Bab 2. Ciuman Pertama

1815 Words
Segera setelah aku mengucapkan kata sakral itu, aku langsung keluar dari ruangannya. Saat baru saja keluar, aku sudah berhadapan dengan perempuan yang tadi main dengan Dante. Ia memandangku dengan sangat tajam, seperti melayangkan bendera peperangan kepadaku. Aku berusaha mengabaikan tatapannya karena terburu-buru menuju rumah sakit. Ingin rasanya berlari supaya bisa sampai di rumah sakit secepatnya. Bruk... Dia menghadangku dengan kakinya dan membuatku terjatuh. Oh, astaga kartu yang diberikan oleh Dante pun ikut lepas dari tanganku. Sebelum tanganku meraih kartu itu, ia lebih dulu mengambilnya. Ia menatapku dengan tatapan mengejek dan tertawa keras setelahnya. "Ada apa? Apa yang salah?" Tanyaku. Sekretaris Dante dengan name tag Sisca itu tidak menjawab. Ia mendekatiku dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Plakk... Tidak ada hujan, tidak ada angin, dia menamparku begitu saja. Apa salahku? Aku tidak pernah berurusan dengannya sekalipun. "Kenapa kamu menamparku?" Aku sedikit geram dengan perempuan dengan model seperti ini. Bertindak sesuka hati dan suka dengan kekerasan. "Ha!. Kamu menanyakan kenapa aku menamparmu?. Dasar p*****r!. Kamu datang tiba-tiba dan menghentikan kegiatan kami. Kamu datang tanpa sebab dan keluar dengan membawa black card milik Dante. Dasar wanita tidak punya malu!" Ujarnya. Pelacur?. Bukan, aku bukan p*****r untuk saat ini. Tapi, sebentar lagi. "Lalu apa urusanmu? Dante sendiri yang memberiku, bukan kamu. So, tutup mulutmu dan bekerjalah dengan baik" Ujarku dan merebut black card itu. Jika aku kembali menanyakan ini-itu padanya, maka akan semakin membuatku berlama-lama disini. Setelah mendapat black card, aku segera menuju lift. Ternyata dia belum menyerah, sebelum aku masuk ke dalam lift, ia langsung menarik rambutku. Emosi. Aku emosi. Perempuan ini hanya bisa melawan dan dilawan dengan kekerasan. Di ajak berdamai dengan kata-kata rasanya percuma. Nyawa ibu di rumah sakit lebih penting. Saat dia menarik rambutku, tanganku langsung menamparnya keras hingga membuatnya jatuh. Mungkin terasa sangat sakit, tapi aku tidak perduli. Bahkan tanganku yang aku gunakan untuk menamparnya pun terasa panas. Dante keluar dari ruangannya, mungkin karena mendengar kegaduhan. Aku memandang pria itu sampai berada di depan kami. Sisca masih berada di bawah dalam posisi jatuh. Heh, mungkin sebentar lagi dia akan memainkan drama. Setelah perjanjian setahun itu, entah mengapa membuatku begitu egois. Aku egois karena uang yang ku gunakan untuk biaya perawatan ibu. Memang benar, uang mengubah segalanya. "Ada apa ini?" Tanya Dante. Aku melengos ke arah lain. Aku rasa, kali ini Sisca akan berdrama dan mengadu sambil nangis yang di lebih-lebihkan. Percuma juga aku mengelak, toh juga aku yang menamparnya. Tapi aku juga berhak untuk mengelak karena dia lah yang memulai lebih dulu. Ia sengaja menyandungku menamparku, bahkan menarik rambutku. Padahal jika di pikir-pikir, aku tidak pernah memiliki urusan penting dengannya. "Dia menamparku, Dante. Dia menamparku dengan sangat keras sampai membuatku terjatuh seperti ini" Ujar Sisca dengan tangisan. Sudah ku duga. Seperti film yang sering aku tonton. Dante menunduk dan membantu Sisca untuk bangun. Sontak aku tertawa, tapi tak bisa menjelaskan alasan mengapa aku tertawa. "Apakah benar kamu yang menampar Sisca sampai terjatuh seperti ini?" Tanya Dante. Aku mengangguk polos. Untuk apa berbohong?. "Aku menamparnya dengan keras sampai membuat tanganku sendiri kebas" Dante sontak menatapku tajam dan hendak akan melayangkan tangannya. Oh, ternyata dia adalah orang yang keras juga. Tapi janji sudah ku ucapkan, mana mungkin aku ingkar. Jika ingkar, nyawa ibu adalah korbannya. Sebelum tangan Dante mendarat mulus di pipiku, aku menghentikannya. "Sebelum tanganmu di pipiku yang sudah tertampar olehnya, lebih baik kamu menanyakan alasan mengapa Sisca dengan tiba-tiba membuatku tersandung, menamparku tanpa salah dan menghentikanku untuk masuk ke dalam lift dengan menarik rambutku. Padahal jika di pikir-pikir, aku sama sekali tidak punya masalah dengannya" Ujarku menjelaskan dan otomatis tangan Dante urung untuk menamparku. Seketika, tatapannya langsung beralih ke Sisca. Perempuan itu menggeleng terus-terusan sampai membuatku kembali tertawa. "Sudah ku duga. Kamu harus hati-hati dengan sekretarismu jika tidak suka di bohongi" Ujarku dan membalik badan. "Aku kira kamu adalah perempuan cantik yang polos, menurut dan tidak tahu apa-apa" Ucap Dante yang sontak membuatku berbalik dan menatapnya. Aku berjalan lebih dekat dengannya dan membisikkan kata-kata sebelum kembali masuk ke dalam lift. "Awalnya seperti itu, tapi gadis di sampingmu ini adalah racun yang sewaktu-waktu akan membunuhmu. Lihat saja, sekarang dia mencoba berdrama dan menangis seakan-akan aku mengancam membunuhnya, esoknya tidak tahu lagi. Satu hal yang pasti, aku memang adalah gadis yang penurut, tapi aku tidak suka kehidupanku di usik. Apalagi jika menyangkut ibuku. Kamu sendiri tahu alasanku menyerahkan hidupku ke tanganmu adalah hanya karena ibuku" bisikku. Setelah mengatakan itu, aku tersenyum manis pada Dante, juga tak lupa kepada Sisca dan masuk ke dalam lift. *** Aku segera beranjak ke pihak administrasi untuk melunasi segala biaya yang di perlukan. "Atas nama siapa?" Tanya petugas itu. "Atas nama Karmila" Jawabku. "Biaya yang harus di lunasi termasuk dengan biaya sebelumnya sebanyak 300 juta. Apakah akan membayar dengan cash atau kartu?" Tanyanya lagi. 300 juta. Nilai yang sangat banyak. Aku berhasil mendapatkan uang sebegitu banyaknya dalam satu hari saja, bahkan kurang. Tapi imbalannya adalah harga diri. "Kartu, mbak!" Ujarku dan tersenyum. Aku mengeluarkan black card milik Dante dan memberikannya kepada pegawai. Awalnya dia melihatku curiga, aku mengabaikannya. Satu hal yang memenuhi pikiranku sekarang adalah ibuku. Apakah dia sudah mendapatkan penanganan atau belum?. "Atas nama Dante Cullen, tolong masukkan passwordnya!" Aku kemudian memasukkan angka berdasarkan tanggal hari ini, 220720. "Baik mbak, pembayaran sudah kami terima sebesar 300 juta" Ujarnya dan memberiku black card milik Dante. "Terima kasih mbak" Ucapku dan berlari menuju lift. Aku segera masuk ke ruang rawat ibuku. Ternyata dokter itu belum menangani ibuku sama sekali. Mereka belum melakukan proses operasi. Mereka menekanku dengan biaya yang banyak, tapi penanganan belum mereka lakukan. Dasar!. "Saya sudah mendapat informasi kalau kamu sudah melunasi biaya perawatan ibu kamu. Kami akan segera menanganinya!" Ujar dokter. Nah, ini dia orangnya. Dia menelponku dengan memberi kabar kalau ibuku sedang kritis, tapi dia belum juga memberikan penanganan. Ingin rasanya menarik otaknya yang licik ini. "Kenapa ibuku belum sama sekali menerima penanganan?" Tanyaku sedikit emosi. "Kami akan melakukan penanganan ketika biaya sudah di bayarkan di awal. Itu sudah sesuai dengan prosedur yang ada" Ujarnya. Lagi dan lagi adalah tentang uang. Oh, ingin rasanya diriku memproduksi uang sendiri dan melemparnya ke wajah dokter ini. "Aku sudah membayar semuanya, tolong tangani ibuku!" Perintahku. "Kami akan melakukannya segera. Tolong tanda tangani ini" Dia memberiku semacam formulir dan menyuruhku untuk membubuhkan tanda tangan di ujung bawah. Setelah menandatangani itu, dia pergi. Tidak lama kemudian, ia kembali datang dengan segala macam antek-antek yang menemaninya di belakang. *** Sudah lama sekali ibu tertidur sejak di operasi tadi. Kata dokter, operasi berjalan lancar dan kini ruang rawatnya juga berubah. Tidak lagi berdesakan dengan pasien yang lain, tapi kini di ruangan yang besar dan sendirian. Apa aku salah ceklis ruangan atau seperti apa? Aku rasa aku ceklis level 1 bukan paling tinggi. Tapi ini nyata dan ibu di ruangan dengan perawatan yang ekstra. AC juga ada di ruangan ini sehingga tanganku tidak lelah untuk bergerak menciptakan angin untuknya. Apakah orang yang melakukan ini adalah Dante. Mataku sontak melihat ke atas, tepatnya ke arah jam dinding. Sontak mataku langsung membulat ketika melihat angka 12 di jarum pendek. "Ibu, Cinta pergi dulu ya bu. Cinta mau kerja, nanti Cinta jenguk ibu lagi" bisikku pada ibu yang kesadarannya entah kemana. Aku keluar dari ruangan dengan tergesa-gesa. Saat baru saja keluar dari ruang rawat dan membalikkan badan, aku langsung terhenti ketika melihat pria yang menghadang di depanku. Darimana Dante datang hingga tepat berada di depanku?. Cukup lama aku membeku, diam tidak bergerak sama sekali. Dante berjalan mendekatiku dan menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan. "Ikut aku!" Aku mengikutinya ke arah lift dan masuk ke dalam sana. Kami hanya berdua saja. Aku menghindar dari Dante, dan memberi jarak sejauh mungkin dalam bilik lift ini. Tiba-tiba Dante memerangkapku. Kedua lengannya ia gunakan untuk memerangkapku. Kini pandangan kami saling bertemu. "Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu adalah putrinya ibu Karmila?" Tanyanya. Ha?. Ada apa dengan ibuku?. Apa hubungannya dengan Dante?. "Memangnya kenapa dengan ibuku dan apa hubungannya denganmu?" Tanyaku penasaran. Aku mencoba melepas kunkungan Dante, tapi ia semakin memerangkapku. "Apa kamu tidak ingat padaku, Cinta?" Bisiknya membuatku merinding. "Maaf, aku tidak mengingatmu sama sekali. Bahkan aku mengenal namamu tadi siang, bagaimana mungkin aku bisa tahu siapa kamu sebenarnya" Ujarku. Dante memelukku, begitu erat. Aku kebingungan, ada apa dengan pria ini?. Apakah dia seperti ini karena sudah membuatnya menunggu selama satu jam lebih. Dia sudah mengatakan kalau dia tidak suka menunggu. Oh, I see, itulah jawabannya. "Maafkan aku karena membuatmu menunggu sama satu jam. Padahal aku sudah menggunakan uangmu, lalu sekarang aku yang berdusta. Maafkan aku, tolong lepaskan!" Ujarku. Dante tidak juga melepas pelukannya. Tiba-tiba aku mendengar isakan tangis. Jangan bilang kalau Dante lah yang menangis karena hanya kita berdua yang berada di dalam lift ini. Aku melepas pelukan Dante, awalnya ia menolak dan semakin memelukku, tapi aku mencoba lebih lembut padanya. Saat ia melepas pelukannya, sontak aku terkejut ketika melihat wajahnya yang penuh dengan air mata. Aku luluh padanya. Aku kira bahwa ia adalah orang yang keras, tapi kini semuanya runtuh ketika melihatnya penuh dengan air mata. Sebenarnya ada apa dengan Karmila, ibuku?. "Ada apa?" Tanyaku sambil menyapu air matanya. Ia kembali memelukku. Ada apa dengan pria ini? Kenapa tiba-tiba nangis dan memeluk seperti ini?. Ceting... Lift terbuka. Akhirnya Dante melepas pelukannya dan menggandeng tanganku menuju satu ruangan di depan. Apakah ini lantai teratas karena ini masih satu bangunan dengan rumah sakit?. Dan apakah ini milik seorang Dante Cullen?. Aku diam saja, tidak mengatakan apapun. Saat Dante menaruh telapak tangannya di samping pintu, terdengar suara bip dan terbukalah pintu ruangan itu. Baru saja terbuka, aku langsung terkagum-kagum melihatnya. Ini seperti kamar hotel, bahkan ini lebih mewah dari itu. "Siapa pemilik ruangan ini? Bukankah ini masih satu bangunan dengan rumah sakit?" Tanyaku sambil melihat satu per satu sudut di ruangan ini. Aku tidak mendengar jawaban apapun dari Dante sehingga membuatku harus berbalik badan. Baru saja aku membalik badan, sudah bertabrakan dengan badan Dante dan membuat tubuhku hampir limbung. Untung saja Dante menangkap tubuhku. Dante memang memegang tubuhku sekarang. Ia tak kunjung melepasnya. Malah ia semakin mendekatkan dirinya. Astaga, ia mencium bibirku. Ciuman pertamaku!. Aku tidak bisa memberontak, aku sudah janji dan malah seharusnya aku siap dengan perlakuan yang lebih dari ini. "Setelah sekian lama, akhirnya kita dipertemukan juga Ana" bisiknya. Deg. Darimana dia tahu nama kecilku? Hanya si Culun yang tahu panggilan itu. Atau jangan-jangan.... Tidak. Ini pasti tidak mungkin!. "Akhirnya Ana dan si Culun bertemu" Bisiknya lagi. Sontak air mataku meleleh. Aku melihat matanya, dan kini kita saling pandang satu sama lain. Dante kembali memajukan wajahnya dan kembali menciumku. Aku mencoba membalas ciumannya meski ini adalah kali pertamanya bagiku. Dengan ditemani air mata, aku menyerahkan diriku untuk Dante, si Culun perebut hati Ana sejak kecil. *** "Apakah si Culun ini menyakiti Ana tadi malam?" Tanya Dante padaku. Aku tertawa dan menggeleng. Masih dengan tubuh tanpa lapis sehelai pun, aku memeluk Dante di pagi hari yang cerah ini. "Si Culun selalu memperlakukan Ana dengan sangat lembut" Ucapku dan mencium Dante.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD