Kehangatan Di Ruang Keluarga

1858 Words
Mita melangkahkan kaki keluar kamarnya menuju kamar ayah dengan tujuan ingin curhat. Mita memang sangat dekat sekali dengan Ayahnya, karena ayah adalah lelaki pertama yang ia sayang dan cinta. Perlahan ia membuka pintu kamar ayah, melongokkan kepalanya dan melihat ayahnya sedang duduk bersantai sambil membaca koran dan menikmati teh hangatnya. "Ayah," panggil Mita. Ayah menengok ke arah sumber suara dan melihat anak bungsunya berdiri di pintu, ia langsung tersenyum. "Ayah sibuk?" "Enggak sayang, sini masuk!" perintahnya. Mita langsung masuk dan tak lupa mengunci pintunya. Kali ini, ia hanya ingin ceritanya didengar oleh sang ayah. Mita duduk bersimpuh di kaki ayahnya, dan menyandarkan kepalanya ke lutut ayah. Ayah membelai kepala yang tertutup dengan hijab dengan lembutnya seakan mentransfer cinta dan kasih sayang yang diberikan ayah pada Mita. "Ada apa, Nak?" "Ayah, bagaimana jika ada yang meminang Mita?" "Alhamdulillah, siapakah gerangan lelaki yang sudah berhasil meluluhkan hati anak bungsu Ayah ini?" "Ali, Ayah." "Ali? Imam Hamdali maksudmu, Nak?" tanya Ayah, tanpa sepengetahuan Mita seulas senyum tercetak jelas di bibir ayahnya. Hatinya merasa lega sebab Ali berhasil membuat Mita luluh. "Iya Ayah, betul. Apakah Ayah setuju? Ikhlas ridho jika Mita menikah dengannya?" "Apakah kau yakin, Nak? Apa kau ikhlas ridho untuk menjadi istrinya? Pendamping hidupnya dan ibu dari anak-anaknya kelak?" "Inshaa Allah Mita ikhlas ridho, Ayah." "Alhamdulillah, Nak. Jika kau sudah ikhlas, lalu Ayah bisa apa selain menyetujuinya, Nak? Ayah setuju dengan pilihan Mita." "Tetapi, jangan lupa ikut campurkan tangan Gusti Allah di dalamnya, Nak. Mita, sholat istiqarah dan tahajud meminta keyakinan dan keikhlasan hatimu untuk menerimanya, Nak." "Alhamdulillah, baik Ayah. Jika memang Ayah setuju, maka Mita akan melanjutkan menghubungi Ali untuk segera kesini menemui Ayah. Dan untuk ikut campurkan tangan Gusti Allah itu sudah pasti akan Mita laksanakan Ayah. Mohon doa restu Ayah." "Pasti, Ayah akan selalu mendoakanmu Nak. Bahagia selalu disetiap langkahmu, Nak. Setelah menikah, tetap lanjutkan kuliah ya Nak. Cuman itu yang Ayah harapkan, ingin melihatmu menjadi sarjana." "Baik Ayah. Mita akan selalu mengingat permintaan dan juga harapan, Ayah." "Semoga Ali amanah dan bisa menjagamu seperti Ayah menjagamu, Nak. Ayah serahkan putri bungsu pada lelaki baik hati. Aamiin." Mita tersenyum melihat senyum bahagia dari Ayahnya. Entah mengapa, senyum ayahnya itu adalah mood booster buatnya. Ia ingin selalu melihat senyum indah itu di bibir sang ayah. Hatinya sekarang sudah lega karena ia sudah menceritakan semuanya pada sang ayah. Tugasnya sekarang adalah mengadu pada Gusti Allah dan menerima ketentuan yang nantinya dikasih oleh Gusti Allah. "Ayah, jangan pernah berubah sama Mita ya. Selalu sayang dan cinta Mita." "Kenapa bicara seperti itu, Nak?" "Enggak pa-pa, Ayah. Mita cuma takut kalau Ayah enggak sayang dan cinta ke Mita lagi." "Haha, anak gadis kecilnya Ayah. Enggak mungkin berhenti menyayangi dan mencintaimu, Nak. Kau dan Kak Anjani adalah nyawa Ayah, Sayang." "Mita takut Ayah, hiks," tangis Mita pecah. Ia menangis sesegukan di pangkuan Ayahnya. "Hey, gadis mungilnya Ayah. Jangan menangis, Nak. Apa yang di tangisi olehmu? Seharusnya Mita bahagia sayang, bukan menangis seperti ini." "Mita belum bisa bahagiakan, Ayah dan Bunda." "Sayang, Ayah dan Bunda sudah sangat bahagia melihatmu bahagia. Melihat Mita dan Kak Anjani bahagia adalah harapan sederhana kami, Nak." Tiba-tiba pintu terbuka dan Bunda masuk ke dalam, "Wah ada apa ini? Kenapa gadis mungil Bunda menangis? Ayah nakal ya, Nak?" "Hiks, enggak Bunda. Ayah, enggak nakal." "Anak bungsu kita ada yang ingin meminang, Bun," ucap Ayah membuat Mita bersemu merah. "Masya Allah Tabarakallah, siapakah lelaki yang berhasil meluluhkan anak kesayangan kita ini, Ayah?" "Imam Hamdali, anaknya Juleha, Bun." "Masya Allah, Alhamdulillah ya Ayah. Ternyata jodoh anak kita tidak jauh." "Iya, Bun. Ternyata lelaki itu bisa meluluhkan hati Mita." "Alhamdulillah. Tapi, ngomong-ngomong apa cuman Ayah yang di peluk, Dik? Bunda enggak nih?" "Aahhh Bunda. Mita sayang banget sama Ayah dan Bunda. Sehat selalu kesayangan Mita, bahagia dunia akhirat kalian berdua adalah orang tua terhebat bagi Mita. Mita cinta sekali sama kalian, cinta ini akan selalu untuk kalian hingga akhir hayat Mita. Jangan pernah berubah pada anak kecil ini ya, Ayah dan Bunda." Mereka bertiga berpelukan dan saling menangis satu sama lain, apalagi tangis Mita begitu sangat pecah. Ia merasakan kesedihan karena merasa sebentar lagi berpisah dengan kedua orang tuanya. Selama delapan belas tahun bersama kedua orang tua dan Kak Anjani, lalu dalam seketika di nikahi dan di boyong oleh suami untuk hidup bersama mengabdi pada suami. Bunda mengusap lembut air mata yang masih jatuh membasahi pipi anak bungsunya itu. Dan menarik bibirnya agar tersenyum lepas tanpa beban. Senyum yang selalu dirindukan oleh sang Bunda setiap waktunya. Senyum berlesung pipi menambah keayuan wajah anaknya. "Jangan pernah menangis lagi Nak, bahagialah karena sekarang saatnya kau bahagia," ucap Bunda tulus, menangkupkan kedua tangannya di pipi gadis mungilnya itu. "Mita, janji sama Bunda ya. Apapun yang terjadi nantinya bersama suami, jangan pernah melawannya Nak. Diam lebih baik, karena diammu akan meredakan amarah suami. Jangan menjawab ucapan suami yang akan semakin memperkeruh masalah atau keadaan. Bunda percaya Mita paham dan bisa menjalani semuanya." "Baik Bunda, Mita akan selalu ingat pesan Bunda. Inshaa Allah Mita ikhlas ridho lillahita'ala, Bun." "Itu baru anak Bunda. Sekarang berhenti menangis, dan kembali ke kamarmu, Nak." Mita mengangguk patuh dan beranjak pergi dari kamar orang tuanya kembali ke kamar pribadinya. *** Di tempat berbeda "Bun, akhirnya rencana Ayah berhasil." "Iya Ayah, Alhamdulillah." "Apa Bunda bahagia?" "Bahagia sekali, namun entah mengapa Bunda merasa ragu pada Ali, tapi mudah-mudahan ini hanya keraguan biasa saja. Dan semoga Ali adalah lelaki yang amanah dan bisa menjaga putri kita dengan baik ya Ayah." "Memang apa yang menyebabkan Bunda ragu terhadap lelaki itu?" "Ayah, Bunda ini seorang ibu jadi tau dan merasakan apabila ada yang tidak baik. Namun, Bunda selalu berusaha untuk berpikir positif agar menghasilkan buah positif. Berpikir bahwa Ali adalah lelaki baik dan amanah agar benar-benar menjadi lelaki baik dan amanah. Berpikir bahwa Ali adalah lelaki yang pantas menjadi suami, partner hidup dan bapak yang baik untuk istri dan anak-anaknya kelak, agar benar-benar terwujud.". "Semoga, apa yang kita harapkan dan inginkan terwujud, Bun. Kita titipkan sepenuhnya pada Ali dan Gusti Allah. Inshaa Allah, Mita bisa menjaga dirinya dan ada Allah yang akan menolongnya di setiap keadaan, Aamiin." Pasangan suami istri tersebut saling berpelukan, mereka berusaha untuk tenang dan yakin terhadap keyakinan anaknya. *** Mita berada di kamar kesayangannya, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang kebesarannya. Matanya memandang atap langit, pikirannya mulai menerawang. Hatinya mulai bergejolak, apakah ia benar-benar akan menerima Ali menjadi partner hidupnya, suaminya dan bapak dari anak-anaknya kelak. Ia menarik nafas panjang, dan menghembuskannya lagi perlahan. Ya Allah, semoga aku tak salah memilih dan semoga dia benar-benar hadiah dariMu. Semoga aku tak menyerahkan hati, hidup dan duniaku pada lelaki yang salah. Aku hanya ingin dia adalah jawaban dari apa yang kubutuhkan bukan kuinginkan, gumamnya. Mita bangun dari rebahannya dan mulai mencari buku diarynya. Ia mulai memainkan penanya diatas kertas putih, tinta berwarna hitam itu menari indah dengan mengalun-alun memberi tanda akan sebuah kata indah yang tercetak jelas di kertas putih tersebut. Kertas putih yang mulai terisi kata demi kata indah dan juga keluhan, baik keluhan menyakitkan atau keluhan bahagia. Mencurahkan semua isi hati sang empu pemilik buku indah itu, dan membuat siapapun yang kelak membacanya akan ikut hanyut dalam sebuah kata cinta yang indah. Gadis mungil itu terus mengalunkan penanya, cukup lama sekali ia tidak bercengkrama dengan teman penanya tersebut membuat gadis itu mencurahkan semua isi hatinya. Ia merasa teman penanya itu lebih dapat dipercaya, sebab hanya dengannya bisa mencurahkan semua cerita baik sedih atau bahagia. Setelah puas bercengkrama, ia menutup bukunya dan membaringkan tubuhnya. Mencoba memejamkan mata dan tertidur dengan pulas. Cukup lama juga Mita tertidur hingga waktu menjelang dzuhur baru terbangun itupun Bunda yang masuk ke dalam kamar dan membangunkannya. "Sayang, Adik Mita … bangun Nak." "Masya Allah, Bunda. Mita tertidur? Maaf." "Iya sayang, ayo sholat dzuhur dulu setelah itu silahkan istirahat lagi." "Dzuhur Bun? Astaghfiraallah Mita tertidur cukup lama sekali rupanya, maafkan Mita ya Bun jadi enggak ada waktu sama keluarga weekendnya." "Enggak pa-pa sayang, Mita 'kan lelah dan butuh istirahat. Ayo bangun, selesai sholat kita makan siang bersama ya, Bunda tunggu di bawah." Mita mengangguk patuh dan Bunda beranjak keluar kamar. Ya Allah, aku tidur cukup lama sekali. Mungkin kurang tidur karena beberapa hari ini tidurku sungguh tak nyenyak. Bismillah, ambil air wudhu dulu ah, sholat terus makan siang. Lapar sekali rasanya. Mita beranjak dari ranjangnya untuk mengambil air wudhu dan menunaikan sholat dzuhur. Ia menggelar sajadahnya dan bercengkrama bersama Gusti Allah. Setelah selesai, ia keluar kamar dan menuju dapur karena sudah ditunggu oleh yang lainnya. "Loh? Adik ada di rumah?" tanya Kak Anjani bingung. "Hehe, iya Kak. Tapi, bobo di kamarnya kelamaan ya sampai enggak sempat ngobrol kita semua." "Lelah Dik? Atau galau?" tanya Mas Rizky sarkas. Mita mendelikkan matanya ke arah lelaki tampan itu dan menaikkan satu alisnya, ia merasa tak paham dengan ucapan Mas Rizky. "Maksudmu, Mas?" "Galau, karena mau dipinang, ahaydeu," ledek Kak Anjani. Mita menghembuskan nafas kasarnya, matanya langsung mengarah pada sang ayah yang sedang tersenyum merasa tak bersalah. "Ayah! Pasti Ayah dan Bunda deh! Iya 'kan? Ngaku!" pekik Mita heboh sendiri. "Kabar baik itu harus diberitahu, tidak boleh disembunyikan agar banyak orang yang mendoakan dengan kebaikan, Dik. Jadi tak apalah Kak Anjani dan Mas Rizky diberitahu, lagian keluarga sendiri," ucap Ayah bela diri. "Tapi 'kan Mita belum bisa iya setuju, Ayah." "Ya sudah, sekarang lebih baik kita semua makan dulu. Setelah itu, lanjutkan mengobrol di ruang keluarga." Mereka semua mengangguk setuju dengan ucapan ayah dan mulai makan dengan tenang. Setelah makan selesai, sesuai perkataan Ayah tadi, merek semua beranjak ke ruang keluarga untuk berbincang. *** "Dik, melanjutkan pertanyaan yang tadi, memang Adik mau menolaknya?" tanya Mas Rizky penasaran. "Entahlah. Mita bingung, gimana nanti aja. Mita mau curhat sama Gusti Allah dulu agar mendapatkan petunjuk untuk menyakinkan hati Mita." "Itu lebih baik, Dik. Kakak setuju banget, jangan terlalu terburu-buru sebab biasanya yang terburu-buru itu ada sesuatunya. Memang tidak semuanya, namun enggak ada salahnya 'kan kalau waspada? Itu lebih baik, daripada seakan menerima sesuatu yang tertutup karung dan tak terlihat apa isi dalamnya, begitu bukan?" "Kak, lebih baik bicara yang baik agar Adiknya tidak gundah gulana lagi karena semua ini. Kasihan berhari-hari sudah kurang tidur." Bagaimana Bunda tau ya kalau aku beberapa hari ini kurang tidur? Aneh sekali, ucap Mita dalam hati. Ia memandang Bundanya bingung. Pasti anak bungsu Bunda bingung, bagaimana Bunda bisa tau semuanya hehe. Bunda akan selalu tau apa yang terjadi padamu, Nak. Bunda yang akan menjagamu dari jauh, ucap Bunda dalam hatinya. "Memang apa yang membuat galau, Dik?" "Enggak ada Kak, mungkin itu hanya perkiraan Bunda saja, hehe," jawabnya terkekeh menutupi kenyataan yang sebenarnya. Mita ini memang gadis yang sangat pintar sekali menipu orang lain atas perasaannya namun ia tak pintar untuk menipu Bundanya, karena dalam sekejap akan ketahuan. "Iya juga enggak apa-apa, Dik. Memang benar kenyataannya galau 'kan? Jujur lah sayang," goda Bunda tersenyum manis. "Bunda ini, suka mengada-ngada aja. Mita enggak pernah galau, Bun," elak Mita karena merasa terpojok oleh sang Bunda. "Padahal mau nikah galau banget. Kok bisa kamu luluh, Dik?" tanya Kak Anjani penasaran. "Entahlah Kak. Aneh juga sih aku juga, padahal Kakak tau sendiri 'kan bagaimana juteknya aku sama lelaki bahkan terlihat memberi batasan luar biasa." "Batu karang semakin di siram oleh air laut maka akan pecah juga. Eh begitu bukan ya pribahasanya," ucap Mas Rizky terkekeh karena ucapannya sendiri. "Haha, suamiku ini kalau bicara suka asal. Tapi bener kok sayang, hehe," balas Kak Anjani yang ikut terkekeh dengan ulah suaminya. "Kalian memang cocok menjadi suami istri, karena sama-sama menyebalkan," ucap Mita sarkas. "Maka dari itu kami berjodoh haha," jawab mereka berdua serempak. "Tuh 'kan, cocok bangetlah menyebalkannya." "Sudah jangan terus meledek Adiknya, kita doakan saja semoga Adik Mita memilih lelaki yang tepat, yang pantas dan layak di jadikan suami dan partner masa depannya. Aamiin," ucap ayah dan diaamiinkan serempak oleh mereka semua. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD