Bab 4. Tidak Tahan

1444 Words
Sinar mentari pagi mengganggu mimpiku. Dalam mimpi indahku, aku bertemu dengan teman pria yang sangat aku rindukan, dia si Culun.   Objek yang pertama kali tertangkap oleh mataku saat pertama kali terbuka adalah Dante yang sedang tertidur dengan wajah yang sangat polos. Ia tidur telungkup, tubuhnya masih telanjang dan tangannya masih setia di pinggangku. Astaga, aku hampir melupakan malam yang indah semalam. Bagaimana mungkin diri ini cepat melupa.   Aku dan dia masih berada di kasur yang sama, dalam keadaan yang sama pula. Sama-sama telanjang bulat. Kami sudah terlalu lelah, dan aku juga tidak tahu jam berapa kami menyudahi kegiatan nikmat tadi malam.   Saking polosnya, tanganku sangat gatal ingin mencubitnya. Tapi ku tahan, aku lebih tertarik untuk memperhatikan wajahnya yang bersih, hidung mancung karena keturunan dari orang tuanya, mata yang sedikit abu, dan satu hal yang paling aku suka adalah bibirnya yang sensual. Semuanya aku suka, tanpa alasan sedikitpun untuk mencela.   Ia juga sukses merawat tubuhnya menjadi pria yang idaman. Tubuh kekar, perut sixpack dan segala macam definisi lainnya. Aku masih ingat dengan sensasi yang aku rasakan saat menyentuh bagian depan tubuhnya, mulai dari dadanya yang bidang hingga ke perutnya yang berkotak. Sudahlah, jika mengingatnya membuatku semakin menginginkannya.   Karena panggilan alam, aku berusaha untuk melepas tangan Dante yang terasa cukup berat. Setelah tangannya terlepas, dengan hati-hati aku bangun agar tidak merusak paginya. Sempat juga menaikkan selimut ke tubuhnya supaya ia tidak kedinginan.   Saat pertama kali aku melangkahkan kakiku, rasanya sangat sakit di bagian kewanitaanku. Sampai rasanya ingin menjerit, tapi ku tahan karena Dante yang tidur dengan sangat pulas. Aku bahkan sampai membungkam mulutku supaya tidak keluar suara. Berjalan dengan perlahan-lahan, rasanya sampai ke kamar mandi membutuhkan waktu hingga satu jam.   Betapa terkejutnya aku ketika melihat pantulan diriku sendiri di cermin full body. Tubuhku penuh dengan bercak kemerahan. Dari film yang sempat aku tonton sebelum menyerahkan diriku kepada Dante, itu karena hisapan lawan main bercinta yang disebut dengan kissmark. Banyak juga yang mengatakan kalau tanda ini adalah tanda cinta. Mengingat penjelasan dari google membuatku malu sendiri.   Untuk kalian ketahui, aku sempat mempelajari sedikit hal terkait bercinta. Aku mempelajari bagaimana cara memuaskan pasangan, posisi yang paling disukai, sampai kepada bagaimana cara agar cepat hamil. Itu semua aku lakukan sambil menunggu ibu di operasi. Betapa polosnya aku ketika menerima tawaran pekerjaan ini.   “Ana!”   Sontak aku tersadar dari lamunku karena mendengar suara teriakan yang memanggil namaku. Itu pasti adalah Dante. Kalau bukan dia, siapa lagi yang memanggilku dengan sebutan Ana.   “Ana!. Kamu dimana!” teriak Dante sekali lagi.   Aku begitu kesusahan untuk berjalan ke pintu kamar mandi karena rasa sakit di kewanitaanku. Baru saja akan membuka pintu, sudah di dobrak oleh seseorang dan pelakunya adalah Dante sendiri.   Aku terkejut dan tidak bisa mengatakan apapun. Aku hanya bisa menatap pintu yang tergeletak dengan mirisnya. Sontak tubuhku langsung limbung kala Dante berlari untuk memelukku.   “Kamu kenapa tidak bilang sama aku kalau ke kamar mandi?. Kan aku tidak akan se-khawatir ini mencarimu. Lagipula apa susahnya untuk menyahutiku, kenapa diam terus saat aku mencarimu?” bisik Dante sambil memelukku erat.   Aku memeluknya balik. Apakah dia benar-benar se-khawatir itu?.   “Aku pengen pipis tadi. Masa aku membangunkanmu hanya untuk pergi ke kamar mandi?”   “Meskipun begitu, kamu harus memberitahuku dan tidak membuatku khawatir seperti ini”   Dante melepas pelukannya dan mencium bibirku. Ia juga mencium dahiku dengan begitu lembut.   “Sudah-sudah. Aku tidak terlalu tahan berdiri seperti ini. Kakiku masih lemas karena bercinta semalam, kewanitaanku juga sakit. Bayangkan saja, aku berjalan dari ranjang ke sini saja begitu lama. Kamu jangan marahi aku seperti itu juga” ujarku merajuk dan melepas tangannya dari pundakku. Jujur saja, aku rasa kita sama-sama lucu sekarang. Kita masih bertelanjang bulat bersama dan sama sekali tidak ada adegan teriakan seperti biasa di film-film atau drama lebay.   Dante langsung menggendongku ala bridal style dan membuatku melototinya. Dia hanya tersenyum manis ketika melihatku terkejut. Bukannya menjelaskan, ia malah menciumku gemas dan membawaku kembali ke ranjang. Seperti halnya semalam, ia menidurkan tubuhku dengan sangat hati-hati dan ikut bergabung tidur bersama.   Kini, aku dan Dante saling berhadapan satu sama lain. Kita saling pandang dan saling salami pikiran satu sama lain. Tidak pernah terbayang olehku akan berakhir seperti ini. Rasanya adalah suatu mimpi yang nyata. Sama sekali aku tidak pernah berpikir untuk menyerahkan keperawananku pada seorang pria sebelum menikah. Ini tiba-tiba dan setidaknya membuatku bahagia meski sifatnya hanya sementara.   Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya istri Dante ketika mengetahui hal ini. Ia tidak tahu kalau suaminya sedang bermesraan dengan perempuan lain dan membuat pewaris penerusnya. Aku juga tidak bisa membayangkan apakah aku sanggup untuk memberikan anak yang akan tumbuh di rahimku sendiri sedangkan aku mengandungnya selama 9 bulan dengan penuh kasih sayang. Membayangkannya saja membuat hatiku sakit hingga tanpa sadar air mataku meleleh dengan sendirinya.   “Apakah si Culun ini menyakiti Ana tadi malam?” Tanya Dante padaku. Ia mengusap air mataku dan terheran, mungkin dalam benaknya mempertanyakan alasan mengapa aku tiba-tiba menangis.   Aku tertawa dan menggeleng. Masih dengan keadaan yang sama-sama tanpa pelapis apapun, aku memeluk Dante erat di pagi hari yang cerah ini.   “Si Culun selalu memperlakukan Ana dengan sangat lembut”   Aku memberanikan diri untuk mencium Dante lebih dulu. Untungnya dia menyambutku dan memimpin kecupan mesra ini. Aku masih perlu belajar banyak darinya.   “Aku rasa, kita harus melakukannya lagi” bisik Dante setengah mendesah. Ia masih saja sibuk mendusel di ceruk leherku.   “Apakah yang semalam belum cukup bagimu?”   Dante kembali membangkitkan hasratku. Aku memang mengucapkan seolah aku menolak, namun jauh dari itu sebenarnya aku juga sangat ingin menyatukan tubuh ini dan mencapai puncak kenikmatan bersama.   “Aku sudah bilang, denganmu aku tidak pernah bosan”   Sudahlah, ku pasrahkan saja semuanya. Ku ikuti alurnya. Entah nasib ini akan menerpaku kepada kesedihan atau kebahagiaan. Yang penting sekarang aku bisa memiliki momen yang indah. Meski dengan suami perempuan lain.   “Kalau begitu, lakukanlah” putusku.   Setelah mengatakan itu, Dante gencar untuk mencumbuku, menggodaku, hingga memasukiku dan membuatku terus saja mendesah dengan menyebut namanya. Aku membutuhkan sentuhan yang lebih dan lebih setiap kali ia melepas tangannya dari tubuhku. Hingga pada puncaknya pula, ia mendesahkan namaku di puncak kenikmatannya saat pelepasan. Sungguh bahagia dan lega rasanya. Ini memang aneh, namun pada kenyatannya aku menginginkannya juga.   “Semoga ada penerusku yang tumbuh di dalam rahimmu” Ujar Dante dan menyelimuti tubuh kita berdua.   ***   Aku bangun di sore hari. Tidak ada Dante di sampingku. Aku hanya menemukan sebuah kotak yang berisi pakaian lengkap yang begitu indah dan di atasnya ada sebuah pesan darinya.   ~Maafkan aku, Ana. Si Culun ini harus pergi ke kantor karena suatu alasan yang tidak bisa di tinggalkan. Kamu bisa memarahi si Culun ini nanti saat malam. Oh iya, nanti malam aku akan menjempumu dan kita pergi ke suatu tempat. Temui ibu, dan jangan lupa makan. Aku sudah siapkan makanan untukmu di meja. Have a good day!. Love you. -from si Culun untuk Ana ku yang tersayang.   Bahagia sekali rasanya bisa diperlakukan seperti ini. Bangun sehabis merajut cinta dan saat bangunnya pun tetap di beri cinta. Aku beranjak ke kamar mandi. Rasa sakit di kewanitaanku memang masih sakit, tapi tidak seperti yang pertama kalinya.   Setelah mandi, kemudian aku memakai  pakaian yang sudah disiapkan oleh Dante. Karena dia mengatakan kalau sudah menyiapkanku makanan, sebelum menemui ibu di lantai bawah, terlebih dahulu aku sarapan sore. Ini semua karena Dante yang menginginkan lagi, aku jadi tidak bisa sarapan pagi.   Suapan pertama, enak. Sempat berpikir apakah makanan ini memang di buat oleh tangan Dante langsung atau bukan. Dia bisa saja menyuruh orang lain untuk memasakannya. Tapi semuanya di patahkan oleh bukti dimana keadaan dapurnya yang cukup berantakan.   Setelah cukup dengan makanan yang disediakan Dante, aku ingin mengunjungi ibu. Ini sudah lama sekali aku tidak berada di samping. Saat akan keluar dari ruangan privat Dante ini, entah mengapa kakiku mengarah ke kamar.   Saat di kamar, aku merasa malu sendiri karena melihat berkas kemerahan akibat darah keperawananku. Aku mengambil ponselku dan mengabadikannya. Karena aku tidak mempunyai kontak Dante, aku urungkan niatku untuk membagikan momen ini dengannya.   Sebelum benar-benar pergi, aku mengganti seprai dengan yang baru.   ***   Sudah lama menunggu ibu siuman, tapi tak kunjung juga. Seakan ingin menagis rasanya melihat ibu terbujur sakit seperti ini. Ia belum siuman sama sekali. Aku bingung bagaimana caraku supaya ibu bisa siuman dan melihat anaknya yang merasa bahagia sesaat ini.   Tok… Tok… Tok…   Siapa yang datang? Perasaan dari kemarin-kemarin tidak ada yang datang berkunjung.   Saat membuka pintu, tiba-tiba tubuhku di peluk. Ia adalah Dante.   “Aku tidak tahan jauh-jauh darimu. Aku rindu” Ujarnya sambil memelukku, yang membuatku secara otomatis juga memeluknya.   “Aku juga merindukanmu. Kenapa kamu bisa pulang secepat ini? Bukankah kamu akan menjemputku nanti malam?”   “Terlalu lama!”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD