BAB 4 - CURHATAN VIANY

1919 Words
Viany mendengus beberapa kali karena melihat banyak orang berlalu-lalang di depannya dan nampak sibuk menata bagian sudut ruangan rumah yang akan digunakan sebagai tempat pertemuan antara kedua keluarga yang sudah sepakat akan menikahkan kedua putra dan putri mereka. Dengan alasan untuk mempererat tali silaturahmi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rupa acara pernikahannya nanti, mungkin akan lebih-lebih mewah dari dekorasi rumahnya saat ini. Padahal mereka hanya pertemuan keluarga, bukan acara nikahan sesungguhnya. Benar-benar seperti akan menerima tamu agung saja. Apalagi sekarang Viany sedang di lulur dengan bahan-bahan alam yang katanya bisa mengencangkan dan juga memperhalus serta mencerahkan kulit. Viany sebenarnya tidak terlalu peduli dengan hal semacam mempercantik diri, apalagi katanya dia sedang dibuka auranya agar calonnya langsung klepek-klepek saat melihatnya. Memang calonnya sejenis ikan, langsung klepek-klepek begitu? Padahal jika hanya luluran, dia lebih memilih pergi ke salon yang lebih modern daripada harus menggunakan tenaga beberapa perempuan muda dengan dandanan khas Jawa seperti ini. Viany merasa jika dirinya adalah tokoh utama dalam film kolosal jaman dulu. Bagaimana tidak, kemana saja dia pergi maka akan ada banyak dayang-dayang yang mengikuti dirinya. Benar-benar hidup di dalam sangkar selama pulang ke Jogja. Tahu begitu dia lebih senang berdiri di ruangan praktikum dan membuat puyer yang sama tingginya saja daripada harus pulang. Sesekali matanya menangkap kedua kakak laki-lakinya yang hanya tertawa melihatnya dari balik gorden dengan mengejek ke arahnya. Viany merasa jika dirinya sial pada umur dua puluh tahun. Harusnya dia semakin dewasa dan mampu untuk memilih pasangan untuk masa depannya, namun saat ini dia harus dijodohkan dan terpaksa mau-mau saja karena tidak ada alasan menolak. Jika alasannya karena ada cinta yang lainnya, itu juga tidak mungkin karena dia jomblo sejak lahir. Ponselnya kembali berdering dan menampakkan foto seorang laki-laki ganteng yang jelas adalah dari Randu. Viany hanya menatap ponselnya yang berdering karena malas menanggapi Randu. Semenjak dia pulang ke Jogja, ponselnya tidak pernah tenang walaupun sebentar saja. Randu banyak menerornya dengan pesan singkat atau telepon seperti saat ini. Atau paling tidak akan memaksa Viany melakukan video call. Kling. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya dan Viany sudah hapal jika itu Randu yang pasti tidak akan menyerah untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Memang anak hukum satu itu keras kepala dan menyebalkan, tapi sedikit banyak Viany selalu bergantung padanya. Randu : angkat nggak. Kalau nggak lo angkat gue gantung diri di pohon cabe nih. Gue sebagai cowok ganteng lagi kangen sama lo, bayangin deh kalau cowok secakep gue bisa kangen sama lo. Harusnya lo bersyukur tahu nggak! My baby honey, angkat ya. Gue kangen deh, Viany menaikkan sebelah bibir tipisnya ke atas. Membaca pesannya saja sudah membuat Viany sebal. Sebenarnya sudah terlalu biasa dirinya menghadapi Randu. Viany kadang juga heran mengapa Randu tidak pernah menjaga jarak dengan dirinya. Padahal kata orang, kebanyakan laki-laki akan menjauh dari orang-orang yang dia sayang setelah berpacaran. Namun, berbeda dengan Randu yang malah menempel padanya setiap hari. Kata Randu—Viany adalah orang yang paling penting di bawah Tuhan dan keluarga gue, dan di atas pacar plus temen nongkrong gue. Pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan dengan segenap rasa ikhlas pada mantan yang sudah diambil orang. Ponselnya terus berdering dan membuat kesabaran Viany harus diuji. Rasanya dia perlu memberikan pelajaran tata krama kepada sahabatnya itu. Setidaknya Randu bisa jalan dengan pacarnya selama dia pergi, lumayan karena tidak ada yang akan merusuh walaupun selama ini Viany juga tidak pernah merusuh dalam acara kencan atau hubungan Randu dengan pacarnya. Adanya Randu yang membuat banyak orang menjadi membencinya apalagi fans-fans Randu di kampus. Ah, selalu dirinya yang menjadi sasaran pergunjingan orang-orang. Randu yang minta putus dia juga yang disalahkan, Randu marah pada pacarnya dia juga yang salah, Randu tidak pernah mengajak pacarnya kemana-mana dia juga yang disalahkan. Hidup memang tidak adil bagi seorang perempuan yang bersahabat dengan laki-laki. Katanya dirinya terlalu memonopoli Randu untuknya. Padahal Randu sendiri yang suka datang tanpa diminta. Maka dari itu semenjak punya sahabat sepertinya, Viany susah mencari teman perempuan yang kira-kira tidak akan naksir pada Randu. Karena sekalinya Viany punya teman perempuan pasti ujung-ujungnya suka dengan Randu dan dia dilupakan karena asik pendekatan, namun saat tidak ada respon dari Randu, dia juga yang salah. Memang nasibnya sih punya teman satu, cowok, dan overprotektif. Alfa—kakak keduanya hanya bisa tertawa saat berjalan ke arahnya. Membuat Viany semakin badmood saja, kendati kedua kakaknya memang seperti sangat setuju jika dia segera dinikahkan. Entahlah sepertinya mereka mempunyai dendam padanya. "Uluh-uluh, adek mas serius amat ya mau ketemu calon suami. Sampai rela luluran segala," ledek Alfa yang membuat Viany semakin menatapnya tajam. Sudah tahu ini semua karena paksaan dari perempuan-perempuan tua yang selalu saja memberikan paksaan secara tidak langsung kepadanya. Di jaman semodern ini, masih saja ada perjodohan, apa itu tidak gila? Viany mendengus lalu kembali beralih menatap ponselnya yang semakin lama membuat kedua kupingnya sakit, lagipula jika dia menonaktifkan ponselnya pasti Randu akan nekad pulang ke Jogja hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja. Padahal dia kan pulang ke rumah orangtuanya, mengapa anak itu selalu kekhawatir itu padanya. "Siapa sih, dari tadi berisik? Hah, mas tahu nih, Randu pastinya? Masih main aja kamu sama dia, dek? Nggak ada bosen-bosennya sama sekali dari kecil sampai segede gini?" Ucap Alfa yang duduk di kursi dekat adiknya itu. Sedangkan Viany menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Viany langsung saja menggeser gambar telepon ke kanan dengan cepat, "apa sih? Lo tahu nggak kalau gue lagi sibuk, Randu. Mending main deh sama temen-temen lo atau pacaran sana sama Viola. Ngapain sih gangguin gue terus, lagi pusing nih!" Marah-marah Viany pada Randu lewat telepon sebelum yangkung yang sudah lengkap dengan adat Jawa menatapnya tajam. Alfa sendiri hanya bisa meringis karena dia juga sungkan, lebih tepatnya takut dengan orangtua satu itu. "Viany, kecilkan suaramu itu. Bocah wadon jaman saiki, basane werno-werno. Lo—gue, ora apik di rungokke," gerutu yangkung dan berjalan menjauh dari kedua cucunya yang hanya terdiam di sofa ruang tengah. (Anak perempuan jaman sekarang, bahasanya macam-macam. Lo-gue, tidak enak di dengarkan.) "Lo dimarahin sama yangkung, ya? Maafin deh kalau gue ganggu waktu lo, habisnya selama di sana elo nggak bales pesan gue. Emangnya sebegitu ribetnya  sampai lo nggak ada waktu buat telepon gue misalnya. Lagian, selama nggak ada lo, gue jadi males mau ngapa-ngapain deh Vi. Gue jadi nggak napsu makan, yang biasanya makan empat kali sehari, jadi cuma tiga kali . Cepet balik ya, gue kangen." Ucap Randu yang mulai merengek pada Viany dengan nada-nada manjanya. Perempuan itu membenarkan posisi duduknya, "gue udah mirip sama emak-emak yang ninggalin anak TK di rumah sendiri. Elo itu udah gede dan nggak perlu gue temenin kemana-mana lagi kan? Btw, pertemuan bakalan terjadi besok, doain, cowok yang bakalan dijodohin sama gue nggak mirip sama lo. Ada lo aja gue stress, apalagi dua. Makin stress gue," Viany tertawa pelan. "Tega amat sih lo Vi, gue kurang baik gimana sama lo coba? Lo nggak kangen, udah gue kangenin. Elo nggak khawatir, gue yang khawatirin," gerutu Randu yang  membuat Viany semakin tertawa. Walaupun suka sekali membuatnya kesal, Randu memang sahabatnya yang paling baik. Apapun keadaannya dan kesusahannya, jika Randu bisa, pasti dia akan membantu Viany. Seperti seorang kakak yang melindungi adiknya meskipun Randu tidak mau disebut kakak karena terlalu tua katanya. Viany selalu mengingat Randu meskipun tanpa mengabari sama sekali karena sejak kecil mereka memang terbiasa bersama. Ada banyak hal yang mereka lalui dan membuat masa kecil mereka nampak cukup berarti. Setidaknya Viany dan Randu adalah contoh jika laki-laki dan perempuan memang bisa bersahabat. "Thanks ya, lo udah ada buat gue dalam keadaan apapun. Gue juga kangen sama lo tapi di sini masih banyak yang harus gue urus. Jadi, lo baik-baik di sana dan jangan hamilin anak orang, oke?" Ucap Viany asal yang membuat Alfa melotot ke arah sang adik. Sebelah alisnya terangkat dan meminta jawaban dari maksud Viany baru saja. Nanti. Hanya satu kata yang keluar dari bibir Viany tanpa suara kepada sang kakak yang sudah penasaran akut. Sedangkan Viany masih saja fokus dengan pembicaraannya dengan Randu yang berada jauh di sana, kendati Randu selalu saja menghubungi dirinya selama beberapa hari ini. "Berarti kalau nggak boleh hamilin anak orang, gue boleh hamilin elo dong? Yaudah sini balik yang cepet ya, nanti gue siap-siap. Jadinya kan gampang, gue yang hamilin lo, yang tanggung jawab cowok yang bakalan dijodohin sama lo," "Kampret! Udah diem aja lo Randu, dasar cowok m***m kurang ajar. Gue ngambek sama lo dan suka-suka gue mau balik kapan. Biarin aja gue nggak balik ke Surabaya biar lo tahu rasa," tutup Viany lalu mematikan sambungan teleponnya dengan kesal. Baru juga baikan, sudah kesal kembali dengan omongan Randu yang semakin hari semakin nyeleneh saja. Entahlah apa yang ada di dalam pikiran kotor laki-laki itu. Tapi, meskipun kadang m***m, Randu bukan tipe laki-laki yang akan sembarangan bicara hal semacam itu pada sembarang orang. Randu hanya melemparkan candaan semacam itu hanya kepada Viany. Jika di kampus dia terlihat sangat polos, makanya banyak orang yang mengincarnya karena dia dianggap laki-laki baik-baik. Padahal aslinya tidak seperti yang digambarkan orang lain, karena luar dalamnya Randu Viany tahu. Hanya saja dia tidak mau mengatakan semuanya, toh Randu juga tidak pernah melakukan hal-hal menyimpang. Alfa melirik sang adik yang baru selesai marah-marah dengan napas yang tak beraturan, kini ponselnya benar-benar dia nonaktifkan. Pastinya Randu akan menerornya dengan banyak pesan singkat atau telepon tidak penting lagi seperti saat ini. "Mbak Viany, waktunya untuk dipijit sama maskeran," seorang perempuan yang cukup muda memanggilnya dengan sopan. Sedangkan Viany hanya bisa tersenyum sebagai tanda jika dirinya akan segera kesana. "Lihat kan mas, aku udah kaya mau nikah hari ini. Ah, pertemuan macam apa ini, kenapa enggak langsung dinikahin aja. Buang-buang waktu, duit, sama tenaga," ketus Viany pada Alfa yang hanya bisa tertawa dengan penderitaan adiknya itu. Anak muda sulit sekali mengubah pikiran orang dewasa. Apalagi dalam keluarganya memang sudah tertanam yang namanya perjodohan dengan mencari bibit-bibit berkualitas dan juga mampu membuat keturunan mereka semakin terpandang. Konon katanya, Viany akan mendapatkan jodoh yang paling bersinar dibanding dengan jodoh-jodoh saudaranya. Entah karena apa, yang jelas karena mereka paham sikap keras kepala anak satu itu. Tapi tetap saja Viany wajib untuk was-was karena pasangan dari kakak sepupunya yang dibilang bersinar itu, tidak seperti apa yang dibayangkan. Hanya saja karena kasta keluarganya yang tinggi. Viany tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan dengan pertemuan ini. Memangnya suatu keharusan, seorang jomblo dicarikan jodoh dengan cara dijodohkan begini? Bahkan gara-gara acara ini, Viany belum sempat berkangen-kangen ria dengan sang ibu dan juga bapaknya, karena lebih dimonopoli yangkungnya demi acara perjodohan yang akan diadakan besok dengan banyak persiapan yang menurut Viany tidak perlu karena mereka masih dalam tahap pengenalan. Siapa tahu jika orang itu tidak mau padanya lalu berencana kabur seperti yang sering dia tonton dalam film-film yang bertemakan perjodohan. Setelah selesai dengan banyak perawatan dan juga prosesi yang lagi-lagi menurutnya tidak perlu itu, Viany sudah berdiri di depan yangti dan juga ibunya yang sudah membawakan beberapa kebaya dengan berbagai warna dan bahan. Kedua perempuan itu memang menyuruh Viany untuk segera memilih beberapa kebaya tersebut, sedangkan Viany sendiri hanya bisa mendengus sebal. "Lagian pertemuannya kan masih besok, yangti? Kenapa harus pakai sekarang, kan ribet banget apalagi pakai sanggulan juga. Emangnya ada acara apa sih? Viany nggak mau ribet malam-malam," rengeknya yang tidak didengarkan sama sekali oleh keduanya. Perempuan tua yang masih saja terlihat cantik itu hanya bisa memandang cucunya, "pilih aja nduk, dan dipakai sekarang karena nanti malam saudara yangkung bakalan datang semuanya. Udah, nurut aja apa kata orangtua. Pilih yang mana? Atau mau yangti yang pilihkan," ucap yangti dengan lembut dan  akhirnya Viany menunjuk salah satu kebaya dengan warna merah muda. Wajah kesalnya begitu kentara meski berusaha dia tutupi dengan senyuman sekalipun. Memang dia datang ke Jogja hanya untuk pertemuan dengan calon yang akan segera dijodohkan dengannya. Namun bukan berarti jika dirinya mau untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu semacam ini. "Sebel! Tahu gini nggak usah pulang sekalian. Rumah isinya pemaksaan semuanya." ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD