Episode Pertama

1178 Words
Mereka semua lemas setelah apa yang dikatakan oleh dokter yang memeriksa keadaan Maudy selama 2.5 tahun lebih ini. “Bagaimana ini, Pa” tanya mama Maudy pada suaminya. “Sabar, Ma,” katanya berusaha menenangkan istrinya karena dia tahu apa yang dirasakan istrinya selama ini sudah cukup menyakitkan. Casya yang mendengar berita ini saja rasanya tidak sanggup apalagi orang tua Maudy, om dan tante yang bahkan sudah lama kehilangan sosok Maudy secara tidak langsung akibat kecelakaan itu. Untungnya dia masih bisa bertahan hidup setelah sekian lama. Sky juga termenung dan memikirkan kenapa semua terjadi kepada sahabatnya, padahal Maudy bukanlah orang yang jahat sama sekali. Flashback beberapa saat lalu... “Bagaimana keadaan anak kami, Dokter?” tanya Papa Maudy sambil memeluk istrinya, berusaha menguatkan istrinya dan dirinya sendiri. “Dia sudah sadar dari komanya, tapi ada hal yang harus kalian ketahui,” kata si Dokter, “dan saya harap, bapak juga ibu, teman-teman juga saudaranya harap bersabar dengan berita ini,” tambah si Dokter. Mau bagaimanapun dia tetap harus memberitahukan kepada keluarga gadis malang yang sekaligus beruntung itu karena bisa bertahan antara hidup dan mati selama 2.5 tahun ini. “Anak bapak amnesia,” lanjut si dokter dengan satu tarikan nafas. “Apakah amnesia permanent atau dia masih bisa mengingat kami, Dok?” tanya papa Maudy. “Saya tidak bisa memastikan, Pak, tapi saya mendiagnosa bahwa dia masih bisa mengingat jika suatu saat dia benar ingin mengingatnya sendiri. Tapi jika tidak, saya tidak bisa berpendapat lebih. Lagi pula seiring berjalannya waktu mungkin dia akan bisa mengingat segalanya,” jelas si dokter pada mereka semua. Lalu setelah dokter berlalu, Casya merosot terduduk dengan pikiran melayang jauh dan Sky mematung hingga dia tersadar mereka butuh menjernihkan pikiran. Back to now. “Bagaimana? Bagaimana jika dia tidak pernah mengingat lagi? Tidak mengingat kita lagi? Kenapa yang harus dia ingat hanya masa kecil sampai dia masuk SMP? Aku senang dia tidak mengingat manusia b******k itu, Sky, tapi bagaimana dia tidak mengingat kita sama sekali?” tanya Casya lemas. Bagaimanapun, Casya sangat menyayangi Maudy. Dia bahkan lebih menyayangi Maudy daripada saudaranya sendiri. Kenapa? Karena dia tidak memiliki saudara yang dekat dengannya bahkan orang tuanya juga. Walaupun papanya masih memberikan nafkah untuknya, tapi tidak dengan kasih sayang. Mamanya juga demikian. Hanya Oma dan Maudylah yang menjadi sahabat terbaiknya setelah dia dipatahkan oleh cinta pertamanya, Sky. Tapi bagaimana mungkin Maudy menjalani semua ini? Bagaimana bisa dia menerima semua ini? Menimpanya yang bahkan tidak tahu apa-apa. “Ini tidak adil!” pikirnya. Dan jika suatu saat Maudy ingat semua, dia bahkan rela melepas Sky tapi tidak dengan Maudy. Sky yang melihat keadaan Maudy hanya menghela napas sambil berharap sahabatnya mengingat semuanya. Sky justru dia lebih khawatir dengan Casya yang seperti tidak percaya. “Cas, ayo makan dulu! Kayaknya kamu belum makan deh. Kantin bentar yok! Lagian ada tante dan om yang jaga Maudy. Ya kan, Tan?” kata Sky meminta bantuan juga pada orang tua Maudy. Mama Maudy yang paham keadaan Casya pun mengangguk setuju. “Iya kamu makan aja dulu. Nanti kalau ke sini lagi sekalian bawain om sama tante,” ujarnya masih dengan terisak walaupun sudah lumayan mereda. Berbeda dengan Casya yang hanya diam bagai patung, membuat Sky takut dan akhirnya berinisiatif mengajak Casya untuk makan walaupun dia tidak tahu apakah tadi Casya sempat makan atau tidak. Tapi dari yang dia lihat, Casya belum makan sama sekali. “Ayo! Nanti kamu yang pingsan, aku bisa repot!” kata Sky mencoba mencairkan suasana. Casya yang melihat Sky pun hanya diam dengan bibir mengerucut. Sambil mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Casya, Sky menarik Casya pelan dan meremas tangannya memberikan kekuatan. Casya yang merasa bahwa Sky masih peduli pun hanya diam menunduk dan mengikuti Sky dari belakang. “Kamu makan yang banyak biar ngga kurus banget. Masa kaya sapu lidi kurusnya. Lagian makan kamu sama porsi makan kucingku banyakan kucingku, sih?” ucap Sky ketika mereka sampai di kantin. “Enak aja!” sahut Casya ketus sambil melepaskan tangannya dari genggaman tangan Sky. Sky hanya terkekeh lalu menarik kursi di dekat pojok mengarah ke ruangan Maudy dari kantin itu dan berkata pada Casya, “Silakan duduk, Nona.” “Terima kasih, Tuan,” kata Casya jutek lalu duduk. “Kamu pesan apa?” tanya Sky. “Apa aja,” ujar Casya malas. “Oke,” ucap Sky berlalu memesankan makanan mereka. *** “Mereka terlihat cocok ya, Pah?” ujar mama Maudy. Papa Maudy yang tidak mengerti pun mengernyit bingung “Siapa?” tanyanya. “Casya dan Sky. Tapi sayang, Sky sukanya Maudy,” tambah mamanya. “Huft.” Papa Maudy menghela napas. “Kita jangan ikut campur urusan mereka, Ma, biarin ajalah. Mereka sudah dewasa.” Ucap suaminya. “Iya, mama juga ngga ikut campur, kok. Hanya saja kan sayang banget perasaan Casya dianggurin juga karena Sky-nya suka Maudy. Ya mama juga ngga ngelarang Sky suka sama Maudy, Pah, tapi Sky harus tahu kalau memang dia ngejar Maudy jangan kasih harapan ke Casya. Hanya itu aja,” jelas mamanya panjang lebar. “Kan papa tahu, Maudy juga pernah merasakan hal seperti itu. Jadi mama paham gimana rasanya jadi Casya,” ujarnya lagi. Suaminya hanya mengangguk tidak membenarkan juga tidak menyalahkan. “Namanya juga perasaan orang, Ma, ngga bisa dipaksa. Biarkan mereka menemukan bahagianya sendiri.” *** “Makan, Cas, nanti makanannya nangis kalau kamu ngga makan,” kata Sky. “Emang bisa ya makanan nangis karena ngga dimakan?” tanya Casya polos. Sky yang mendengar pertanyaan polos Casya terkekeh pelan dan mengangguk. “Iya dong, mereka akan nangis, tapi karena kita tidak tahu bagaimana mereka berbicara dan menangis jadi kita tidak mendengarnya. Nanti mereka akan teriak-teriak. ‘Casya, kau tidak memakanku? Padahal begitu banyak orang yang membutuhkanku. Awas saja dirimu. Aku tidak akan memberimu makan lagi nanti!’ begitu kira-kira.” “Jadi, makan ya, Cas. Kamu tidak mau ‘kan Maudy bersedih ketika melihat dirimu juga sakit nanti?” “Memangnya Maudy ingat sama kita?” tanya Casya lagi. “Ya ngga, sih,” ucap Sky sambil menggeleng kepalanya, “tapi kan tetap aja dia pasti punya perasaan dan kamu tahu dia sangat peka. Bagaimana jika dia bersedih melihatmu?” sambungnya. ”Ahhhh.” Casya mengeluarkan napasnya panjang seolah mengeluarkan semua unek-unek atau pun sesak di dadanya. “Lagian kalau dia ngga ingat sama aku, aku pasti akan buat ingat. Enak aja aku dilupain!” ucap Casya sambil terisak. Inilah yang ditunggu Sky dari tadi. Casya dan Maudy bukan orang yang bisa menangis sembarangan sekalipun itu sangat menyiksanya. Namun, berbeda dengan Maudy yang bisa menunjukkan perasaannya dengan mudah walau dengan tidak menangis. Dia bisa saja sedih dan senang dalam beberapa waktu bersamaan dalam rentang waktu yang dekat tapi tidak dengan Casya yang tidak pernah menunjukkan kesedihan bahkan menangis. Tapi jika marah itu sangat sering karena dia termasuk agak temperamen dan emosional. “Aku lebih baik kehilangan keluargaku daripada Maudy,” ucap Casya sambil sesugukan. “Kalau aku yang lupa ingatan gimana?” tanya Sky. “Huwaaa. Lebih baik kamu aja. Atau ngga aku deh yang amnesia!” ucapnya tiba-tiba serius “Kenapa?” tanya Sky penasaran. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD