Di Rawat oleh Bunda

1020 Words
Mita yang saat itu sudah merasa tidak berdaya akhirnya hanya bisa pasrah ikut bersama Bunda, Kak Anjani dan Mas Rizky ke salah satu klinik yang memang di dalamnya ada dokter keluarga Sasongko. Sesampainya di klinik, Mita segera diambil tindakan untuk diperiksa. Sebenarnya Dokter sudah menyuruh untuk di rujuk ke rumah sakit tetapi Mita menolaknya. Ia berpikir jika harus dirawat di rumah sakit, bagaimana harus membayar biayanya dan lagi siapa yang akan menemaninya selama sakit. "Dik, sudahlah tak apa di rawat saja ya," rayu Kak Anjani. "Iya Mita, di rawat lebih baik karena perkembangan kondisimu akan terus ke kontrol oleh dokter. Kau tak perlu khawatir masalah biaya, Dik. Ada kami, keluargamu. "Tidak usah, Kak Anjani, Mas Rizky. Sungguh, Mita tak apa-apa hanya demam biasa saja." "Kenapa kamu itu masih susah saja di urus dalam keadaan sakit seperti ini, Mita." "Bun, percayalah Mita tidak apa-apa dan akan baik-baik saja. Ini bukan masalah biaya, hanya saja jika Mita sampai di rawat di rumah sakit, pasti kalian akan ikut repot. Nantinya, siapa yang akan menjaga Mita di rumah sakit? Dan juga siapa yang menjaga Mas Saka? Kasihan Mas Saka nantinya." Mereka mulai berpikir apa yang diucapkan oleh Mita memang ada benarnya juga, tetapi mereka pun tak ingin mengambil resiko mengenai kondisi kesehatan adiknya. Mita terus berusaha menyakinkan mereka bahwa dirinya dan anak yang dikandungnya tidak apa-apa, walaupun dokter memberitahu bahwa kondisinya kenapa-kenapa. Setelah keheningan beberapa saat menyelimuti mereka semua. Mita membuka suara lagi dan berusaha menyakinkan dokter agar mengikuti permintaannya sebagai pasien. "Dok, bisakah jika hanya berobat jalan saja?" Dokter menghela nafas berat dan berkata, "Baiklah jika memang itu yang kau inginkan, Mita. Saya perbolehkan untuk rawat jalan tetapi dengan catatan, jika kondisimu belum membaik harus segera kembali kesini untuk dirujuk ke rumah sakit." "Saya beri waktu seminggu, dalam seminggu ke depan jika masih belum ada perkembangan lebih baik, dimohon Bunda dan kedua kakaknya mengantar ke sini ya," ucap Dokter membuat mereka semua mengangguk. "Aku mengerti, Dok. Dan pasti akan segera sembuh dan kembali stabil, agar tidak harus dirujuk ke rumah sakit. Sakit 'kan enggak enak, Dok, hehe," ucap Mita terkekeh membuat Dokter menggelengkan kepalanya lemah. Mungkin dalam pikiran Dokter tersebut, bagaimana bisa Mita dalam keadaan tidak baik-baik saja bahkan bayinya yang merasa terancam tetapi masih tetap bisa tersenyum dan terkekeh seperti itu dalam kepucatan. Aneh tapi nyata. Namun begitulah Mita, wanita mungil yang berusaha selalu ceria dan tak ingin membuat orang lain sedih karenanya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin tersenyum manis, tulus dan ikhlas agar orang lain percaya bahwa kondisinya baik-baik saja walaupun sebaliknya. Ya Allah bukan maksud tidak ingin dirujuk ke rumah sakit, hanya saja aku bingung sekali bagaimana nanti bayarnya. Biaya ke klinik saja ini pasti Bunda yang bayar, rasanya malu sekali sudah punya suami tapi masih merepotkan keluarga. Tapi bagaimana lagi? Suamiku sendiri tidak memberi uang, ya setidaknya mentransfer kembali uang yang dibutuhkan lagipula ini semua 'kan untuk dan demi anaknya. Apa mungkin benar dugaanku bahwa ini bukan anaknya? Karena tanggung jawabnya jauh sekali dan terkesan tak ada tanggung jawabnya. Mas Ali semenjak mendengar kehamilanku yang tadinya tak peduli semakin tidak peduli. Ucapan selamat yang keluar dari mulutnya pun seakan biasa saja tak ada raut bahagia yang terpancar dari wajahnya. Mungkin berbeda sekali dengan suami yang lain, sudah pasti akan merasakan bahagia sekali karena istrinya hamil. Ya itulah suamiku, jauh dari kata baik namun selalu bersikap baik didepan orang banyak, terlihat alim di depan orang namun kenyataannya tak begitu. Banyak sekali drama kehidupan rumah tangga yang ia mainkan dalam beberapa bulan ini. Ah sudahlah, terlalu banyak mikir tidak baik untuk kondisiku dan anakku, terlebih lagi memikirkan seseorang yang jelas tidak memikirkan anak dan istrinya. Seseorang yang hanya bisa marah, menghina, mencaci maki istrinya demi merasakan kepuasan karena amarahnya sudah terlampiaskan. Suami yang kuharapkan baik dan tanggung jawab namun sebaliknya. Bismillah, mulai sekarang lebih baik fokus pada anak yang ada di perutku, kasihan janin ini jika uminya stress. Setelah selesai membayar semua administrasi dan juga obat, mereka kembali pulang. Sebagai istri yang baik, manut dan patuh, Mita memberi kabar pada Ali dan menceritakan semuanya lewat sms, ia sekarang sudah tak ingin ambil pusing lagi. Terserah suaminya akan balas pesannya atau tidak yang terpenting sudah memberi kabar padanya dan menjelaskan bagaimana keadaan istrinya saat ini. Sebenarnya, sesampainya di rumah Mas Rizky ingin menghubungi Ali namun dicegah oleh Mita. Ia khawatir akan terjadi keributan antara Ali dan Mas Rizky yang nantinya akan membuat Mita bingung harus membela yang mana. *** Semuanya kembali ke rumah masing-masing, namun tanpa disangka Bunda kembali lagi menghampiri Mita setelah sholat isya dan menanyakan keadaannya. Tidak lupa Bunda membawakan bubur dan buah-buahan untuk dimakan oleh Mita. Dengan cekatan Bunda menyiapkan semuanya termasuk obat-obatan yang ditebus tadi di klinik. Bunda menyuapi anak bungsunya perlahan, Mita memakan sedikit demi sedikit. Ia tak sanggup menahan bulir kristal yang sudah menumpuk di pelupuk matanya, dan jatuh juga membasahi pipi merahnya. Ia menangis karena untuk yang kesekian kali dirawat Bunda padahal posisinya saat ini sudah menikah. "Kenapa menangis, Nak?" "Sedih, Bun." "Apa yang membuatmu sedih?" "Mita malu dan sedih, Bun. Malu karena sudah punya suami masih saja menyusahkan Bunda, sedih karena Mita tidak menyangka Bunda akan merawat Mita lagi seperti dulu saat belum menikah." "Sayang, walaupun kamu sudah menikah bukankah tetap anak Bunda? Nanti kamu akan merasakan hal yang saat sudah mempunyai anak. Jangan sedih Nak, kamu harus kuat dan harus bisa membahagiakan diri sendiri agar anakmu tidak ikut stress. Kasihan cucu Bunda kalau ikut stress karena Uminya juga stress." "Sehat ya, Nak. Semangat, bangkit Nak. Mita harus kuat, ingat ada anak dalam perutmu. Kalau bukan dirimu sendiri yang menguatkan siapa lagi, Nak? Bunda hanya bisa support, tetapi kamulah yang harus ambil sikap." Mita mengangguk dan terus memakan bubur yang disuapi Bunda, sedikit demi sedikit hingga habis lalu meminum obatnya. Setelah Mita menyelesaikan makannya, Bunda ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang sebelah Mita. Beliau memeluk anaknya dengan dekapan penuh cinta dan kasih sayang. Energi positif beliau transfer pada anak bungsunya agar tetap kuat menjalani kehidupan yang pahit. Bunda mengulang kembali aktivitas dalam beberapa tahun yang lalu, bersholawat hingga anaknya sayup-sayup mulai tertidur dengan pulasnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD