Chapter 4 : Menjadi Dewasa

1040 Words
Dewasa itu bukan tentang seberapa hebat aksimu menunjukan bahwa kamu sudah dewasa. Tetapi, tentang seberapa matang pikirmu sebelum melakukan tindakan. —Fear 02 *** Alvin meringis berkali-kali saat sang mama menekan luka-luka di punggungnya. Beda orang tua, beda pula cara mendidiknya. Jika Erland diberi perhatian penuh oleh orang tuanya dengan cara yang membuat hati siapa pun menghangat, ayah Alvin tidak demikian. Sebuah ikat pinggang, atau paling tidak telapak tangan yang bersentuhan dengan kulitnya, merupakan sebentuk perhatian papanya. Maka dari itu, saat Erland ingin punya waktu tanpa sang ayah di sisinya, Alvin keberatan karena tidak semua orang seberuntung Erland. Memiliki keluarga yang hangat dan kasih sayang berlimpah. "Maafkan Papi, ya, Al." Pemuda bermata sipit itu hanya tersenyum mendengar ucapan mamanya. Alvin sudah terbiasa dengan ini semua. Ia tidak punya alasan untuk merasa marah, bahkan sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Semua ayahnya yang mengarahkan. "Mi?" Maureen menghentikan kegiatannya, lantas menatap putranya. "Kenapa, Al?" "Aku anak kandung Papi sama Mami, 'kan?" "Jelas kamu anak kami. Apa yang membuat kamu berpikir begitu?" Alvin menghela napas, lalu menggeleng. "Kenapa, Al? Coba bilang sama Mami." "Enggak apa-apa. Aku cuma merasa kalau Papi berbeda dari orang tua pada umumnya. Temanku juga punya orang tua, dan kelihatannya mereka sayang banget sama dia Jadi, enggak pernah galak." "Galak bukan berarti enggak sayang. Setiap orang tua menyayangi anaknya dengan cara masing-masing." "Ya, Mi." "Siapa teman kamu? Kapan-kapan ajak main ke sini coba. Mami mau kenal." Dengan semangat Alvin mengangguk. "Namanya Erland, Arkana Erland. Nanti aku ajak ke sini," sahut Alvin. Walaupun baru saling mengenal, tetapi entah kenapa Alvin merasa sudah sedekat itu dengan Erland. Ponsel Alvin bergetar. Dengan cepat tangan lelaki itu bergerak mengambil benda pipih yang tergeletak di atas meja. Dahinya mengernyit melihat pesan yang masuk. Arkana Erland Vin, futsal yuk! Gue lagi malas di rumah. Me Kenapa lagi? Kabur-kaburan melulu. Arkana Erland Lagi ngambek sama Ayah. Me Ya udah iya. Mau gue jemput atau gimana? Arkana Erland Gue naik taksi aja. Ketemu di sana. Me Oke, siap. Gue kabarin yang lain juga. "Mi, aku mau futsal. Enggak pulang telat kok. Kalau udah selesai, aku langsung pulang." Perempuan itu mengangguk. "Jangan pulang telat. Nanti Papi marah lagi sama kamu." *** Tak butuh lama untuk Alvin dan Erland sampai di lapangan futsal dekat sekolah. Tempatnya cukup nyaman. Ada dua lapangan, beberapa bilik untuk bertukar pakaian, kamar mandi, serta kafetaria yang tak terlalu besar. Beberapa teman dari sekolahnya sudah melakukan pemanasan di pinggir lapangan yang hanya diberi sekat jaring-jaring. Biasanya mereka patungan untuk membayar biaya sewa per sembilan puluh menit. "Kita lawan siapa?" "Kakak kelas," sahut Alvin sembari membetulkan tali sepatunya. Pertandingan futsal hari ini benar-benar mendadak. Jadi, begitu Erland menghubunginya, Alvin langsung mengajak teman-temannya yang lain. "Kok enggak bilang?" "Tadinya mau sama anak IPS 5, tapi mereka formasinya enggak lengkap. Jadi, Kak Beno ngajak kelas 12 buat seru-seruan." Perasaan Erland berubah cemas mendengar hal itu. Semua tentu saja beralasan. Erland takut kalau satu di antara kakak kelasnya itu adalah Bagas. Orang yang tempo hari ia ganggu kekasihnya. Padahal, niatnya bermain futsal adalah melarikan diri dari membosankannya rutinitas di rumah. Kalau begini, seperti keluar dari kandang singa, masuk kandang buaya. "Mati gue kalau itu benar-benar dia." Alvin bisa dengan cepat membaca kegusaran di wajah teman sekelasnya. Ia langsung bertanya, "Kenapa, sih? Panik amat." "Manusia yang namanya Bagas masuk tim mereka enggak, Vin?" "Bagas siapa?" "Cowoknya cewek itu." "Ha? Yang mana?" "Anak PMR!" Mata minimalis Alvin kontan melebar. "Lah, dia udah punya cowok? Terus lo masih mau ngegas? Yang benar aja anjir." "Sebelum janur kuning melengkung, perjuangkan!" sahut Erland semangat. "Jangan kelewat semangat. Janur kuning gagal melengkung, nanti bendera kuning yang berkibar." "Lo nyumpahin gue mati?" Alvin langsung bangkit dari posisinya, berbaur dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu menginjak lapangan. Orang seperti Erland kalau marah memang tidak akan memukul, paling mencubit atau menjambak, tetapi tetap saja mengerikan. Tak berselang lama, segerombol pemuda masuk mengundang perhatian beberapa orang yang juga ada di sana. Bahkan, ada seorang gadis manis dengan rambut dicempol asal turut menemani, membuat Erland tak bisa beralih pandang. Dia ... Renata Meidina Wijaya. Dugaannya pun tak meleset. Bagas menjadi satu di antara mereka. "Tamat gue," lirih pemuda berambut pirang itu. Bagas yang baru masuk pun langsung menangkap kehadiran Erland. Pemuda itu tersenyum licik, bersiap memberi pembalasan atas apa yang dilakukan anak itu. "Jangan terlalu serius mainnya. Cuma sama adik kelas juga. Awas aja kalau sampai ada yang cedera." Renata tahu ke mana pandangan kekasihnya mengarah. Ia juga mengerti laki-laki seperti Bagas paling tidak suka semua yang menjadi miliknya diganggu. "Iya. Kamu jangan jauh-jauh dari aku." Gadis itu mengangguk dan langsung mengambil posisi duduk di pinggir lapangan. *** Setelah membuat Erland babak belur di lapangan, pemuda bernama Bagas seolah belum cukup puas memberi pelajaran. Setelah selesai futsal, Bagas langsung mengajak Erland ke rumahnya. Erland sendiri dilema. Jika menolak, harga dirinya langsung jatuh, tetapi di sisi lain ia pun tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Dalam sekali pandang saja Erland bisa menilai kalau Bagas tipe orang yang nekat. "Gimana? Katanya lo mau membuktikan kalau lo udah dewasa. Ikut gue dong kalau udah dewasa. Ya kali, jam segini udah balik," pancing Bagas. Setelah ditelusuri, Bagas baru tahu kalau Erland hanya anak enam belas tahun. Bocah ingusan yang butuh pengakuan sebagai orang dewasa. Dengan pancingan sederhana ini, Erland pasti masuk ke dalam jebakannya. "Oke. Siapa takut," putusnya. Erland tidak punya pilihan. Ia tidak mau terlihat seperti pecundang di mata Bagas. Bagas tersenyum penuh kemenangan. "Bagas, kamu mau ngapain dia?" tanya Renata tak suka. "Kamu diantar pulang sama Ferdi dulu, ya, Ren. Aku janji enggak akan macam-macam," ujar Bagas. Paling cuma satu macam, lanjutnya dalam hati. "Aku enggak mau pulang. Aku mau ikut." Bagas menangkup wajah kekasihnya, lantas bertutur lembut, "Nurut, ya? Kamu enggak perlu tahu bagaimana laki-laki membuktikan kedewasaannya." "Awas kalau macam-macam. Aku marah." "Iya, Sayang," sahutnya. "Fer, antar Rena balik. Pakai mobil gue aja." Pemuda itu kembali bersuara sembari melempar kunci mobilnya pada Ferdi. Setelah memastikan kekasihnya pulang. Pemuda itu merangkul Erland layaknya orang yang sudah benar-benar dekat. "Kalau mau dewasa, gaulnya sama gue. Alvin doang mah cupu. Enggak bakal gede kalau sama dia." Erland menelan salivanya susah payah. Entah mengapa perasaannya langsung tidak enak mendengar ucapan sang kakak kelas. Selamat datang di neraka, Arkana Erland. Lo akan segera tahu kehidupan orang dewasa. |Bersambung|
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD