Chapter 2

688 Words
"Woiii bangun, Lexxx!!!!" Tiba-tiba suara teriakan yang cempreng  terdengar dari balkon sebelah rumah, membangunkan gue dari tidur. Yah ... siapa lagi kalau bukan si Satria. Monyet tetangga sebelah, alias sahabat setan gue tercinta. Dengan malas, gue pun beranjak dari kasur empuk gue, sambil berjalan ke kamar mandi, bersiap-siap ke sekolah. Mengabaikan teriakan dari rumah sebelah. Yap! Ke sekolah. Dua minggu setelah kesepakatan taruhan dengan si monyet, gue akhirnya dengan terpaksa mengurus segala berkas t***k bengek agar bisa masuk ke SMA Tunas Jaya. Sekolah tempat Satria dan si doi – mangsa gue, Fabian Wijaya. Untung ajah itu sekolah yang punya bokap-nya Satria. Jadi mudah ajah bagi gue masuk ke situ sebagai cowok. Betul! Jadi cowok!!! Gara-gara syarat gak masuk akal si monyet, gue terpaksa harus nyamar jadi cowok selama menjalankan misi buat menaklukkan Fabian, si cowok cuek. Belum lagi mesti buang-buang waktu buat mengulang sekolah. Halah ... malas. Soalnya gue, kan udah lulus S2 Fisika Kuantum di M.I.T. Salah satu universitas ternama di negara paman Sam.  Apa di kata, gue udah terlanjur sesumbar bisa menangin tantangan si monyet. Masa iya sih, gue nyerah gitu ajah. Bakal diledekin sebulan penuh nih! Ogah banget! Makanya, sekarang ceritanya totalitas gue. Sampai potong rambut, beli korset dan lain-lain. 30 menit pun berlalu ... gue udah cakep dan siap ke sekolah. Tidak lupa ke rumah sebelah buat numpang sarapan dan nebeng berangkat bareng si monyet. "Pagi Om, pagi Tante," sapa gue ke bonyok Satria, sambil cengengesan gak jelas. Dibalas dengan senyuman dari Tante dan gelengan kepala dari Om, saat mereka lihat seragam gue. Haha ... gimana gak gitu, kalau mereka tahu alasan gue sampai repot-repot kayak ini, cuma karena taruhan dengan anak mereka yang rada-rada aneh. Kemudian dari belakang, kepala gue digetok oleh si monyet. "Eh Lex, sial lo. Gue teriak-teriak bangunin lo, elo-nya malah diem ajah. Tahu-tahu udah ada di sini. Main sikat abis sarapan gue." Dia ngomel-ngomel gitu. Gue sih pasang muka gak bersalah. Cuma bilang, "Sorry. Yuk! Buruan berangkat, tar telat!" "Ya udah," kata Satria, membalas. Kami lalu berjalan keluar, tak lupa pamitan dulu ke bonyok Satria. *** Sesampai di parkiran sekolah, Satria langsung ngacir pergi. Tinggalin gue sendiri, begitu dia lihat cewek gebetannya lewat. Sambil teriak suruh gue ke kantor kepsek. Hadeh ... punya sahabat kok segitunya sih. Dengan langkah malas, gue berjalan ke kelas IPA 1, setelah dari kantor kepsek. Sesampai di kelas, gue disambut oleh Bu Asmi, wali kelas gue yang baru. Gue disuruh kenalin diri gue di depan kelas. "Nama gue Alexandra The Angelo pindahan dari USA," ucap gue singkat. Terus berjalan ke satu-satunya bangku kosong di kelas. Kebetulan pas banget di samping Fabian. Tanpa babibu lagi, gue langsung to the point ajah ke Fabian. Nembak dengan percaya diri. "Gue jatuh cinta pada pandangan pertama ke lo. So ... mulai sekarang lo jadi cowok gue, Fabian!" Menatap lurus ke mata cowok cakep di hadapan gue ini. Mata Fabian pun seketika membulat. Mukanya menjadi pucat pasi tampak terkejut dengan ucapan gue, tapi dengan cepat raut mukanya menjadi datar kembali. "Maksud lo? Tahu nama gue dari mana? Lo gila! Gue bukan gay!" Doi bertanya, lalu terkejut dan marah pakai cara yang kalem. Nggak nampak gitu di mukanya, terlalu datar. Mendengar percakapan kami, satu kelas pun menjadi ricuh. Berbagai anggapan berbeda-beda dari anak-anak kelas mulai terdengar, tapi itu tak membuat gue gentar. Dengan pedenya gue bilang, "Gue tahu nama lo dari sahabat gue yang sekolah di sini dan gue pindah ke sekolah ini cuma agar bisa dekat sama lo. Terus gue emang gila. Gila karena cinta gue ke elo. Gue gak peduli lo gay atau bukan, gue bakal bikin lo gay demi gue. Bikin lo cinta sama gue!" Berbaik hati menjawab semua pernyataanya, kasih penjelesan, plus! Udah pasti ngengombal receh dong! Reaksi Fabian setelah itu langsung berubah menjadi jijik. Alisnya naik sebelah, menunjukkan reaksi di muka tripleks itu. Tanpa memedulikan pelajaran yang baru dimulai, dia pun mengambil tas dan berjalan pergi meninggalkan kelas. Mengabaikan begitu ajah teriakan Bu Asmi. Dan gue? Ya gue cuma senyum ajahlah! Terus molor deh selama kelas berlangsung. Udah tahu dan nggak mau peduli apa yang seisi kelas rasakan. Pastinya terkejut, syok, marah, penasaran dan lain-lain.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD