunda. "Ya ampun, Mita haha, lebay ah," tawa Kak Anjani menggelegar, Mita yang ditertawakan hanya mengerucutkan bibirnya. "Bukan hanya itu, Mita terlalu takut untuk menikah muda, Bunda … Mita lihat banyak sekali orang yang gagal saat mereka menikah muda," ucapnya jujur. "Kata siapa, Nak? Semua itu balik lagi ke masing-masingnya sayang. Tidak semua yang menikah muda itu gagal. Nak, menikah muda atau tua tidak menjamin apapun, namun jika mempunyai pribadi yang baik, saling memahami dan saling mendukung insha Allah jauh dari kegagalan." "Bukankah jika menikah muda itu pikiran kita belum dewasa sehingga masalah kecil bisa jadi besar, Bunda?" "Nak, masalah itu tidak seharusnya di perbesar. Masalah kecil harus bisa dibuat semakin kecil agar tidak ada masalah yang besar dan berlarut-larut. Tidak semua orang yang menikah muda pikirannya belum dewasa, Nak. Kedewasaan seseorang itu bukan dilihat dari se-tua apa umurnya namun dilihat dari bagaimana cara dia menyikapi juga menyelesaikan setiap masalah dan ujian yang menghampiri diri dan juga kehidupannya." "Lalu bagaimana dengan perekonomian, Bun? Lima tahun pertama pernikahan itu ekonomi diguncang dengan hebatnya bukan? Dan kebanyakan wanita seumuran Mita menjadi janda karena merasa suaminya tak bisa memenuhi kewajiban ekonomi." "Mita, menikahlah untuk ibadah dan karena gusti Allah. Insha Allah rezeki terbuka dari segala arah, tidak usah merasa khawatir tak bisa makan Nak, sebab rezeki yang di cari oleh suamimu kelak ada rezekimu dan juga rezeki anakmu. Seseorang yang berani menikah, rezekinya akan berlipat ganda." "Nak, ujian itu bukan hanya dari ekonomi, anak pun bisa jadi ujian dan kekayaan pula bisa menjadi ujian." "Bagaimana bisa, Bun?" tanya Kak Anjani mulai penasaran dengan pembicaraan Adiknya juga sang Bunda. "Bisa dong, Nak. Orang menikah itu ujiannya macam-macam, bisa ekonomi sangat sulit tergantung bagaimana kita bisa menyikapinya. Manusia diberi akal untuk bisa berpikir dan berusaha, ekonomi susah harusnya bergerak, berusaha dan bukan hanya berdiam diri. Ada Allah, Allah sayang sama kita dan akan selalu jaga kita. Rezeki akan terbuka dari pintu mana saja, percaya itu." "Anak, banyak sekali pasangan suami istri yang dilimpahkan harta dan dicukupkan segalanya namun momongan tidak ada atau mungkin lambat. Gunjingan orang semakin santer dan mulut-mulut nakal makin bergosip membuat hati seorang wanita yang belum mempunyai anak tersebut semakin mencelos dan sakit. Seharusnya, sesama wanita itu jangan pernah mempertanyakan kapan menikah, kok nikah lama belum punya momongan atau ah suamimu kerjanya serabutan. Sungguh Nak, itu sangat tidak baik dan Gusti Allah tak pernah mengajarkan umatnya bersikap seperti itu. Justru seharusnya di doakan dan dihibur, karena doa yang baik akan berbalik pada diri sendiri, begitupun juga doa yang buruk." "Lalu sepasang suami istri diuji melalui harta yang melimpah dan juga momongan." "Memang ada, Bun?" tanya Mita tak menyangka ada juga ujian yang melibatkan dua hal sekaligus dalam hidup. "Ada sayang. Sepasang suami istri yang diuji melalui harta melimpah, Gusti Allah mengujinya dengan harta dikarenakan Gusti Allah ingin melihat bagaimana hambanya itu memanfaatkan harta yang melimpah untuk kebaikan atau keburukan. Dan, ternyata banyak sekali hambanya yang memanfaatkan harta tersebut dengan keburukan, contohnya keluar masuk diskotik, lupa membayar zakat, tidak bersedekah dan masih banyak lainnya." "Ada juga yang diberi ujian sekaligus, harta melimpah dan seorang anak. Hartanya melimpah namun anaknya masya Allah jauh sekali dari kata baik, suka sekali minum alkohol, narkoba dan masih banyak lagi. Harta orang tuanya dihabiskan oleh sang anak karena barang-barang haram yang dibeli, dan juga mungkin anaknya terkena masalah yang membuat harus dipenjara dan hartanya habis untuk bolak-balik membebaskan anaknya dari penjara." "Jadi, menikahlah dengan ikhlas karena ibadah dan karena Allah, niscaya semuanya dipermudah dan dilancarkan. Ujian dan cobaan itu pasti ada, namun Gusti Allah tidak akan menguji umatnya diluar batas kemampuan umatnya. Percayalah, ada Gusti Allah yang selalu menolong di setiap langkah kaki kalian." Kak Anjani dan Mita mengangguk mengerti dan mulai memahami setiap kata juga kalimat yang keluar dari mulut sang Bunda. Banyak sekali hal yang dapat mereka petik dari obrolan ini. Kak Anjani lebih paham apa yang harus ia lakukan sebagai seorang istri dan Mita lebih bisa memantaskan diri lagi untuk menjadi istri dan juga ibu nantinya. Obrolan masih berlanjut hingga menjelang ashar dan mereka kembali ke kamar masing-masing untuk menunaikan kewajibannya dan juga membersihkan diri karena hari sudah menjelang sore. *** Di dalam kamarnya, Mita kembali mengambil sebuah buku yang berisi kegiatan kesehariannya. Ia mulai mengambil pena dan tangannya mulai menari bersama pena tersebut. Menulis kata per kata dan juga kalimat yang Bunda ceritakan, ia menuliskan semuanya ke dalam buku tersebut agar bisa diingat suatu saat nanti jika ia lupa. Setelah menuliskan semua obrolan singkat namun penuh makna tadi, ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, ia kembali duduk di atas ranjang dan mengambil ponselnya di atas nakas. Mulai membuka satu persatu social media yang ia miliki, banyak sekali yang meminta pertemanan dan mengirimkan inbox, sayangnya ia tak tertarik dengan semua itu. Ia mulai menerawang jauh ke depan, memikirkan bagaimana nanti jika ia menikah apakah akan bahagia atau justru sebaliknya? Terlalu banyak ketakutan yang tertanam dalam diri dan hatinya, banyak sekali yang ia pikirkan matang-matang agar tak salah melangkah nantinya. Jujur, rasa takut yang paling mendera dalam hatinya adalah takut jika ia tak bahagia dan justru malah di kecewakan. Prinsip hidupnya adalah menikah sekali seumur hidup, menjadi seorang istri dan juga ibu dari keluarga yang harmonis, hangat dan penuh cinta. Ia akan mengabdi dengan tulus dan ikhlas kepada suaminya kelak, ia akan berusaha membahagiakan dan juga patuh atas semua perintah yang suaminya lontarkan. Suami adalah raja, dan sudah sepatutnya istri harus patuh pada suaminya. Salah satu contohnya adalah keluar selangkah dari pintu rumah, jika suami tak mengizinkan dan tak meridhoi maka pantang bagi seorang istri untuk melanjutkan langkahnya kembali. Mita mengharapkan seorang lelaki yang baik hati dan penuh cinta datang padanya, mengkhitbahnya dan menikahinya karena Allah. Mita sudah mulai mempersiapkan diri dan juga memantapkan hatinya jika memang harus menikah muda. Pikiran, hati dan juga perasaannya terbuka lebar setelah obrolan bersama sang Bunda. Ia ingin seperti Bundanya yang selalu patuh dan lemah lembut pada Ayah dan ia ingin mendapatkan suami yang seperti Ayahnya baik, saling menolong bersama pasangannya dan selalu hangat setiap kali bersikap. Ya Allah, kupasrahkan semuanya pada Gusti Allah. Jika memang aku harus dipertemukan jodohnya cepat, maka insha Allah aku akan siap untuk menerimanya. Menerima kekurangan dan juga kelebihannya, menerima semua tingkah laku baik dan juga buruknya, menerima semua ucapan baik dan juga buruknya, namun aku selalu berharap Allah selalu memberikan yang terbaik untukku, doanya seraya menangkupkan kedua tangannya menghadap ke langit dan berharap doanya sampai dan terdengar hingga langit ketujuh. Tanpa terasa, bulir kristal jatuh membasahi pipinya, derai air mata seakan enggan menutupi wajah cantik itu, bulir kristal tersebut terus turun dan membanjiri wajah Mita. Entah perasaan apa itu, yang jelas Mita merasa sujud dan doanya kali ini benar-benar sangat terenyuh sekali. Ia menuntaskan doanya, mengusap sisa-sisa bulir kristal yang hampir mengering lalu menuju kamar mandi untuk bebersih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD